Bekasi Ora (10)
“Bapak ngajari kowe kabeh boso karo bapak, ora karono bapak pingin dibasani. Ugo ora pingin bapak tok ajeni banget-banget”.
“Bapak ngajari kowe kabeh boso karo bapak kuwi sak jane ben kowe ngerti unggah ungguh. Toto kromo karo sak podo podo”.
Begitu bapak membuka percakapan suatu ketika di sore hari sambil menunggu maghrib. Bapak di akhir masa hidupnya banyak berpesan tentang bagaimana menjalani kehidupan di masyarakat.
Rusdi Hadi Suwarno Bin Kasan Suhadi Bin Tjokro Dikromo nama lengkapnya. Ketika sugengnya dikenal masyarakat sebagai sosok terpelajar. Pergaulan yang luas, ditopang pekerjaannya yang mengharuskan untuk mampu berkomunikasi dengan banyak orang. Bapak sering menjadi rujukan tentang banyak hal.
Kepada kami anak-anak, cucu dan cicit berpesan untuk selalu menjaga hubungan baik dengan sesama. Termasuk dalam menerapkan bahasa ibu, bahasa Jawa.
Sebagai orang Jawa bapak berkewajiban mengajarkan bagaimana menjadi piyayi yang sesungguhnya. Pergaulan yang tertata, unggah ungguh dantata kromo. Mampu menempatkan diri secara tepat, ngeman papan.
Bapak dikenal masyarakat sebagai orang baik. Pergaulan di masyarakat dan dalam menjaga silaturtahim. Sebagai anak berbakti kepada kedua orangtuanya. Juga kepada orangtua istrinya atau mertua yang sesungguhnya juga orang tua kita.
Membantu masyarakat, tidak kurang-kurang. Tidak seluruhnya berupa materi, tapi fasilitas yang berada di bawah kewenangannya. Ketika menjabat sebagai capten crew restorasi kereta api. Sebuah devisi kereta api yang menjalankan bisnis restoran. Hampir semua orang kampung merasakan service, pelayanan restoran kereta api dari sang kapten.
Begitu cintanya kepada keluarga bapak tidak pernah marah kepada semua anggota keluarga. Bapak memilih menangis sendiri di tengah malam untuk menyesali kesalahan keluarganya. Menurut penuturan ibu, bapak sering menangis ketika berdua menghadapi permasalahan keluarga, anak-anaknya, adik-adiknya dan anggota keluarga lainnya.
Bukan lemah bapak menghadapi persoalan-persoalan hidup di dunia. Hal itu menggambarkan suasana hatinya, kelembutan jiwanya. Sebab bapak sudah terbiasa ditempa kehidupan yang sulit.
Hidup dan menjalani masa remaja di zaman pendudukan Jepang, sungguh sangat sulit. Survival membutuhkan perjuangan tersendiri. Bersama simbok, bapak berjuang untuk mempertahankan hidup. Meski sekedar untuk bisa makan di bawah standar kehidupan normal.
Bapak bersama simbok tepatnya, bapak bersama biyung dan rekan-rekan sekampung harus menempuh perjalanan panjang membawa dagangan di bawah terik matahari. Terbayang peluh bercucuran dan hanya tangis untuk menahan lapar dan dahaga.
Perjuangannya semasa remaja menjadi refleksi kehidupan selanjutnya. Bapak begitu besar empatinya kepada sesama, apalagi terhadap keluarga. Anak, cucu dan cicit. Kasih sayangnya juga untuk dua adiknya, prunan dan kerabat lainnya.
Sulung menjadi teladan, bahkan ketika membagikan warisan orang tuanya banyak diberikan kepada bungsu yang kasat mata lebih membutuhkan. Padahal sebagai anak pertama dapat mengambil hak lebih awal. Memilih dan menentukan, namun itu tidak dilakukan sebagai bentuk kasih sayangnya.
Ahlul khair. Ya bapak selalu menjaga hubungan secara baik. Hubungan baik dengan sesama dan tetutama hubungan baik dengan al Khalik. (D)