Oleh Man Suparman
*Penulis, wartawan senior tinggal di Cianjur.
“HANYA untuk masyarakat miskin” . Itulah yang tertera pada badan tabung gas elpiji 3 kilogram. Maksudnya, rasanya tidak perlu dijabarkan, tidak perlu diurai lagi, apa yang dimaksud tulisan yang berupa imbauan itu.
Jika begitu, kenapa masih banyak orang yang hidupnya mapan, para pejabat setingkat kepala dinas, kepala bagian, kepala seksi, kepala sekolah, orang yang merasa kaya, dan orang kaya, tetapi dalam kesehariannya menggunakan gas elpiji 3 kilogram untuk keperluan rumah tangganya.
Bukan, bukan untuk mereka, dan bukan hak mereka, tetapi hak masyarakai miskin sesuai dengan tulisan pada badan tabung gas elpiji 3 kilogram. Sedangkan bagi orang yang ekonominya mapan, kaya, yaitu gas elpiji non subsidi, gas elpiji 5, 5 kilogram atau yang 15 kilogram.
Boleh jadi itulah orang Indonesia, jika soal status selalu ingin diatas, tetapi ketika ada giliran yang berbau gratis atau cuma-cuma semacam gas subsidi, malah mencaplok mengeksploitir diri menjadi orang miskin, untuk mengambil hak orang miskin.
Banyak yang dilakukan dan patut ditiru sebagaimana yang dilakukan Pertamina dan Pemkot Semarang Jawa Tengah, untuk mencegah pembengkakan subsidi elpiji 3 kilogram yang banyak digunakan oleh warga masyarakat yang bukan warga masyarakat miskin atau orang-orang mapan.
Caranya, Pemkot/Pemkab untuk melarang aparatur sipil negara (ASN) menggunakan elpiji melon. Seluruh ASN diwajibkan menggunakan Bright Gas 5,5 kilogram. Pelarangan dilakukan karena ASN tidak termasuk golongan miskin yang layak mendapat subsidi.
Nampaknya pihak Pertamina hanya bisa memberikan imbauan agar elpiji 3 kilogram digunakan masyarakat miskin. Salah satu bentuknya, memberikan imbauan moral di badan tabung gas melon.
Apa yang dilakukan Pemkot Semarang, nampaknya dapat diikuti oleh kabupaten/kota lain. Artinya, orang yang mampu, orang mapan, apalagi orang yang merasa kaya dan orang kaya punya rasa malu jangan malu-maluin, mengambil hak orang miskin. Begitu barangkali. Wallohu’alam. ***