Oleh Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
*Penulis, Sekretaris Jenderal Forum Silaturahim Pondok Pesantren (FSPP) Provinsi Banten.
DPRD Provinsi Banten menyampaikan usul inisiatif Rancangan Peraturan Pemerintah Daerah tentang Fasilitasi Pondok Pesantren. Rancangan ini mengacu pada Undang-undang nomor 18 tahun 2019 tentang Pondok Pesantren. Fasilitasi terkait dengan optimalisasi fungsi pesantren, yakni pendidikan dan pengajaran, dakwah dan penyiaran ajaran Islam, serta pemberdayaan masyarakat.
Penulis dalam beberapa kesempatan ditanya soal fasilitasi pondok pesantren itu. Saat kunjungan fraksi PDI-P ke Kantor FSPP Provinsi Banten 25 Maret 2021. Saat Wabbinar fraksi PKS yang mengundang stakeholder pondok pesantren 2 April 202 Dan saat kunjungan ke Pakuhaji Kabupaten Tangerang yang dihadiri penggiat pondok Pesantren 11 April 2021. Menjawab soal tersebut saya menyedekahkannya dengan mendefinisikan pesantren sebagai sistem pendidikan masjid berasrama yang didalamnya terdapat interaksi Kyai dan santri dalam upaya memahami menghayati dan mengamalkan Islam berdasarkan Al Qur’an hadits dan khazanah intelektual muslim khususnya kitab kuning.
Awal mula pondok pesantren adalah pengajaran Al Qur’an atau pengajian kitab kuning di masjid atau sebutan lainnya. Masjid yang tidak diselenggarakan sholat Jumat biasa disebut juga langgar atau majelis. Maka, fasilitasi pesantren yang pertama adalah pengadaan mushaf Al-Qur’an sebagai bahan ajar dan sumber belajar utama. Selain itu pengadaan kitab kuning, baik dalam bidang bahasa dan sastra Arab, aqidah, akhlak, tasawuf, fikih, tafsir, hadits, qiraat, dan lainnya. Dalam konteks pengembangan tradisi intelektual di Banten, pemerintah perlu menginventarisasi dan menggandakan kitab karya Syeikh Nawawi al-Bantani dan intelektual muslim lainnya serta membagikannya ke seluruh pondok pesantren.
Kedua adalah bantuan pembangunan atau renovasi masjid. Pada umumnya masjid dibangun di atas lahan wakaf atau milik keluarga dari Kyai pengasuh pondok pesantren. Dalam hal ini, masjid bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga memiliki fungsi akademik sebagai tempat belajar. Hal ini sebangun dengan keberadaan suffah pada masjid Nabi di Madinah. Dahulu, para sahabat nabi yang masih muda dan belum menikah tinggal di Masjid dan belajar agama (tafaqquh fid Din) langsung dari Nabi. Mereka berjumlah sekitar 900 orang, antara lain Abu Hurairah. Sebagian mereka adalah pemuda yang berasal dari luar Madinah.
Ketiga, bantuan pembangunan atau renovasi asrama. Keberadaan asrama ini sangat esensial dalam sistem pendidikan pondok pesantren. Santri belajar dan tinggal di asrama. Santri belajar 24 jam dengan bimbingan spiritual dari Kyai dan asatidz/asatidzah. Mulai pembiasaan ibadah, mudzakarah, hingga praktek kerja. Santri belajar ilmu secara teoritis dan praktik langsung dalam kehidupan nyata, sehingga pesantren menjadi subkultur dalam masyarakat di sekitarnya.
Keempat, bantuan sumur, sarana air bersih, dan sanitasi lainnya. Air adalah sumber kehidupan dan sangat diperlukan untuk keabsahan ibadah, seperti istinja’, wudhu dan mandi. Keberadaan sumur dan sanitasi yang layak meningkatkan derajat kesehatan warga pesantren dan mengurangi kemungkinan santri terpapar penyakit menular, seperti penyakit kulit, disentri, dan lainnya.
Kelima, bantuan alat produksi pertanian. Pesantren pada umumnya memiliki lahan wakaf, berupa sawah, ladang, atau empang. Selain belajar tafaqquh fid Din, para santri juga belajar mengolah lahan wakaf tersebut dan hasil panennya dinikmati untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok mereka. Untuk meningkatkan kapasitas produksi dan nilai tambah ekonomi pertanian pesantren, maka pemerintah perlu memberikan bantuan teknis berupa pelatihan dan alat produksi modern yang diperlukan untuk pengolahan lahan maupun pengolahan hasil panen. Dalam pengertian yang luas bantuan alat produksi pertanian meliputi kegiatan perkebunan, peternakan, perikanan, dan kelautan. Bantuan ini akan berdampak pada ketahanan pangan berbasis pesantren dan komunitas.
Keenam, digitalisasi Pesantren. Penyelenggaraan pendidikan dan dakwah pesantren perlu adaptif dengan perkembangan zaman pada era digital. Selain versi cetak, kitab-kitab yang dipelajari dan diajarkan di Pesantren disimpan secara digital. Pesantren perlu akses ke perpustakaan digital. Kegiatan dakwah pun dilakukan secara digital melalui YouTube dan media sosial lainnya sehingga dapat diakses oleh masyarakat luas. Di sinilah peran penting pesantren sebagai agen dakwah dan penyebarluasan nilai nilai Islam rahmatan lil’alamin.
Fasilitasi Pondok Pesantren itu dilakukan oleh Pemerintah Daerah politik anggaran di APBD. Baik berupa bantuan operasional, hibah, maupun bantuan teknis melalui satuan kerja perangkat daerah. Selain itu juga melalui gerakan wakaf, sedekah jariyah, infak dan zakat yang diprakarsai Badan Wakaf dan Badan Amil Zakat. Termasuk juga apresiasi terhadap korporasi yang memberikan bantuan sosial dalam bidang ekonomi pendidikan dan lingkungan hidup melalui pondok pesantren. Wallahu a’lam***