Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.
Semakin asing, jenis penyakit yang satu ini, yaitu penyakit Kusta. Apa lagi di tengah pandemi korona, jenis penyakit ini seolah tidak masuk dalam hitungan. Pada hal keberadaan, khususnya tingkat penularan dan menjadi penyebab kematian yang cukup diperhitungkan. Untuk itu, apresiasi terhadap keberadaan penyakit ini, tanpa bermaksud untuk menakut nakuti, atau khawatir berlebihan, perlu dilakukan. Tujuannya tidak lain mewaspadai keberadaannya, di tengah berbagai ancaman jenis penyakit lainnya.
Secara global, kewaspadaan terhadap keberadaan penyakit ini diperingati secara internasional setiap tahunnya pada Minggu terakhir bulan Januari untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang Kusta atau Penyakit Hansen. Tahun ini, Hari Kusta Internasional jatuh pada 25 Januari 2021 atau bertepatan dengan hari Senin. Tidak perlu dan memang dibuat tidak hingar binger atau dipublikasi secara meluas, khususnya agar tidak membuat kekhawatiran baru di tengah kegelisahan masyarakat terhadap berbagai problema social ekonomi. Namun kiranya perlu dipahami, setidaknya dengan harapan agar tidak menjadi problem baru dalam interaksi sosial..
Lintasan Sejarah
Sejarah Hari Kusta Internasional Minggu terakhir Januari dipilih oleh kemanusiaan Prancis Raoul Follereau sebagai penghargaan atas kehidupan Mahatma Gandhi yang memiliki belas kasihan kepada orang-orang yang menderita Kusta serta bertepatan dengan peringatan kematian Mahatma Ghandi pada 30 Januari 1948. Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap hari hampir 600 lebih orang didiagnosis dan memulai pengobatan Kusta.
Tercatat dalam sejarah dan perkembangannya bahwa pada tahun 2014 saja, 213.899 orang didiagnosis sakit Kusta dan diperkirakan jutaan lainnya tidak terdiagnosis. Dikutip dari MedIndia, sejarah pertama penyakit Kusta disebutkan ada di India pada awal 600 SM, di mana itu dilambangkan dengan istilah Sansekerta ‘Kushtha’, yang secara harfiah berarti ‘menggerogoti’. Laporan keberadaan Kusta juga dapat ditemukan dalam tulisan kuno dari Jepang (abad ke-10 SM) dan Mesir (abad ke-16 SM).
Penulis kuno telah mengemukakan beberapa teori tentang asal mula dan penyebaran penyakit Kusta, seperti infeksi yang berasal dari sungai Nil, kebiasaan makan masyarakat yang tidak higienis dan sebagainya.
Tercatat pula, para penderita Kusta harus menghadapi kritik dan perlakuan yang ketat bahkan di masa lalu. Mereka diharuskan mengenakan pakaian khusus dan selanjutnya harus membawa genta kayu untuk memperingatkan orang lain bahwa mereka sedang bergerak. Mereka juga dilarang mengunjungi tempat-tempat umum seperti pabrik, rumah kue atau gereja dan harus menjaga jarak agar tidak menyentuh orang sehat lainnya atau makan bersama mereka. Para penderitanya tidak diperbolehkan berjalan di jalan setapak yang sempit atau mencuci di sumber air biasa seperti sumur, sungai, dan sebagainya.
Dari analisis para ahli, penyebab penyakit Kusta yang merupakan penyakit kronis ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae. M. leprae berkembang biak dengan lambat dan masa inkubasi penyakit rata-rata adalah lima tahun. Dalam beberapa kasus, gejala dapat muncul dalam waktu satu tahun, tetapi bisa juga membutuhkan waktu hingga 20 tahun. Penyakit ini terutama menyerang kulit, saraf tepi, mukosa saluran pernapasan bagian atas, dan mata, di mana orang yang menderita penyakit ini merasa sulit untuk menutup mata.
Tanda pertama Kusta biasanya berupa bercak kulit yang berubah warna dan jika tidak diobati, Kusta menyebabkan hilangnya sensasi, kelumpuhan, bisul dan infeksi, yang dapat menyebabkan kebutaan dan amputasi. Saraf yang membesar juga bisa menjadi tanda Kusta. Saraf ulnaris, di bagian belakang siku, adalah yang paling sering terkena serta saraf peroneal di bagian luar kaki, tepat di bawah lutut. Selain itu, Kusta terkadang menyebabkan bintil atau benjolan pada kulit.
Pengobatan
Pengobatan Kusta G.A. Hansen pertama kali mengidentifikasi bakteri ini pada tahun 1873, menjadikannya kuman pertama yang diidentifikasi sebagai mikroorganisme penyebab penyakit. Ini juga disebut sebagai penyakit Hansen. Perkembangan Dapson pada tahun 1941 menandai tonggak sejarah dalam pengobatan Kusta. Clofazimine dan Rifampicin merupakan obat lain yang paling umum digunakan. Penggunaan obat secara luas selama tahun 1970-an mengakibatkan perkembangan resistensi, sehingga tidak efektif bila diresepkan sendiri.
Dalam perkembangannya pada tahun 1985, Kusta dipandang sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama di hampir 122 negara. Pengenalan kombinasi Rifampisin, Clofazimine dan Dapsone (MDT) dalam bentuk ‘blister pack’ merevolusi pengobatan Kusta untuk kedua kalinya. Pemberian MDT gratis ke beberapa negara di dunia oleh WHO, membatasi penyebaran dan kejadian penyakit lebih lanjut. Perusahaan farmasi ‘Novartis’ layak mendapat perhatian khusus sehubungan dengan pemberantasan Kusta karena partisipasi aktifnya. Program pemberantasan Kusta yang berkelanjutan dan konsisten memastikan prevalensi Kusta serendah 1 dari 10.000 pada akhir tahun 2000.
Penerapan terapi MDT yang efektif di daerah yang sebelumnya tidak terjangkau, pengenalan dini kerusakan saraf dan manajemen kekambuhan setelah MDT jangka pendek mewakili beberapa tantangan yang harus diatasi untuk memastikan pemberantasan Kusta secara tuntas. Sebuah studi melaporkan, meskipun program Kusta global membuat kemajuan substansial dalam mengurangi beban penyakit, deteksi kasus baru telah stabil di kisaran 215.000-245.000 di seluruh dunia antara 2009 dan 2013. Pada 2013, 13.289 kasus baru memiliki disabilitas tingkat 2 (G2D), yang mencerminkan kesadaran yang rendah di masyarakat tentang Kusta dan kapasitas sistem kesehatan yang kurang optimal untuk mendeteksi penyakit secara dini. Sekitar 9 persen dari kasus baru terjadi pada anak-anak, yang juga menunjukkan penularan penyakit yang berkelanjutan. Ini mungkin juga menyiratkan bahwa telah terjadi stagnasi dan kurangnya pendekatan baru dalam pengendalian Kusta.
Wilayah Asia Tenggara (SEAR) saat ini memiliki prevalensi tertinggi yaitu 116.396 (0,63) kasus dan angka penemuan kasus baru tertinggi sebesar 8,38 per 1.00.000 (155.385 kasus dengan 72% beban Kusta global). India sendiri menyumbang 58,85 persen dari beban Kusta global. Sehubungan dengan hal ini, harus dipahami bahwa Kusta bukanlah penyakit keturunan apalagi akibat kutukan. Kusta, menjadi penyakit disebabkan oleh mycobacterium leprae.
disayangkan oleh para ahli bahwa Kusta kadung dianggap penyakit biasa oleh masyarakat karena memang tidak menimbulkan rasa apapun ketika terjangkit. Hal ini disebabkan fakta konkret bahwa permasalahan Kusta itu hanya secercah bercak dan tidak berasa. Jadi dianggap biasa, padahal kalau terlambat ditemukan dan aktif bakterinya menjadi sumber penularan. Harap dicatat bahwa secara Nasional, Indonesia sudah mencapai eliminasi Kusta pada tahun 2000. Kendati demikian ada 10 Provinsi yang belum mencapai eliminasi Kusta. Pada 2017 masih ada 142 kabupaten kota dari 22 provinsi yang ada, belum mencapai eliminasi Kusta.
Sehubungan dengan kenyataan ini sangat diharapkan agar warga masyarakat mampu mengenali tanda-tanda Kusta dan segera menindaklanjuti kepada yang ahli. Tanda-tanda Kusta, yakni bentuk kelainan pada tubuh penderita Kusta bisa berbeda, pada kulit ditandai dengan bercak putih maupun bercak merah dan mati rasa. Terkadang muncul berupa benjolan di lengan, wajah, badan, dan telinga. Pada saraf tepi ditandai dengan mati rasa di area telapak tangan atau telapak kaki yang mengalami kerusakan saraf, kelumpuhan di tangan dan kaki, kering, serta tidak berkeringat. Hendaknya mewaspadai gejala demikian.**”