Oleh Dasman Djamaluddin
*Penulis wartawan senior tinggal di Jakarta
Wartawan masa kini patut diacungkan jempol. Mereka tidak hanya mampu menyediakan tempat untuk menulis, seperti Twitter, Facebook atau Instagram, tetapi mereka juga berani menutup akun seseorang yang menganggap tulisannya akan membuat masyarakat berkonfilik.
Penutupan akun itu sudah terjadi. Penutupan Twitter Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah memaksa manajemen Twitter untuk bertindak demikian. Manajemen platform media sosial itu, merupakan sebuah contoh dan penutupan tersebut memperoleh banyak dukungan.
Juga Facebook dan Instagram akan menangguhkan akun Donald Trump sampai akhir masa kepresidenannya setelah pendukungnya menyerang Gedung Parlemen AS, US Capitol, pada Rabu untuk membatalkan kemenangan Joe Biden.
CEO Facebook Mark Zuckerberg mengatakan akun Donald Trump akan dilarang sampai presiden Republik itu menyelesaikan masa jabatannya pada 20 Januari nanti, mengutip risiko yang akan ditimbulkan jika Trump menggunakan layanan media sosial.
“Kami percaya risiko mengizinkan Presiden untuk terus menggunakan layanan kami selama periode ini terlalu besar,” tulis CEO Facebook dalam unggahan blognya, dikutip dari CNN, 8 Januari 2021. “Oleh karena itu, kami memperpanjang pemblokiran yang telah kami tempatkan di akun Facebook dan Instagramnya tanpa batas waktu dan setidaknya selama dua minggu ke depan sampai transisi kekuasaan yang damai selesai.”
Wartawan itu memang bukan dicetak, tetapi dilahirkan.Itulah ungkapan yang sering kita baca dan dengar tentang wartawan.Tetapi apakah cukup dengan sebutan itu? Tidaklah demikian. Memang wartawan itu dilahirkan. Maksudnya setelah lahir harus terus menerus menjadikan wartawan sebagai pilihan hidupnya, meskipun ia memegang jabatan lain, naluri kewartawanannya tidak berhenti.
Selain itu seorang wartawan harus mengikuti cara-cara yang berlaku dalam tradisi intelektual. Ia harus memiliki sikap kemandirian intelektual. Artinya, dia melakukan berbagai kegiatan berpikir dengan dorongan dari dalam dirinya sendiri. Selain memiliki berbagai tehnik dan ketrampilan untuk bisa menjalankan tugas kewartawanannya, ia harus ber-etika. Untuk apa mengkaderkan seorang wartawan yang cerdas dan berilmu pengetahuan, tetapi tidak ber-etika.
Pengalaman Seorang Wartawan Perang
Tidak seluruh informasi intelijen diketahui para wartawan, khususnya wartawan perang. Jika memang benar informasi seperti itu, maka itu adalah hal mudah untuk para intelijen mengubah opini, agar informasi sebenarnya tidak perlu harus diketahui masyarakat internasional.
Itulah yang dialami wartawan perang Indonesia, Hendro Subroto. Ia menjadi wartawan perang untuk Televisi Republik Indonesia (TVRI). Ia pun sudah meninggal dunia pada 14 Oktober 2010. Semasa hidup, saya pernah berkunjung ke rumahnya, dan diberi sebuah buku tulisannya :” Perjalanan Seorang Wartawan Perang,” diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Jakarta tahun 1998.
Membaca buku setebal 430 halaman ini, kita diajak untuk menyaksikan liku- liku perjalanan seorang wartawan perang Indonesia di Kamboja, Vietnam dan Perang Teluk. Juga di Indonesia yaitu di Timor Timur, penumpasan Kahar Muzakkar, G.30 S/PKI dan penumpasan gerombolan PGRS.
Hendro Subroto adalah pemegang Penghargaan Piagam Penegak Pers Pancasila dari Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, pemegang anugerah Tanda Kehormatan Satyalencana Seroja dan Satyalencana Bhakti dari Departeman Pertahanan Keamanan RI.
Dari sekian banyak pengalaman wartawan perang Indonesia, Hendro Subroto yang ditulis di bukunya, saya tertarik membaca pengalamannya dalam Perang Teluk di Irak, bahwa Presiden Irak waktu itu, Saddam Hussein memerintahkan menggunakan senjata kimia (halaman 363). Berarti tuduhan bahwa senjata pemusnah massal itu berdasarkan isi buku ini, ya, memang ada.
Awalnya Presiden Saddam Hussein didukung oleh Amerika Serikat (AS) untuk naik ke puncak kekuasaan di Irak. Sejarah telah mencatat hal itu. Itu tidak diragukan. Lama kelamaan sikap AS berubah setelah Irak menyerang Kuwait.
AS berubah sikap terhadap Irak. Bahkan di dua kepemimpinan Presiden Amerika Serikat, George Herbert Walker Bush (Ayah) dan George Walker Bush (anak), niat menghancur-leburkan Irak sudah terlihat. Tidak salah jika AS tahu betul kekuatan persenjataan Irak, karena bagaimana pun sewaktu masih didukung AS, persenjataan Irak banyak dibantu AS.
Anehnya ketika AS mengatakan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, karena dulu memang persenjataan dibantu AS , ternyata tidak terbukti sama sekali. Apakah ini skenario AS untuk mengalihkan isu, yang sebenarnya?
Inggris yang ikut bersama AS menyerang Irak, kemudian lebih mengaburkan informasi keberadaan senjata pemusnah massal Irak. Buktinya, mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair meminta maaf atas invasi Irak yang menurutnya merupakan kesalahan besar intelijen. Hal ini disampaikan Blair dalam wawancara dengan pembawa acara GPS di CNN Fareed Zakaria, Minggu, 25 Oktober 2015.
Ujar Tony Blair: “Saya meminta maaf karena intelijen yang kami gunakan ternyata salah, walaupun dia (Saddam Hussein) sering menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri, tapi program (senjata pemusnah massal) itu tidak berada dalam bentuk yang kami kira,” kata Blair.
Saya membenarkan, memang Tony Blair merujuk laporan intelijen yang muncul sebelum invasi pimpinan AS ke Irak tahun 2003. Dalam laporan itu disebutkan Saddam memiliki senjata pemusnah massal, yang menjadi dasar serangan AS dan Inggris ke negara itu. Namun belakangan diketahui, laporan intelijen itu salah. Tapi invasi terlanjur dilakukan, pemerintahan Saddam hancur, dan pemimpin Irak itu digulingkan. Saddam dieksekusi mati dengan cara digantung pada hari Idul Adha tahun 2006.
Kalau membaca buku Hendro Subroto di atas memang jelas bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. Perdana Menteri Inggris Tony Blair meminta maaf hanya untuk mengalihkan isu. Bagaimana pun, peran intelijen Inggris sejak Perang Dunia II tidak pernah gagal. Bukti lain, mengapa hanya Inggris yang meminta maaf?
Lengsernya Saddam tidak juga membuat Irak damai. Peperangan demi peperangan terjadi di negara itu, salah satunya adalah konflik sektarian yang memakan banyak korban jiwa. Berbagai kelompok militan muncul, salah satunya al-Qaeda dan belakangan adalah ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah).
Pengakuan Blair yang mengaku tidak tahu dampak invasi itu akan sangat keliru dan berkepanjangan. Itu pun tidak mungkin seperti itu.
“Saya meminta maaf untuk kesalahan dalam perencanaan dan, tentu saja, kesalahan kami dalam memahami apa yang akan terjadi setelah kami menggulingkan rezim.” Kata “kesalahan kami,” apakah sudah membawa nama AS ? Tentu tidak. Itu hanya menunjuk kepada Inggris saja. Boleh jadi memang perlu AS juga meminta maaf, jika ini bukan skenario Inggris.
Berbicara tentang wartawan perang ini,
kalimat Marie Colvin yang mengesankan di sebuah film “A Private of War,” perlu disimak:
“Jika wartawan dikirim ke medan perang, ia harus berani ke tempat di mana kemungkinan ia bisa mati.”
Perang tidak saja menghancurkan segalanya juga penuh drama. Dalam realitasnya, perang penuh dengan kisah yang tidak mungkin diungkapkan secara jujur.
Kisah Marie Colvin, wartawati “The Sunday Times” ini hampir sama dengan peliputan perang wartawan perang Indonesia, Hendro Subroto. Calvin juga meliput perang saudara, meski ada wilayah yang berbeda dengan Hendro Subroto, seperti di Srilanka, Timor Timur, Afganistan, Irak, Libya, dan Suriah. Bedanya peliputan wartawan perang Indonesia, Hendro Subroto belum dibuat film, sedangkan wartawan perang, Calvin sudah diangkat ke layar putih “A Private of War”. ***