Memberantas Mafia Tanah, Mulai Dari dan Berakhir Dimana (6-HABIS)
Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.
PERSPEKTIF administratif, untuk kesadaran dan kemauan pihak politisi dapat ditelusuri dari produk kebijakan yang mereka hasilkan. Dengan didasari Keppres No 131 Tahun 1961 yang kemudian disempurnakan dengan Keppres No. 263 Tahun 1964, dibentuk Panitia Landreform di Indonesia mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, sampai dengan kecamatan dan desa. Hal ini menandakan bahwa pemerintah menaruh perhatian yang tinggi, meskipun masih terkesan sentralistik. Namun kemudian keluar Keppres No 55 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Penyelenggaraan Landreform.
Di dalam peraturan ini dinyatakan bahwa Panitia Landreform tersebut dibubarkan dan dialihkan wewenangnya kepada jajaran birokrasi Departemen Dalam Negeri, mulai dari menteri sampai dengan camat dan kepala desa. Semakin jelas dari kebijakan ini, bahwa landreform dianggap sebagai bagian pekerjaan rutin belaka oleh pemrintah, namun akses masyarakat dan swasta untuk terlibat kurang jelas posisi dan perannya.
Dapat dikatakan, kebijakan landreform di masa Orde Baru mengambang dan kabur. Sikap ini dapat dimaknai sebagai sebuah sikap untuk mengambil keuntungan secara politis dalam perebutan penguasaan lahan ketika berhadapan dengan petani dan masyarakat. Dalam konteks otonomi daerah, di mana pemerintahan daerah semakin diperkuat, namun aspek landreform secara umum masih menjadi kewenangan dari pusat. Lebih ironisnya, pemerintah lokal yang lebih berpihak kepada investor swasta, cenderung menjadi makelar untuk penyediaan tanah bagi mereka. Kebijakan landreform jelas bukan merupakan ide yang menguntungkan untuk meraih investor, retribusi, dan pendapatan daerah.
Organisasi yang Kuat
Permasalahan berikut yang sangat mendasar adalah adanya kenyataan yaitu ketiadaan organisasi masyarakat tani yang kuat dan terintegrasi. Dalam kaitan ini, manakala ditelusuri perkembangan keberadaan kelembagaan (atau adakalanya disebut organisasi) dalam masyarakat pertanian dan pedesaan, terlihat bahwa kelembagaan umumnya dibentuk dari atas, dan lebih sebagai wadah untuk distribusi bantuan dari pemerintah sekaligus untuk memudahkan pengontrolannya. Ribuan kelompok tani yang dibuat serta ditambah ribuan lagi koperasi, umumnya bukan berasal dari ide dan kebutuhan masyarakat setempat. Jenis kelembagaan seperti ini tentu bukan merupakan wadah perjuangan yang representatif untuk mengimplementasikan landrefrom, karena selain kondisi individualnya yang lemah, juga tidak terstruktur dan terintegrasi satu sama lain.
Kelompok tani dibangun lebih sebagai sebuah organisasi ekonomi dan sosial, bukan organisasi untuk aktifitas politik praktis. Selainitu, beberapa organisasi yang sudah terbentuk semenjak era Orde Baru, misalnya Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) selain masih terjebak kepada kalangan elit (petani), juga pada awalnya kurang diberi keleluasaan dalam perjuangan politik. Namun semenjak era reformasi, organisasi-organisasi masyarakat yang tumbuh dari bawah banyak bermunculan, dan sebagian mengklaim sebagai organisasi yang berskala nasional. Salah satu lembaga yangbanyak memperjuangkan ide-ide tersebut adalah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang juga terlibat langsung dalam aksi-aksi di lapangan.
Pada perspektif lain, masih miskinnya ketersediaan data pertanahan dan keagrariaan. Pada hal dipahami bahwa data yang komprehensif merupakan kebutuhan yang pokok untuk merumuskan program landreform (dan bahkan reforma agraria) secara nasional. Misalnya untuk kebutuhan menyusun hukum payung yang komprehensif. Selain data kuantitatif juga diperlukan berbagai data kualitatif dalam konteks sosioagraria.
Bahwa untuk mengimplementasikan Landreform, maka beberapa pertanyaan pokok, yang sesungguhnya merupakan data-data utama, perlu dijawab terlebih dahulu, yaitu: siapa yang harus menerima lahan hasil landreform, dimana harus diselenggarakan, berapa tanah yang harus diberikan kepada penerima, apa jenis tanah yang menjadi objeknya, berapa biaya yang harus dikeluarkan, apakah penerima harus membayar, siapa saja yang berperan serta, dan pada level pemerintahan yang mana yang bertanggung jawab dan memonitor. Seluruh pertanyaan ini baru bisa dijawab jika tersedia data yang lengkap.
Permasalahan lain yang berkaitan dengan permasalahan ini adalah tersedianya anggaran yangmasih belum memadai. Dalam hal ini dipahami bahwa pelaksanaan landreform secara serentak dan menyeluruh akan menuntut biaya yang sangat besar, mulai dari persiapannya, pembentukan organisasi pelaksana, implementasi, sampai dengan pengawasan pasca redistribusi.
Dengan membandingkan pelaksanaan landreform di berbagai negara dunia ketiga yang dilaksanakan pada era tahun 1960-an dimungkinkan karena sesuai dengan konstelasi politik dunia saat itu. Pada umumnya setelah Perang Dunia II landreform dianggap salah satu kebijakan yang sangat penting untuk pembangunan, mengatasi kemiskina dan ketimpangan sosial. Saat itu negara-negara besar dan lembaga donor mendukungnya. Namun, setelah era tersebut, landreform tampaknya tidak lagi menjadi prioritas karena tidak secara langsung berhubungan dengan peningkatan ekonomi.
Lembaga Donor
Pada perspektif ini, lembaga donor lebih tertarik untuk mengimplementasikan program industrialisasi di negara-negara berkembang dibandingkan landreform. Kebijakan ini dipilih karena risikonya lebih kecil, dan tidak menimbulkan gejolak politik yang mahal. Bersamaan dengan itu, lahirnya revolusi hijau, semakin mengaburkan perhatian kepada landreform. Dengan teknologi baru, terutama introduksi varietas varietas unggul (high yield variety), maka kemajuan ekonomi pedesaan telah tercapai. Pada kurun selanjutnya, penemuan baru tentang rekayasa genetika (genetic modified organism) dan rekayasa sosial melalui sistem agribisnis dipercaya sebagai jawaban untuk meningkatkan produksi pertanian dan sekaligus kesejahteraan petani.
Sebagai negara berkembang, sebagian modal pembangunan Indonesia berasal dari pinjaman dari lembaga asing. Lembaga donor tersebut berkuasa untuk mengontrol penggunaan pinjaman tersebut. Keterbatasan anggaran merupakan satu alasan pokok mengapa pemerintahan Orde Baru tidak memilih program landreform yang biayanya besar dan hasilnya belum tampak dalam jangka pendek. Sebaliknya, karena tekanan ekonomi kapitalis, maka tanah dijadikan komoditas untuk menarik investor asing menanamkan modalnya, misalnya dengan regulasi dalam pengembangan perkebunan besar swasta.
Kondisi di atas secara langsung dipandang mendukung perekonomian Negara donor. Khususnya dalam hal penyediaan produk agraria, khususnya perkebunan yang mendung kungkebutuhan negara donor untuk konsumsi rakyat Negara tersebut. Misalnyaproduk kelapa sawit yangkemudian booming, dan produk lain yang juga menjadi kebutuhan negara donor. Akibatnya tentu mau tidak mau negara penerima harus menurut, dengan meninggalkan masalah penataan keagrariaan kendatipun sebenarnya permasalahan ini lebih mendasar bagi masyarakat penerima donor.
Harus Mulai Awal
Masalah keagrariaan merupakan satu di antarapermaalahan nasional yang sangat kompleks. Penyelesaian terhadap masalah tersebut cenderung berpacu dengan perubahan yangsangat pesat terahap berbagai permaaslahan yangmenhyertainya. Sementara penyelesdaian yang dijadikan sebagai dasarnya harus merujuk pada aturan yang berkepastian hukum.
Justru dalam permasalahan yang berkepastian hukum, seeringkali peraturan yangdisiapkan dan mulai diimplementasikan harus berpacu dengan waktu dan perubahan itu sendiri. Akibatnyua berbagai peraturan yang ada dan dijadikan sebagai dasar hukum tertinggal oleh kenyataan yang ada dalam masyarakat. Khususnya yang berhubungan dengan permasalahan lingkungan hidup, justru orientasi dari agraria nasional memerlukan pendekatan lebih komprehensif.
Di sini, urgensinya penataan yang harus dimulai daeri awal, dengan menitikberatkan pada pola pikir masyarakat terhadap problema keagrariaan yang sangat kompleks dimaksud. Berbagai konsep penataan yangsudah ada, harus diuji kembali kesahihannya sebagai dasar pengelolaan keagrariaan. Dengan tindakan demikian diharapkan tejadi sinergitas antara masalah keagrariaan pada satu sisi dengan keharusan orientasi pengelolaan yang berbasis lingkungan hidup.
Pada perspektif mafia tanah, konflik agraria dapat diselesaikan dengan meneaRpkan reforma agrarian secara konsisten. Kendatipun masalah mafia tanah termasuk hambatan besar, namun dengan penerapan itu miNimal bisa dikurangi secara signifikan, atau bahkan bisa dibeantas. Pembenahan pada aspek internal maupun eksternal yakni dengan memberlakukan sistem pelayanan elektronik, tertib administrasi dengan melakukan digitalisasi, hingga mengeluarkan kebijakan satu peta, menjadi solusi komprehensif yang harus dilakukan untuk membeantas mafia tanah saat ini.
Tidak kalah penting dari itu, mafia tanah juga memerulaj kebijakan berupa peranserta masyarakat yang dengan penuh kesadaran untuk mendaftarkan seluruh bidang tanah di seluruh Kawasan tanah air melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dengan mendaftarkan, memetakan hingga bersertipikat. Dengan demikian mengurai persoalan mafia tanah dalam konteks reforma agraria tentu harus ada komitmen bersama, bukan hanya penegak hukum karena mafia tanah ini begitu kuat keberadaannya. Segenap stake holders harus bahkan mutlak terlibat atau dilibatkan***