Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit
Terkesan klasik dan kedaluwarsa. “Hari gini” menyoal tentang kerusakan hutan dan penanggungjawab atas kerusakan itu. Namun sebagai satu kontemplasi, kiranya tak ada silapnya, Ketika klarifikasi ini dilakukan. Tujuannya tak lain untuk setidaknya memahami kerusakan itu pada tingkatan kosneptual siapa yang paling bErtanggjungjawab. Tentunya dengan harapan ke depan dapat dijadikan sebagai pelajaran berharga tentang pengelolaan hutan yang berbasis kelestarian lingkungan hidup.
Masalahnya memang kompleks, bahkan sangat kompleks. Disebakan pengelolaan hutan tidak saja berbasis ekonomi, tetapi juga sosial bahkan politik dengan basis yang paling mendasar untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Namun demikian bukannya tanpa aturan, dalam arti bisa begitu saja pengelolaan itu tidak berbasis pada pengaturan yang jelas. Untuk itulah, kiranya analisis berikut difokuskan pada framing dari perspektif hukum.
Kilas Balik
Sekadar megngat kembali, sebagai satu titik analisis ketika masyarakat Kalimantan Tengah, dengan diwakili oleh sekelompok penggiatlingkungan, pada 2016 yang lalu menggugat pemerintahan Joko Widodo sevagai subyek hukum mewakili Negara. Gugatan dimaksud terkait perbuatan melawan hukum atas kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla. Gugatan dilayangkan melalui Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya, dan tercatat pada Register Perkara No: 118/Pdt.G/LH/2016/PN.Plk.
Atas dasar gugatan ini, majelis hakim menyidangkannya, dan pada 22 Maret 2017 gugatan masyarakat tersebut dikabulkan. Amar putusan itu, bahwa pertama, para tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Kedua, Menghukum Tergugat Presiden untuk menerbitkan Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan serta harus melibatkan peran serta masyarakat.
Pemerintah melakukan upaya Banding, dan Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Palangkaraya memvonis Presiden Joko Widodo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah serta Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah karena telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam kasus Karhutla. Dinyatakan dalam putusan itu juga, bahwa Presiden Joko Widodo dan pihak terkait dianggap tidak mampu memberikan kepastian hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat kepada seluruh rakyat Kalimantan Tengah yang ditandai maraknya Karhutla, di wilayah Kalteng.
Pada perkembangannhya, atas dasar putusan PN dan PT Palangkaraya tersebut Persiden Jokowi menempuh jalur hukum dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada 2017. Pada upaya Kasasi ini, ternyata Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait perkara kebakaran hutan dan lahan (Karhutla)di Kalimantan Tengah (Kalteng) dimaksud. Putusan tersebut, sekaligus menguatkan putusan sebelumnya di Pengadilan Negeri Palangkaraya dan Pengadilan Tinggi Palangkaraya.
Menurut majelis hakim kasasi putusan judex facti dalam hal ini putusan pengadilan tingkat banding pada PT, pada Pengadilan Tinggi Palangkaraya yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya sudah tepat dan benar dalam pertimbangan hukumnya, sebab penanggulangan bencana dalam suatu negara termasuk juga di negara Republik Indonesia ini adalah menjadi tanggung jawab pemerintah
Aturan Berkepastian Hukum
Bahwasanya fenomena kebakaran hutan dan lahan gambut setiap tahun sering dianggap sesuatu yang biasa terjadi, bahkan di kalangan pengambil kebijakan. Di antaranya kasus kebakaran hutan dan lahan beberapa provinsi di Indonesia seperti di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Keberadannya diapndang sebagai satu konsekuensi dari fenomena alam semata.
Pada hal secara normatif, pemerintah sudah mempunyai aturan yang jelas tentang larangan membakar hutan, yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahkan peraturan teknis yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
Pada ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan, “Setiap orang dilarang: (a) melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; (h) melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.. aturan ini jelas dan tanpa multiinterpretasi. Oleh karena itu Putusan PN dan PT Palangkaraya tersebut harusnya diartikan sebagai satu putusn yang berkepastian hukum.
Artinya satu putusan yang mengingatkan kementerian dan badan-badan kehutanan dan lahan gambut di bawah pertanggungjawaban Presiden untuk lebih berperan dan bertanggung jawab dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan, pengendalian kebakaran hutan, dan penjagaan lingkungan hidup yang sehat, dan perlunya meninjau akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (Peraturan Presiden No 29/2014). Yaitu, akuntabilitas kementerian teknis bidang kehutanan bersama-sama melaksanakan fungsi dan tugas dengan dinas kehutanan dan lingkungan hidup di daerah karena objek kebakaran hutan dan lahan tersebut berada di daerah
Secara substansi pPutusan pengadilan tersebut sebenarnya juga ingin mengingatkan janji Presiden Joko Widodo dalam 9 agenda prioritas program pemerintahan yaitu Nawacita, di antaranya menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara dan agar pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi demokrasi.
Penanggungjawab administrasi
Dengan demikian secafa administrative penanggungjawab atas kerusakan hutan yang tejadi selama ini adalah pemerintah. Secara administrative teknis adalah pada kementerian terkait kehutanan dan lingkungan hidup, badan-badan yang dibentuk untuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, serta komunitas seperti Masyarakat Peduli Api (MPA). Disebabkan masih tidak terwujudnya soliditas dalam penanganan kerusakan hutan, khususnya Karhutla.
Secara teknis, untuk mengantisipasi penyebab kebakaran hutan selalu akan sama. Yaitu, kebakaran hutan dan lahan yang berasal dari areal perkebunan, hak pengusahaan hutan tanaman industri (HTI), dan hutan gambut yang rentan terbakar. Jika hutan dan lahan terbakar merupakan hutan negara, maka yang bertanggung jawab adalah negara, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sedangkan, jika hutan atau lahan yang terbakar merupakan kawasan hutan tanaman industri (HTI) ataupun kawasan perkebunan kelapa sawit, yang harus bertanggung jawab adalah perusahaan pemilik HTI atau pemilik perkebunan sawit yang bersangkutan.
Dalam hubungan ini, menjadi pelajaran bahwa negara dan pemerintah kurang memperhatikan pihak-pihak yang dirugikan dari kebakaran hutan. Dalam hal ini, masyarakat adat atau masyarakat desa setempat terutama perempuan dan anak-anak yang bermukim di sekitar hutan dan lahan gambut dan terpapar asap yang membahayakan kesehatan dan jiwa mereka. Mereka membutuhkan kepastian dan keadilan agar tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan berulang-ulang. Penanggulangan serta pertanggungjawaban atas kebakaran hutan dan lahan perlu lebih transparan dan jelas, serta pemerintah dan negara harus terikat pada hukum yang dibuatnya sendiri.***