Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.
DALAM bahasa politis, kritik atau kontrol sosial merupakan keharusan dalam demokrasi, sebagai bagian dari penyeimbang terhadap kebijakan pemerintah sebagai pelaksana kekuasaan. Kebijakan yang tentunya dalam pelaksanannya tidak akan lurus benar dan lurus bermanfaat. Kritik dibutuhkan sebagai bagian dari dinamika untuk melibatkan masyaakat di dalam peranserta atau partisipasinya membangun negeri.
Namun pernyataan manis yang sangat normatif itu akan berubah menjadi bias manakala dicermati berdasarkan hukum. Kendatipun dalam konstitusi dinyatakan ada jaminan untuk kebebasan menyatakan pendapat, namun ukuran yang dijadikan sebagai satu kepastian tentang kritik itu sendiri sangat molor, sangat elastis. Secara yuridis misalnya, kritik kepada pemerintah bisa dimaknai sebagai satu serangan terhadap eksistensi kekuasaan yang diancam pidana.
Tataran Teknis
Pemerintah menyadari kondisi yang bersifat anomali ini. Tecermin hal itu misalnya ketika presiden Jokowi menyampaikan penyadarannya bahwa dari munculnya pembahasan soal kritik yang berujung pidana alias pelaporan ke polisi, yang ramai beberapa waktu belakangan ini. Tentu saja hal ini tidak adil. Oleh karena itu pesannya kepada penegak hukum khususnya Polri untuk berhati hati. Manakala jerat Polri, yaitu yang secara hukum menggunakan UU tentang ITE maka jika UU ITE dinilai tak memberikan rasa keadilan, hendaknya tidak dipergunakan, Jokowi menjamin bakal mengajukan revisi UU yang banyak dianggap mengekang kebebasan berpendapat dimaksud.
Sinyal itu tentu bukannya tanpa alasan mendasar. Tataran teknisnya memang dengan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ITE. Tentunya dengan cara menghapus pasal pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang terjemahannya hanya berdasarkan interpretasi letterlijk atau dogmatis, tanpa interpretasi lain, khususnya secara sosiologis dan filosofis.
Bahwa secara substansi, idealism kritik itu memang harus bersih agar sehat agar beretika, agar penuh dengan sopan santun, agar penuh dengan tata krama, dan produkti. Penafsiran yang tidak tepat pada tataran teknis terjadi seperti yang ramai akhir akhir ini. Marak fenomena saling melaporkan ke polisi terkait UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Padahal sudah selayaknya, interaksi sosial dan komunikasi sosial harus seimbang, adil dan jauh daari rasa takut, dan juga tidak mengandung provokasi.
Bahwa faktanya semakin banyak warga masyarakat yang saling melaporkan. Ada proses hukum yang dianggap kurang memenuhi rasa keadilan. Idealism bahwa UU ITE ini semangatnya adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, agar sehat, menjadi tercemar. Implikasinya justru menimbulkan rasa ketidakadilan.
Harus Selektif
Senyampang belum ada indikasi untuk perbaikan, maka untuk sementara ini filter pertama dan terutama teregantung kepada pihak kepolisian. Kepolisian harus benar benar jeli dan beritikad baik serta positif dalam menerima setiap pelaporan dan atau pengaduan. Idealismenya, Polri sebagai garda terdepan harus memastikan demokrasi dan rasa keadilan masyarakat terjaga. Hendaknya dalam menyikapi setiap laporan atau pengaduan, termasuk mencermati kondisi kekinian dalam soal kritik ini selalu menghormati dan menjunjung tinggi demokrasi serta memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, tiak saja pelapor atau terelapor, juga masyarakat secara umum.
Bahwa proteksi untuk ini jelas sebagai negara demokrasi, yang menghormati kebebasan berpendapat dan berorganosasi. Indonesia adalah negara hukum, yang harus menjalankan hukum yang seadil-adilnya, melindungi kepentingan yang lebih luas sekaligus menjamin rasa keadilan masyarakat. Di samping itu, pada tataran penerapan kiranya wajar jika Polri berhati-hati terhadap ketentuan pasal pasal yang bisa menimbulkan multitafsir.
Warning Pemerintah
Melengkapi kondisi yang terjadi akhir akhir ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) membuat laporan kinerja 2020 dengan merilis survei tentang daya tahan pemerintah dalam menerima kritikan. Dalam rilis itu disebutkan, rakyat saat ini takut mengkritik pemerintah. Alasannya, sangat mudah diancam dengan pasal pidana. Laporan akhir tahun Komnas HAM ini mengacu pada survei internal yang dilakukan pada Juli-Agustus 2020. Survei itu melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi. Dalam laporan itu disebutkan, tingkat ketakutan warga negara dalam penyampaian kritik dan pendapat terhadap pemerintah cukup tinggi. Sebanyak 29 persen responden takut dalam memberikan dan mengkritik pemerintah. Berikutnya, sebanyak 36,2 persen responden merasa takut dalam penyampaian pendapat dan kritik melalui kanal-kanal internet maupun media sosial. Demikian juga dengan kalangan akademisi. Hak penyampaian pendapat di kampus dan universitas disebut turut terkikis mencapai 20,2 persen.
Dengan kondisi di atas, Komnas HAM mendesak pemerintahan untuk mengevaluasi konsep pemidanaan terhadap warga negara yang menyampaikan kritik dan pendapat. Komnas HAM menganggap, hal ini menjadi persoalan serius. Konkretnya meminta Jokowi memberikan jaminan perlindungan atas kebebasan berpendapat. Substansinya dengan meminta kepada pemerintah agar melakukan review atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta menyegarkan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi.
Ibarat pribadi, hendaknya pemerintah dan aparat penegak hukum lebih legowo. Tidak mudah terpancing emosi. Apalagi mudah memenjarakan individu atau kelompok yang dinilai tidak sependapat. Kecenderungan penyampaian pendapat dan kritik yang berujung ke pemidanaan sangat meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini tentu menjadi warning atau peringatan kepada pemerintah, agar menjalankan kewenangan pemerintahan, atau dalam bahasa politis mengimplementasikan kekuasannya secara lebih terbuka dan tidak anti kritik.
Kebijakan pemidanaan terhadap kritikus, pada praktiknya ternyata tak cuma terjadi di level nasional. Ternyata juga secara massif terjadi di daerah-daerah. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dan aparat penegak hukum. Pada hal semua elemen sosial menyadari bahwa pembungkaman terhadap kritik itu hakekarnya sama saja menutup kran partisipasi masyarakat dalam memberikan saran ke pemerintah. Harusnya pemerintah tetap mendasarkan kritik dan penyampaian pendapat tersebut, sebagai pemenuhan hak atas demokrasi, dan pemenuhan hak untuk bebas berpendapat.
Spirit demokrasi dan kebersamaan harus senantiasa dikedepankan dalam membangun eksistensi bangsa. Negara ini bukan milik penguasa, dan karena itu meletakkan posisi kritik sebagai bagian dari penyeimbang dan bentuk kepedulian serta tanggungjawab besama atas eksistensi bangsa.***