Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.
PERNYATAAN secara lisan disampaian Presiden Jokowi berkenaan dengan keberadaan industry Miras, memantik reaksi beragam di masyarakat. Jika diringkas, isinya meragukan isi pernyataan tersebut, serta media yang dijadikan sebagai sarana pencabutan yaitu secara lisan. Kekuatan hukum dari pernyataan ini, yang kemudian memantik keraguan dan kontroversi dimaksud menyebabkan permasalahan yang sensitive ini bak bola liar yang menggelinding memantik kontroversi.
Muasal
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut izin investasi minuman keras (Miras) atau minuman beralkohol. Keberadaan izin yang memantik kontroversi itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang diteken kepala negara 2 Februari 2021 lalu. Tepatnya ada di lampiran 3, nomer 31 dan 32. Jadi yang dicabut secara lisan itu bukan Perpres tetapi lampiran nomer itu.
Membuka Perpres itu sendiri, yang dimaksukan sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal dalam UU Ciptakerja (UU No. 11 Tahun 2020) sudah mengandung cacat hukum. Pasalnya, ketentuan UU harusnya dijabarkan dengan Peraturan Pemerintah. Mengapa hal itu tidak diatur dalam PP, pemerintah yang tahu, tetapi yang pasti dari sisi ini Pemerintah tidak taat asas (vide pasal 7 UU No. 15 Tahun 2019, yo pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011).
Secara substansi, dengan pencabutan Lampiran dari Perpres No. 10 Tahun 2021 itu 2021 maka Miras kembali masuk dalam bidang usaha tertutup investasi. Hal ini tercantum dalam aturan sebelumnya, yakni Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Adapun definisi bidang usaha yang tertutup adalah bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal. Perpres No. 10 Tahun 2021 mengubah Perpres No. 44 Tahun 2016. Salah satunya, pemerintah memangkas jumlah bidang usaha tertutup atau daftar negatif investasi (DNI) dari 20 sektor menjadi hanya enam sektor. Artinya ada 14 sektor yang sebelumnya masuk daftar bidang usaha tertutup kini menjadi terbuka bagi investor baik domestik maupun asing.
Dari 14 sektor tersebut, tiga di antaranya adalah Miras mengandung alkohol, minuman mengandung alkohol anggur, dan minuman mengandung malt. Sebelumnya, tiga jenis investasi tersebut masuk dalam bidang usaha tertutup investasi. Namun, dalam Perpres No. 10 Tahun 2021 ketiga sektor itu masuk sebagai usaha dengan persyaratan tertentu. Penyebutan dimaksud tercantum dalam lampiran tiga Perpres No. 10 Tahun 2021 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari regulasi itu.
Daftar bidang usaha dengan persyaratan tertentu yang merinci bidang usaha, klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia, dan persyaratan tercantum dalam lampiran III dimaksud yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan presiden ini, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 6 ayat 2 Perpres No. 10 Tahun 2021.
Legal Formal
Masalah mendasar berikutnya yang terkait dengan sengkarut adalah pengaturan lebih lanjut dalam peraturan dimaksud. Sebagai jenis usaha tertentu, ada dua persyaratan yang harus dipenuhi oleh investor yang hendak menempatkan modalnya pada tiga sektor usaha tersebut. Sekaitan dengan hal ini maka persyaratan yang menjadi alas legal formal dari pengelolaan industri Miras dengan undangan investasi ini adalah:
Pertama, penanaman modal baru dapat dilakukan di Provinsi yaitu Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua, dengan memperhatikan budaya dan kearifan lokal setempat. Empat wilayah ini dipilih karena sudah banyak industri lokal dan terdapat budaya atau kebiasaan yang membolehkan masyarakat mengonsumsi minuman alkohol. Namun demikian sampai saat ini baru tiga provinsi yang telah mengajukan permohonan ke BKPM di antaranya Bali, NTT, dan Sulawesi Utara. Di luar provinsi itu, gubernur bisa saja mengajukan permohonan serupa, tapi dengan satu syarat tambahan yakni sudah berkoordinasi dan mendapat persetujuan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat.
Kedua, penanaman modal di luar provinsi tersebut harus mendapat ketetapan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berdasarkan usulan gubernur. Namun, pembukaan keran investasi tersebut menuai kontra dari berbagai pihak. Pasalnya, sejumlah kalangan menilai pembukaan keran investasi Miras justru membawa lebih banyak dampak negatif ketimbang positif, yakni mendorong perekonomian. Ada rencana BKPM mengundang MUI supaya bagaimana menetapkan daerah-daerah yang 30 provinsi lain itu. Sebab wajib mendapat rekomendasi gubernur dan MUI.
Terkait dengan perijinan ini, bahwa setiap badan usaha yang akan mengajukan perizinan industri minuman beralkohol akan dinilai oleh BKPM dari berbagai sisi, khususnya tentusaja dari sisi social, ekonomi dan agama. Termasuk yang bersifat umum selama ini seperti dari segi tempat, peralatan, hingga bahan baku yang digunakan. Di luar itu, mereka harus memiliki izin Amdal, kesesuaian tata ruang, dan persetujuan bangunan. Proses perizinan tersebut diperkirakan memerlukan waktu antara 1 – 1,5 tahun.
Investasi Asing dan Masalah
Bahwa secara administratif keberadaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja ini cacat administrasi. Sebab sebagaimana dinyatakan di atas, harusnya penjabaran dari UU dilakukan dengan Peraturan Pemerintah, setingkat lebih tinggi dari Peraturan Presiden (Perpres) dan langsung di bawah Undang Undang (UU). Lepas dari hal ini, bahwa dengan pencantuman bidang usaha dalam aturan itu maka aktivitas dimaksud boleh mendapat aliran investasi. Dengan dicoretnya investasi industri Miras maka jenis industri ini tidak bisa memperoleh suntikan investasi dari investor asing, domestik, koperasi, hingga usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Investasi asing boleh mengalir dengan nilai lebih dari Rp10 miliar di luar tanah dan bangunan, dengan ketentuan wajib membentuk Perseroan Terbatas dengan dasar hukum Indonesia. Hanya saja, dengan pencoretan ini, ketentuan tentang kucuran dana investasi juga ikut mandeg. Kemandegan ini sejatinya harus dilakukan sejak awal, sebab belajar dari hamper seluruh negara di dunia pengelolaan industri Miras senantiasa bermasalah dan pasti menimbulkan masalah.
Di Amerika misalnya sampai ada kelompok masyarakat yang mencoba untuk bergabung guna menghindari alkohol. Banyak sekali di AS dan menunjukkan minuman alkohol tidak baik. Dari hal ini, maka secara umum manakala di negara lain buruk, tentu di Indonesia sama buruknya.
Apa lagi, merujuk pada Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, dalam sepuluh tahun terakhir rata-rata konsumsi alkohol nasional mengalami peningkatan. Dari 35 survei, konsumsi alkohol hanya berkurang di tiga provinsi yakni Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi. Sedangkan di 32 provinsi lainnya, jumlah konsumsi alkohol bertambah. Alkohol yang paling banyak dikonsumsi adalah Miras tradisional, bir, anggur-arak, oplosan, dan jenis lainnya. Pada hal dari sisi formulasi, minuman keras beralkohol diklasifikasikan sebagai karsinogenik oleh Badan Internasional untuk Penelitian Kanker dan meningkatkan risiko beberapa jenis kanker.
Alkohol sebagai imunosupresan dan meningkatkan risiko penyakit menular, termasuk tuberkulosis dan HIV, dan rentan alami komplikasi penyakit yang berakibat fatal seperti kerusakan tulang, kanker hingga serangan jantung. Belum lagi dampak kriminal dari perilaku orang yang mabuk Miras.
Konsumsi minuman keras beralkohol juga dikaitkan dengan beberapa risiko kesehatan jangka pendek dan jangka panjang,sehingga sulit untuk menentukan ambang batas populasi yang berlaku secara universal untuk minum berisiko rendah. Oleh karena itu harusnya pencabutan itu tak sekadar didasarkan pada aturan tingkat Perpres, namun berdasarkan aturan yang lebih tinggi dengan menutup sama sekali produksi minuman beralkohol. Secara materi, dampak buruk Miras begitu nyata, sekurangnya sangat banyak dampak buruk daripada terlalu sedikit dampak baiknya.***