Oleh Dasman Djamaluddin
*Penulis, Wartawan senior tinggal di Jakarta.
Dengan bersemangat, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP), Efriza mengatakan pada hari Jumat, 15 Januari 2021, bahwa sudah sangat layak apabila OPM (Organisasi Papua Merdeka) ditautkan sebagai organisasi teroris.
Oleh karena itu, pemerintah diminta menetapkan OPM sebagai organisasi teroris . Pasalnya, karena tindakan OPM selama ini juga melakukan aksi teror terhadap warga di Papua selain menyuarakan perlawanan terhadap negara.
“OPM selama ini menolak secara tegas Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan meminta agar Papua merdeka penuh dari Indonesia,” ujarnya dalam webinar bertajuk “OPM sebagai Organisasi Teroris.”
Menurut Efriza, dirinya pun mengingatkan masyakarat aksi teror yang dilakukan OPM misalnya Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) OPM daerah 8 Intan Jaya yang membakar pesawat misionaris milik PT MAF pada awal Januari 2021.
Dia menilai aksi teror OPM juga dilakukan terhadap langkah pembangunan pemerintah di Papua dengan membunuh belasan karyawan PT Istaka Karya yang sedang mengerjakan proyek Jalan Trans Papua di Nduga pada 2018.
“Kekejaman OPM sering kita lihat saat mereka menembak heli milik TNI yang sedang mengevakuasi prajurit dan membawa logistik ke daerah pedalaman Papua. Lalu pembacokan pada tukang ojek di Intan Jaya,” katanya.
Menurut Efriza, Presiden Jokowi secara tegas bentuk nyata kehadiran negara diimplementasikan dengan pendekatan kesejahteraan melalui pemberian dana Otsus yang ditingkatkan dan berbagai pembangunan infrastruktur.
Namun di sisi lain, kata dia, tindakan OPM malah berseberangan dengan sikap pemerintah yaitu dengan menunjukkan perlawanan untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka apabila Papua sejahtera.
Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah gerakan separatis yang didirikan tahun 1965. Mereka bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan Papua bagian barat lepas dari Pemerintah Indonesia.
Istilah (Kelompok Kriminal Bersenjata) KKB merupakan istilah yang pas untuk mengatakan bahwa mereka kelompok bersenjata dan berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi setiap kelompok bersenjata di NKRI harus ditumpas habis. Setelah kemerdekaan banyak sekali kelompok bersenjata, seperti Pemerintahan Revolusioner RI di Sumatera Barat, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan gerakan separatis lainnya.
Ketika saya kuliah di Universitas Cenderawasih di Abepura, Jayapura, terakhir tahun 1979 setelah meraih Sarjana Muda Hukum, OPM banyak berkeliaran di kampus. Karena saya terlibat organisasi ekstra Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pangdam Cenderawasih waktu itu, CI Santoso, mantan Komandan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) sering menanggil saya untuk berdiskusi tentang OPM. Jadi saya paham betul tentang sepak terjang OPM di Papua, khususnya di kampus Universitas Cenderawasih.
Sebelum era reformasi, provinsi yang sekarang terdiri atas Papua dan Papua Barat ini dipanggil dengan nama Irian Jaya.
OPM merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah bagian Indonesia maupun negara-negara Asia lainnya. Warna kulit dan spesifik tubuh mereka, tidak sama dengan penduduk Indonesia lainnya. Fakta sejarah menunjukkan, Papua bersatu ke dalam NKRI sejak tahun 1969 merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia, dimana pihak Belanda menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya kepada bekas jajahannya yang merdeka, Indonesia.
Belajar Cara Mengatasi Masalah di Era Sarwo Edhi Wibowo
Hal ini berawal saat Sarwo Edhie Wibowo menjabat sebagai panglima Kodam XVII/Tjendrawasih (1968-1970).
Sarwo Edhie Wibowo saat itu mau tak mau harus menghadapi sepak terjang KKB Papua pimpinan Lodewijk Mandatjan.
Dalam menghadapi aksi teror KKB Papua saat itu, Sarwo Edhie Wibowo memadukan operasi tempur dengan operasi non tempur.
Menurutnya, strategi non tempur digunakan lantaran ia menganggap para KKB Papua masih merupakan saudaranya sebangsa dan setanah air.
“Kalau pemberontak kita pukul terus menerus, mereka pasti hancur. Tetapi mereka adalah saudara-saudara kita. Baiklah mereka kita pukul, kemudian kita panggil agar mereka kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi” kata Sarwo Edhie Wibowo dalam buku karya Hendro Subroto.
Untuk menghindari terjadi pertumpahan darah yang lebih banyak, Sarwo Edhie Wibowo memerintahkan melakukan penyebaran puluhan ribu pamflet yang berisi seruan agar KKB Papua kembali ke NKRI.
Sarwo Edhie Wibowo kemudian memberi tugas kepada perwira Kopassus Mayor Heru Sisnodo dan Sersan Mayor Udara John Saleky untuk menemui pimpinan KKB Papua yang bernama Lodewijk Mandatjan.
Tujuannya adalah membujuk agar Mandatjan beserta anak buahnya mau kembali lagi ke pangkuan NKRI.
Tanpa membawa senjata, Mayor Heru Sisnodo dan Sersan Mayor Udara John Saleky berjalan kaki memasuki hutan untuk menemui pimpinan KKB Papua itu.
Saat bertemu dengan Mandatjan, Mayor Heru Sisnodo berkata: “Bapak tidak usah takut. Saya anggota RPKAD (sekarang Kopassus). Komandan RPKAD yang ada di sini anak buah saya. Dia takut sama saya. Kalau bapak turun dari hutan, nanti RPKAD yang akan melindungi bapak.”
Akhirnya, Mayor Heru Sisnodo dan Sersan Mayor Udara John Saleky berhasil meyakinkan Lodewijk Mandatjan dan anak buahnya.
Mandatjan beserta keluarga dan anak buahnya pun diantar turun ke Manokwari.
Saat bertemu dengan Mandatjan, Sintong Panjaitan berkata: “Bapak saya jamin, saya akan melindungi bapak dengan keluarga”
Pemberontakan KKB Papua pimpinan Lodewijk Mandatjan pun sebagian besar telah terselesaikan, Kopassus tinggal melakukan penyisiran untuk memburu sisa-sisa anggota KKB Papua lainnya
Dengan begitu, Sarwo Edhie Wibowo berhasil menerapkan strategi non tempurnya sehingga tak terjadi pertumpahan darah lebih banyak.
Ya, saya pribadi masih menganggap cara Sarwo Edhie Wibowo masih relevan untuk diikuti. Mereka adalah saudara-saudara kita juga. ***