Memberantas Mafia Tanah, Mulai Dari dan Berakhir Dimana (4)
Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.
BAHWASANYA negara tidak perlu melakukan intervensi bila masyarakat telah dapat menyelesaikan masalah atau kepentingan sendiri dan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan kepentingan atau hak pihak lain yang diproteksi secara konstitusional. Bahwasanya kewenangan mengatur oleh negara tidak tak terbatas, tetapi dibatasi oleh dua hal, yaitu: (1) pembatasan oleh Undang-Undang Dasar (UUD). Pada prinsipnya hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat terhadap pelanggaran hak-hak dasar manusia yang dijamin oleh UUD; (2) pembatasan oleh tujuannya, yakni untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat atau untuk tercapainya keadilan sosial.
Hubungan antara negara dengan rakyat bukan hubungan subordinasi. Namun demikian hubungan yang setara karena negara memperoleh hak menguasai dalam kedudukannya sebagai wakil dari seluruh rakyat. Dalam kaitan ini sesuai dengan prinsip HAM, maka apa yang menjadi hak setiap orang merupakan kewajiban bagi negara untuk memenuhinya. Hal ini sejalan dengan eksistensi Negara yang keberadaannya adalah utuk kesejahetraan rakyat. Netralitas negara dan fungsinya sebagai wasit yang adil harus dapat diwujudkan pada tataran konkret. Demikian pula unifikasi hukum yang mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum setempat (pluralisme dan konten lokal).
Dalam kaitan ini, ketetuan di dalam Pasal 6 Ayat (1) UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa di dalam rangka penegakan HAM, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah. Hal ini dihubungkan dengan permasalahan keagrariaan ini adalah bahwa kebijakan yang bersifat nasional harus mampu memberi tempat pada hukum adat yang masih berlaku dan dijunjung tinggi dalam lingkungan masyarakat adat. Hal ini selaras dengan upaya perlindungan dan penegakan HAM dari masyarakat yang bersangkutan, selama hal itu tidak menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi pihak lain dan bertentangan dengan konstitusi.
Restrukturisasi Pemilikan dan Penguasaan Tanah
Bahwa hakekatnya land reform adalah sebagai upaya penataan kembali struktur pemilikan dan penguasaan tanah ditujukan untuk mencapai keadilan. Hal ini khususnya ditujukan kepada warga masyarakat yang sumber penghidupannya tergantung pada produksi dan tergantung pada pertanian. Dalam kaitan ini, bBerbagai program land reform, antara lain berupa redistribusi tanah (yang berasal dari tanah-tanah jabatan di desa, tanah yang tidak sesuai dengan kebutuhan riil perusahaan bidang industri, perumahan, jasa/pariwisata, pengusahaan di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan, dan lain-lain) kepada yang berhak. Tujuannya adalah peningkatan kesejahteraan sesuai komitmen konstitusi dan sebagai penyediaan lapangan kerja di sektor pertanian, teknologi, dan tersedianya peluang pasar untuk produk-produk pertanian.
Di samping rural land reform tersebut di atas, perlu diperhatikan juga urban land reform. Rural landreform, dalam pemahaman sederhana adalah penataan kawasan di luar perkotaan atau di pedesaan. Namun penataan di luar perkotaan cenderungtidak menmimbulkan permasalahan mendasar. Harusnya orientasi dari rural reform adalah cara berpikir dari kaum pedesaan,. Khususnya paa petani di dalam menggarap lahan mereka sehingga terjadi peningkatan produktivitas di dalam pengelolaannya.
urban land reform, dalam pemahaman sederhana adalah upaya untuk menciptakan penataan kawasan perkotaan (unran) yang sesuai dengan prinsip lingkungan hidup yang sehat.. Penataan kampung kumuh, pemukiman liar rakyat miskin banyak menyisakan pertanyaan, permasalahan hingga perlawanan di lapangan. Maraknya perhatian publik pada proses penggusuran, relokasi warga, dan sebagainya Hal ini disebabkan adanya kesenjangan posisi tawar antara mereka yang mempunyai akses modal dan akses politik di perkotaan, berhadapan dengan mereka yang tidak mempunyai akses tersebut. Sebagai akibatnya adalah munculnya kondisi yaitu semakin membuat orang miskin kota (urban poor) terpinggirkan dalam upaya memperoleh sebidang tanah untuk menopang kehidupannya.
Mewujudkan Keadilan
Bahwa secara konstitusional untuk penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam harus sedemikian rupa sehingga dapat dinikmati tidak saja oleh generasi sekarang, tetapi juga generasi yang akan datang. Hal ini merupakan komitmen atas keharusan mewariskan hal hal positif untuk generasi mendatang. Dalam suatu generasi, harus diupayakan keterbukaan akses bagi setiap orang, laki-laki dan perempuan, untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber daya alam (sumber agraria).
Dipahami bahwa pemanfaatan sumber daya alam oleh satu generasi tidak boleh mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang. Oleh karena itu ada komietmen yang harus dilaksanakan secara konsisten dijaga agar tidak terjadi eksploitasi yang berlebihan untuk kepentingan jangka pendek. Termasuk dalam kaitan ini prinsip ini adanya pengakuan terhadap kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber daya alam yang menjadi ruang hidupnya.
Pada perspektif lain, khususwnya di dalam kaitannya dengan fungsi sosial dan konflik pertanahan, maka dipahami bahwa di dalam kedudukan manusia sebagai individu, sekaligus makhluk sosial, ada kewajiban (sosial) yang timbul dan dipunyai oleh setiap pemegang hak. Hak yang dipunyai seseorang tidak bersifat tak terbatas, karena selalu dibatasi oleh hak orang lain dan hak masyarakat yang lebih luas, baik yang dilakukan oleh pemerintah dengan alasan kepentingan umum, maupun oleh pihak lain untuk berbagai kegiatan pembangunan.
Oleh karena itu secara konstitusional untuk pengambilalihan hak itu harus dilaksanakan sesuai dengan aturan hukum yang menjadi dasarknay. Akomodasi hal ini adalah sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 28 H Ayat (4) jo Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945 hasil Perubahan Kedua. Berikutnya harus diikuti dengan ganti kerugian atau kompensasi yang adil, baik terhadap kerugian fisik seperti kehilangan tanah, bangunan, tanaman, dan lain-lain. Maupun kerugian yang sifatnya nonfisik, seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan kesempatan utuk memperoleh keuntungan/ manfaat tertentu, dan sebagainya.
Dalam hal penyelesaian konflik pertanahan, maka terhadap konflik baik yang bersifat vertikal maupun horisontal harusnya diselesaikan secarfa bersamaan dan tuntas. Jika tidak diselesaikan dengan cara demikian dipastikan menjadi potensi konflik berkepanjangan. Hal ini akan merupakan gangguan untuk dapat terselenggaranya kehidupan sosial yang justru sulit diselesaikan.
Berikutnya, masalah yang berkenaan dengan pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah dan kelembagaan pendukung.
Perlu adanya kerelaan dan penegasan kewenangan Pusat dan Daerah, sehingga menjadi jelas pertanggungjawabannya masing-masing, utamanya dalam alokasi dan manjemen sumber-sumber daya agraria / sumber daya alam. Bahwa Reforma Agraria telah dipilih sebagai suatu pilihan kebijakan restrukturisasi pemilikan/penguasaan dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam lainnya, maka sebaai konsekuensinya harus disediakan suatu lembaga pendukung yang dapat memfasilitasi pelaksanaannya, mengkoordinasikan menyelesaikan sengketa yang timbul dari pelaksanaannya.
Penerapan prinsip, transparansi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan. Bahwasanya paradigma lama yang bercirikan sentralisme dalam pembuatan kebijakan telah menafikan partisipasi, sekaligus tidak bersifat pembuatannya. Tradisi sosialisasi terhadap penyiapan Ranangan Undang undang dan rancangan peraturan pelaksanannya harus bersifat terbuka. Dalam arti harus ada konsistensi untuk mendasarkan pada kebutuhan rakyat. Oleh karena itu harus senantiasa ada ruang untuk konsultasi publik dalam setiap tahapan yang bersangkutan, sehingga terwujud peranserta atau partisipasi aktif dari stakeholders. Dengan demikian substansi yang terkandung dalam peraturan dimaksud jelas tujuan dan eksistensinya.
Prinsip yang didasarkan atas usaha-usaha produksi di lapangan agraria.
Dengan klarifikasi bahwasanya restrukturisasi pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria haruslah diikuti dengan suatu program yang sistematis untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan produksi yang menjadi dasar bagi pengembangan ekonomi rakyat. Untuk memperkuat ekonomi rakyat harus ada pembatasan yang tegas bagi usaha-usaha produksi skala besar yang pemilikan atau penguasaannya terkonsentrasi di satu tangan di lapangan agraria. Terlebih lagi, monopoli kegiatan usaha produksi di lapangan Agraria haruslah dicegah.
Sekaitan dengan penerapan pembiayaan program-program pembaruan agraria, maka pelaksanaan program-program pembaruan agraria yang berkesinambungan memerlukan tersedianya logistic, khususnya biaya secara rutin yang harus dijamin oleh pemerintah sebagai konsekuensinya. Tanpa adanya dukungan biaya, program-program pembaruan agraria hanya akan berada di alam rencana tanpa realisasi. Oleh karena itu tersedianya dana yang memadai, dengan dukungan pengendalian secara sosial sangat dibutuhkan dan menjadi bagian dari pembiayaan secara konsisten. Hal demikian harus dilaksanakan secara parsipatoris, dan menghargai kesetaraan jender, dalam konteks pembangunan ekonomi, sosial yang berkelanjutan dari segi lingkungan.
Kebijakan tersebut hendaknya memberi kontribusi terhadap ketahanan pangan dan penghapusan kemiskinan, berdasarkan hak asasi yang bersifat individual, komunal dan kolektif, kesetaraan, termasuk, inter alia, kesempatan kerja. Khususnya melalui perusahaan skala kecil dan menengah, penyertaan sosial dan konservasi aset lingkungan dan budaya di wilayah pedesaan, melalui perspektif mata pencaharian yang berkelanjutan dan pemberdayaan kelompok terkait yang bersifat lemah di pedesaan. Kebijakan demikian tentunya menghargai hak dan aspirasi masyarakat pedesaan, khususnya kelompok lemah yang termarjinalkan dalam kerangka hukum nasional dan dialog yang efektif.***