Memberantas Mafia Tanah, Mulai Dari Mana dan Berakhir Dimana( 2)
Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.
SEMENJAK tahun 1965 hingga sekarang, UUPA seperti “dipeti-eskan”. Berbagai kebijakan negara yang lahir kemudian bertentangan dengannya, sehingga konflik agraria semakin mencuat. Data konflik agraria yang diungkap Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dari tahun 1970-2001 saja, misalnya tercatat 1.753 kasus, yang mencakup luas tanah 10.892.203 hektar dan mengakibatkan setidaknya 1.189.482 keluarga menjadi korban.
Pergantian rezim ke era reformasi tak mengurangi konflik agraria yang menimbulkan korban jiwa di pihak petani. Saat ini, muncul wacana untuk merevisi UUPA dengan anggapan UUPA sebagai sumber konflik. Padahal, sampai saat ini UUPA secara sejati belum pernah dijalankan dengan sungguh-sungguh. Maka, untuk menanggulangi konflik agraria adalah bukan merevisi UUPA namun menjalankan UUPA sebenar-benarnya.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2019 ada sebanyak 279 konflik agraria. Konflik tersebut berdampak terhadap 109.042 keluarga di berbagai provinsi di Indonesia.
Berdasarkan data KPA, selama lima tahun terakhir, sektor perkebunan, properti, dan infrastruktur menjadi penyumbang terbesar terjadinya konflik agraria. Sedangkan sepanjang tahun 2020, KPA mencatat sebanyak 241 kasus konflik agraria yang terjadi di seluruh wilayah tanah air.
Jumlah di atas bisa disebut sebagai anomali karena konflik terus terjadi di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang menyebabkan resesi serta membatasi pergerakan orang. Ketika terjadi minus perekonomian nasional dan juga penerapan PSBB yang membatasi ruang gerak, termasuk ruang gerak investasi dan modal, justru perampasan tanah berskala besar di tahun 2020 tidak menurun
Tataran Konseptual
Tentu saja konsep yang diidealismekan sebagai bagian tak terpisahkan dari perlindungan hukum secara administratif terhadap bidang tanah ini sudah didedikasikan sedemikian rupa melalui kaji dan uji semenjak lama. Dengan demikian diyakini keberadannya serbagai system yang jitu, tidak saja dalam kaitan dengan upaya represif mencegah praktik mafia tanah, lebih jauh juga berorientasi kepada pengelolaan tanah secara berkeadilan.
Bahwa Agrarian reform dan land reform seringkali dianggap identik. Berbagai pihak, dengan sudut pandang yang beragam memberikan pengertian yang berbeda-beda mengenai Reforma Agraria. Di dalam pengertian terbatas, Reforma Agraria dipandang sebagai land reform, dengan salah satu programnya yaitu redistribusi tanah (pembagian tanah). Pada hal ini hanya merupakan satu sisi kendatiupun diakui sangat penting dalam Reforma Agraria. Bahwa Reforma Agraria memiliki arti yang lebih luas dan tidak hanya berupa land reform yang secara sempit diartikan ddengan pendistribusian lahan berupa tanah semaPemahaman secara konseptual, bahwa Reforma Agraria adalah penataan ulang struktur pemilikan dan penguasaan tanah beserta seluruh paket penunjang secara lengkap. Dimaksudkan dengan paket penunjang tersebut adalah adanya jaminan hukum atas hak yang diberikan, tersediaanya kredit yang terjangkau, adanya akses terhadap jasa-jasa advokasi, akses terhadap informasi baru dan teknologi, pendidikan dan latihan, serta adanya akses terhadap bermacam sarana produksi dan bantuan pemasaran. Jadi tidak semata berdasarkan problematika pertanahan dalam arti sempit atau distribusi tanah.
Ada yang menyebut bahwa Reforma Agraria juga dikenal sebagai pembaruan agraria. Konsep pembaruan merujuk kepada pelaksanannya bahwa yang dimaksudkan lebih luas dari sekadar pembagian tanah atau pendistribusian tanah yang seringkali dipolitisasi itu. Inilah maksud dari konsep bahwa Reforma Agraria dimaknai sebagai land reform plus. Intinya bahwa dari pelaksanaan Reforma Agraria adalah berupa land reform yang dalam arti sempit yaitu penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Komponen plus dalam Reforma Agraria dimaksud adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah, penyuluhan pertanian, dan lain – lain yang berhubungan dengan lebih produktifnya pengelolaan tanah.
Tidak Dipahami Sempit
Pada sisi lain, pembaruan agraria tidak boleh dipahami secara sempit yaitu proyek bagi – bagi tanah semata. Namun demikian harus diorientasikan pada upaya peningkatan kesejahteraan, khususnya petani serta revitalisasi pertanian dan pedesaan secara menyeluruh. Untuk itu selain harus merupakan upaya penataan struktural untuk menjamin hak rakyat atas sumber agraria melalui land reform.
Reforma Agraria harus merupakan upaya pembangunan lebih luas yang melibatkan multi-pihak untuk memberikan jaminan. Bentuknya adalah pada aset tanah yang telah diberikan dapat berkembang secara produktif dan berkelanjutan. Hal ini mencakup pemenuhan hak dasar dalam arti luas. Misalnya pendidikan, kesehatan dan juga penyediaan dukungan modal, teknologi, manajemen, infrastruktur, pasar dan lainnya yang intinya meningkatkan kesejahteraan khususnya petani.
Dalam hubungannya dengan hal di atas, ada dua komponen mendasar. Komponen yang pertama disebut sebagai asset reform, sedangkan yang kedua disebut access reform. Gabungan antara kedua jenis reform inilah yang dimaksud dengan land reform plus. Hal ini menjadi inti dari reforma agraria yang idealismenya adalah konsep yang betujuan tidak saja menata permasalahan lahan, tetapi juga kepada pola pikir masyarakat terhadap masalah pertanahan.
Seiring dengan ini, bahwa Reforma Agraria yang dikualifikasi sebagai land reform plus dimaksud filosofinya berlandaskan Pancasila dan konstitusionalnya berdasarkan UUD NKRI Th. 1945. Artinya ‘land reform’ yang mekanismenya untuk menata kembali proses yang dinilai tidak adil dengan penambahan akses reform diorientasikan secara teknis kepada pengelolaan, yaitu berupa pemberian tanah bagi petani.
Tujuannya adalah sebagai sarana atau alat yang dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan produktivitas sosialnya. Prinsip inilah yang menjadi konsep dasar pembaruan yang diemban Reforma Agraria yaitu tanah untuk terwujudnya keadilan dan kesejahteraan rakyat, khususnya petani dalam hal kepemilikan tanah sebagai penopang hidupnya.
Atas dasar konsep dasar tersebut, selanjutnya rumusan yang dipergunakan sebagai definisi Reforma Agraria yang menjadi dasar diselenggarakan di Indonesia adalah: pertama, dalam TAP MPR IX/MPR/2001, bahwa Reforma agraria adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan dan pemilikan sumber – sumber agraria, terutama tanah yang mampu menjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kedua, berdasarkan Penjelasan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) Pasal 10 Ayat 1 dan 2, bahwa “land reform”atau “agrarian reform” yaitu sebagai suatu ketentuan bahwa tanah harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri. Selanjutnya ketentuan itu perlu diikuti pula dengan syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain.
Pemahaman operasional dari Reforma Agraria sebagai upaya suatu program pemerintah dalam upaya menyelesakan berbagai permasalahan dengan melakukan pola kinerja yang sedara substantive tertuju pada pada akar permasalahannya adalah, dengan orientasi Reforma Agraria merupakan penataan ulang sistem politik dan hukum pertanahan berdasarkan prinsip pasal – pasal UUD 45 dan UUPA.
Identitas
Reforma Agraria merupakan proses penyelenggaraan Land Reform (LR) dan Access Reform (AR) secara bersama; LR adalah proses redistribusi tanah untuk menata penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah berdasarkan politik dan hukum pertanahan. AR adalah suatu proses penyediaan akses bagi masyarakat (subjek Reforma Agraria) terhadap segala hal yang memungkinkan masyarakat untuk mengembangkan tanahnya sebagai sumber kehidupan (partisipasi ekonomi- politik, modal, pasar, teknologi, pendampingan, peningkatan kapasitas dan kemampuan).
Di dalam pelaksanaan Reforma Agraria mencakup dua komponen sebagai dasarnya yaitu Redistribusi Tanah (land reform) untuk menjamin hak rakyat atas sumber-sumber agraria.
Hal ini disebut dengan aset reform. Kemudian upaya pembangunan yang lebih luas dan dapat berkembang secara produktif dan berkelanjutan, hal ini disebut akses form yang mencakup antara lain pemenuhan hak – hak dasar dalam arti luas seperti kesehatan, dan pendidikan, juga penyediaan dukungan modal, teknologi, manajemen, infrastruktur, pasar, dan lain sebagainya.
Dari pemahaman Reforma Agraria sebagaimana dimaksud terdapat lima komponen mendasar di dalamnya yang secara konsptual diurai sebagai permasalahan mendasar dari masalah keagrariaan nasional. Kelima hal dimaksud adalah pengelolaan yang berbasis restrukturisasi penguasaan aset tanah ke arah penciptaan struktur sosial- ekonomi dan politik yang lebih berkeadilan (equity). Intinya, melalui pengelolaan pertanahan, diidealismekan tercapainya struktur social politik yang berkeadilan. Untuik itu dipahami bahwa struktur sosial hanya bisa muncul pada individu-individu yang memiliki status dan peran di dalam masyareakat, terkait dengan kepemilikan asset pertanahan.
Status dan peranan masing-masing individu hanya bisa terbaca ketika mereka berada dalam kelompok atau masyarakat yang sudah ada dalam hal penguasaan tanah. Demikian pula sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasis keagrariaan (welfare); dan penggunaan/pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi lainnya secara optimal (efficiency); atas dasar keberlanjutan (sustanability), dan penyelesaian sengketa tanah (harmony).***