Jakarta,Koranpelita.com
Kasus Wedding Organizer (WO) Aisha Weddings yang mengajak para perempuan untuk menikah di atas usia 12 tahun hingga maksimal 21 tahun menandakan bahwa perkawinan anak tetap menjadi permasalahan serius di Indonesia.
Merespon kasus ini, Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lenny N. Rosalin mengungkapkan bahwa kasus Aisha Weddings menjadi peringatan bagi semua pihak untuk lebih intensif melakukan sosialisasi dan advokasi, serta menegaskan bahwa perkawinan anak tidak boleh terjadi.
“Kasus Aisha Weddings ini, menjadi tantangan bagi Kemen PPPA untuk dapat merespon cepat dan mengawal isu pencegahan perkawinan anak, serta memastikan tumbuh kembang anak dapat berjalan optimal. Rapat Koordinasi ini menjadi langkah strategis ke depan bagi pemerintah untuk bersinergi menindaklanjuti kebijakan Pencegahan Perkawinan Anak dan praktik baik yang sudah dilakukan pilar pembangunan lainnya, seperti Kementerian/Lembaga (K/L), Pemerintah Daerah, Lembaga Masyarakat, Lembaga Profesi, Dunia Usaha, dan Media Massa untuk menurunkan angka perkawinan anak hingga 8,74% pada 2024, bahkan menghapuskannya,” ungkap Lenny dalam Rapat Koordinasi Pencegahan Perkawinan Anak yang dilaksanakan secara virtual di Jakarta, Senin (15/2/2021).
Dijelaskanya, perkawinan anak memiliki berbagai dampak negatif yang tidak hanya merugikan anak, maupun keluarga, tapi secara keseluruhan juga merugikan negara. Dampak negatif dari perkawinan anak inilah yang perlu terus-menerus kita sampaikan kepada masyarakat, baik kepada keluarga, anak, maupun semua pihak terkait.
Adapun berbagai dampak negatif dari perkawinan anak, yaitu meningkatnya angka anak putus sekolah akibat menikah, tingginya angka stunting, angka kematian bayi, angka kematian ibu, meningkatnya pekerja anak, adanya upah rendah, sehingga menimbulkan kemiskinan.
“Belum lagi dampak perkawinan anak lainnya seperti tingginya KDRT, kekerasan terhadap anak, terganggunya kesehatan mental anak dan ibu, munculnya pola asuh yang salah pada anak, hingga identitas anak yang tidak tercatat karena tidak memiliki akta kelahiran, sehingga memunculkan risiko terburuk yaitu terjadinya perdagangan orang,” tambah Lenny.
Masalah perkawinan anak merupakan masalah kritis mengingat masih banyak daerah di Indonesia yang memiliki angka perkawinan anak cukup tinggi. Pada 2019, diketahui ada sebanyak 22 provinsi yang memiliki angka perkawinan anak di atas rata-rata angka nasional yaitu 10,82%. Dari 2019 hingga 2020, telah terjadi penurunan angka perkawinan anak sebanyak 0,6%, dan diharapkan dapat terus menurun hingga 8,74% pada 2024.
“Untuk itu, diperlukan upaya untuk menurunkan angka ini secara drastis bahkan menghapuskannya, sehingga Indonesia menjadi negara tanpa perkawinan anak. Kemen PPPA sudah memasukan isu perkawinan anak sebagai indikator ke 7 (tujuh) dari 24 indikator Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA). Kemen PPPA juga telah melakukan beragam strategi secara masif yang tentunya memerlukan dukungan sinergi semua pihak, mulai dari melakukan sosialisasi webinar berseri, sosialisasi secara gencar melalui media sosial, mobilisasi melibatkan K/L, Lembaga Masyarakat, dan unsur lainnya,” terang Lenny.
Kemen PPPA juga telah dan akan terus melakukan intervensi yaitu merangkul berbagai pihak seperti anak melalui Forum Anak; Masyarakat melalui PUSPAGA; Lembaga Pendidikan seperti Sekolah/Madrasah Ramah Anak; Lembaga Agama seperti Kantor Urusan Agama (KUA) dan Kantor Catatan Sipil (Capil) untuk memberikan bimbingan pra nikah; Lembaga Hukum seperti Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri; Lembaga Kesehatan seperti Rumah Sakit/Puskesmas Ramah Anak; melakukan penetapan daerah ramah anak melalui pendekatan wilayah; bersama NGO melatih paralegal di Provinsi dengan kasus perkawinan anak yang tinggi; dan pihak lainnya.
“Untuk memperkuat capaian 2021-2024, saat ini kami sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah untuk Dispensasi Kawin terkait mekanisme pengajuan dispensasi kawin terintegrasi yang dibuat sebagai pedoman bagi masyarakat. Selain itu, memperkuat koordinasi pencegahan dan penanganan antar stakeholder terkait di pusat dan daerah; melakukan aktivasi layanan UPTD PPA untuk mediasi dan pendampingan di daerah; serta melakukan pendataan, pelaporan, dan pemantauan yang efektif,” tambah Lenny.
Lenny berharap berbagai upaya ini dapat memberikan dampak positif, baik untuk jangka pendek, jangka menegah, dan jangka panjang. “Ini semua dilakukan demi menyelamatkan dan meningkatkan kualitas hidup anak Indonesia, dengan begitu SDM berkualitas bangsa ini dapat kita wujudkan di masa depan,” ujarnya
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Femmy Eka Kartika menegaskan bahwa promosi WO Aisha Weddings sangat membuat tidak nyaman, tidak mendidik, serta tidak pantas dilakukan karena melukai hati anak Indonesia yang sedang semangat mengejar cita-citanya menuju Generasi Emas 2045.
“Adanya ajakan untuk menikah siri dan mau dipoligami juga sangat melukai perempuan. Hal ini sangat memprihatinkan. Keyakinan Aisha Weddings mengenai perempuan harus mencari pasangan sejak usia 12 tahun merupakan keyakinan yang didasari pemahaman sempit dengan mengatasnamakan ajaran agama. Menikah di usia yang sangat muda bertentangan dengan tujuan syariat nikah itu sendiri, yaitu harus membawa kemaslahatan dan kebaikan bagi keluarga dan anak. Kami mendesak pihak Kepolisian untuk mengusut siapa dibalik Aisha Weddings dan menindak oknum tersebut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,” tambah Femmy.
Sama halnya dengan Femmy, Wakil Ketua KPAI, Rita Pranawati menuturkan bahwa ajakkan perkawinan anak oleh Aisha Weddings merupakan bentuk adanya pemahaman agama yang ideologis, yang juga menjadi salah satu penyebab maraknya perkawinan anak di Indonesia.
Menurut Rita, persoalan perkawinan anak merupakan permasalahan kultural yang tidak bisa diselesaikan sendiri oleh pemerintah, diperlukan koordinasi dan kerja besar semua pihak agar optimal dalam melakukan pengawasan, serta pentingnya upaya pencegahan (preventif) perkawinan anak hingga level terkecil dalam masyarakat.
Terkait proses penegakan hukum kasus Aisha Weddings, Perwakilan Bareskrim POLRI, Ema mengungkapkan bahwa kasus tersebut masih dalam proses penelurusan pihak Cyber Crime POLRI untuk mencari siapa pemilik website ini dan menetapkan pidana tepat untuk menjerat pelaku.
“Mengingat tidak ada Undang-Undang khusus mengatur ancaman pidana bagi perkawinan anak, kami menerapkan pasal KUHP terkait persetubuhan dan pencabulan anak. Jika ada unsur pidana lain, akan kami analisis kasusnya seperti apa, tujuannya apa, dan akan ditambahkan hukuman bersadarkan pasal tambahan,” jelas Ema. (Djo)