Jakarta,Koranpelita.com
Asisten Deputi Peningkatan Partisipasi Organisasi Keagamaan dan Kemasyarakatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Nyimas Aliah mengapresiasi ditayangkannya Film ‘Invisible Hopes’ yang mengangkat potret kehidupan perempuan hamil dan anak yang dilahirkan di dalam penjara.
Bagi Nyimas, film ini merupakan karya seni yang dapat meningkatkan kepedulian masyarat dan dapat menjadi bahan diskusi bagi para pemangku kepentingan untuk bersinergi memenuhi hak serta melindungi perempuan dan anak di lembaga pemasyarakatan.
“Kami menyampaikan apresiasi luar biasa kepada Lam Horas Film atas keberhasilan proses produksi Film ‘Invisible Hopes’. Film ini mengangkat persoalan perempuan hamil dan anak di penjara, kondisi ini masuk ke dalam situasi darurat yang menjadi salah satu isu penanganan Kemen PPPA. Melalui film ini, saya merasakan begitu besarnya cinta sutradara Ibu Lam Tiar kepada perempuan dan anak,” ungkap Nyimas dalam acara Gala Premier Film ‘Invisible Hopes’ di Senayan, Jakarta (03/04/2021).
Nyimas menambahkan Film ‘Invisible Hopes’ telah menggambarkan dengan jelas bahwa pemberdayaan perempuan di lembaga permasyarakatan masih sangat minim. Begitu juga dengan pemenuhan hak anak yang masih terabaikan di lapas. Padahal dalam situasi darurat perempuan dan anak sangat rentan mengalami kekerasan, ketidakadilan, hingga eksploitasi.
“Saya juga menyampaikan terima kasih kepada Lam Horas Film dan seluruh pihak yang mendukung film ini. Kemen PPPA tidak bisa bekerja sendiri, disinilah pentingnya keterlibatan seluruh pihak, mulai dari organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, maupun dunia perfilman terhadap isu perempuan dan anak, apalagi dengan meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia,” jelas Nyimas.
Kemen PPPA telah berupaya melindungi perempuan dan anak, mulai dari mengeluarkan kebijakan terkait pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Kemen PPPA juga sudah menjalankan amanat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial, melalui pemenuhan kebutuhan spesifik perempuan dan anak, seperti kebutuhan reproduksi saat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui.
“Kebutuhan spesifik inilah yang harus dipastikan terpenuhi dalam kondisi apapun, apalagi dalam kondisi rentan. Begitu juga dengan pemenuhan gizi anak, di waktu emas pertumbuhan anak, mereka sangat membutuhkan pemenuhan gizi untuk pertumbuhan tubuh, perkembangan otak, dan lainnya,” terang Nyimas.
Lebih lanjut, Nyimas menuturkan untuk menindaklanjuti Perpres Nomor 8 Tahun 2014, saat ini Kemen PPPA juga sedang menyusun Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) yang ditargetkan selesai tahun ini. Film Invisible Hopes akan menjadi masukan penting dalam mengakomodasi penyusunan RAN P3AKS.
Pada rangkaian Peringatan Hari Ibu setiap 22 Desember, Kemen PPPA bersama organisasi perempuan juga melakukan kegiatan sosial, di antaranya mengunjungi lembaga pemasyarakatan perempuan di Bambu Apus, Jakarta untuk memberikan pemenuhan kebutuhan spesifik perempuan dan anak serta memberikan peralatan untuk meningkatkan keterampilan, seperti alat untuk membuat kue, salon, alat musik, dan lain-lain.
Menurut Nyimas, upaya ini penting untuk mengadvokasi para pembuat kebijakan bahwa ada kebutuhan berbeda, seperti yang terlihat di dalam film ‘Invisible Hopes’ dan kebutuhan tersebut merupakan hak perempuan dan anak yang harus dipenuhi.
“Apakah cintaku terlalu besar? Ketika mereka berkata untuk apa kamu membela perempuan jahat sampah masyarakat? kemudian saya menjawab perempuan sampah masyarakat itu sedang membawa kehidupan dalam rahimnya. Apakah cintaku terlalu besar? Ketika tidak bisa mengusir bayang-bayang anak-anak tidak berdosa mendorong jeruji besi sambil berteriak, mama pertugas, mama buka. Kami marah karena atas nama stress anak mereka menjadi pelampiasan kemarahan. Kami marah karena anak-anak harus diberikan begitu saja kepada orang asing karena tidak ada seorangpun yang menginginkan mereka di luar sana. Marahku sangat besar tapi sebesar itulah rasa cintaku kepada mereka,” ujar Sutradara Film ‘Invisible Hopes’ sekaligus Pendiri Lam Horas Film, Lamtiar Simorangkir saat membacakan sebuah puisi sebelum menutup sambutannya.
Pada acara ini, Lamtiar menyampaikan Film ‘Invisible Hopes’ diproduksi bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat sekaligus memberi edukasi terkait pentingnya pemenuhan hak dan perlindungan bagi perempuan hamil dan anak di penjara.
“Melalui film ini, kami ingin menunjukkan realita baru yang mungkin belum banyak diketahui masyarakat, sekaligus mengampanyekan gerakan kembali ke bioskop dengan aman. Kami berharap film ini dapat menjadi bahan diskusi bagi pemerintah untuk mencari solusi bagi persoalan perempuan dan anak di dalam penjara,” jelas Lamtiar.
Sementara itu, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Tapanuli Utara, Sudirman Manurung turut mengapresiasi serta merasa bangga atas keberhasilan Lamtiar sebagai putri daerah Tapanuli Utara yang telah melahirkan Film ‘Invisible Hopes’. Sudirman menilai jika melihat situasi saat ini, banyak anak yang berada di luar penjara hidup dalam kondisi tertinggal, apalagi dengan anak-anak yang harus berada di dalam jeruji besi.
“Kami yakin hadirnya film ini, merupakan bentuk kepedulian Lam Horas Film untuk memastikan terlindunginya perempuan dan anak. Semoga ke depan, seluruh perempuan dan anak dapat terselamatkan dan terlindungi dari berbagai bentuk kekerasan dan perlakuan buruk lainnya dimanapun mereka berada, mengingat anak adalah aset untuk membangun bangsa ini di masa depan,” tutup Sudirman.
Invisible Hopes merupakan film dokumenter hasil karya komunitas film bernama Lam Horas Film yang secara resmi akan tayang di bioskop Indonesia pada Mei 2021. Proses produksi film ini didukung oleh Kedutaan Besar Norwegia dan Kedutaan Besar Swiss.
Film ini mengangkat sisi kehidupan perempuan hamil dan anak-anak yang terpaksa dilahirkan di dalam penjara. Mulai dari keterbatasan makanan bergizi yang dikonsumsi, masalah kesehatan janin yang mengancam keselamatan perempuan hamil, terganggunya kesehatan anak, hingga masalah pengasuhan anak menjadi konflik menyedihkan yang diangkat oleh Lamtiar dalam film ini. (Vin)