Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis Notaris tinggal di Sampit.
Pada satu kesempatan, Habib Riziq Sihab (HRS), menyebutkan, jika pada satu ketika FPI (Front Pembela Islam ) dibubarkan, maka esoknya dibentuk Front Persatuan Islam. Dibubarkan lagi, bentuk baru lagi. Toh semuanya itu hanya alat. Tujuannya adalah amar makruf nahi munkar. Benar, akhirnya FPI dengan singkatan Front Pembela Islam itu dibubarkan oleh pemerintah, dengan segala pro dan kontra pada sisi prosedur, substansi dan Lembaga yang membubarkannya.
Dari sisi substansi, Front Pembela Islam (FPI) dilarang, tak boleh berkegiatan, karena menurut pemerintah tak punya legal standing sebagai organisasi. Atribut di markas Petamburan dan daerah-daerah diturunkan. Benar saja, FPI dalam arti pembela Islam dibubarkan, pada malam tahun baru dideklarasikan FPI, yang kini berganti nama jadi Front Persatuan Islam, dengan singkatan FPI juga.deklarasi itu digaungkan di Banten, Jumat, tanggal 1 bulan Januari 2021, mengawalitahun 2021. Deklarasi dipimpin KH Abuya Qurthubi Jaelani. Kegiatan itu juga diikuti sejumlah pendukungnya. Hal ini disebut sebagai tindak lanjut dari keterangan para petinggi FPI, yang menyebut FPI jadi Front Persatuan Indonesia.
Kontroversi Pembubaran FPI
Di tengah pembubaran, pembekuan, atau apapunn istilahnya pelarangan terhadap aktivitas FPI mengandung kontroversi. Bahwa hanya berjarak dua hari menjelang tahun baru. Lewat Surat Keputusan Bersama enam pejabat tinggi negara setingkat menteri, eksistensi FPI selama 18 tahun berakhir. Sebagai sebuah organisasi masyarakat, kini FPI telah dilarang beraktivitas setelah Surat Keterangan Terdaftar (SKT) habis pada 20 Juni 2019. Seluruh simbol dan atribut FPI terlarang berkibar di Indonesia mulai 30 Desember 2020.
Pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan setiap kegiatan yang dilakukan FPI, karena FPI tidak lagi mempunyai legal standing sebagai Ormas maupun organisasi biasa. Itu kata kunci dari Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM,ketika mengumumkan pelarangan FPI.
Selang beberapa jam setelah pengumuman disampaikan, polisi dan TNI merazia atribut FPI. Markas FPI di Petamburan Jakarta Pusat jadi sasaran pertama. Ada penurunan atribut dan pemeriksaan tujuh orang diduga simpatisan FPI.
Penertiban yang dipimpin oleh Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Heru Novianto terjadi bersamaan dengan rencana konferensi pers oleh Sekretaris FPI, di markas Petamburan yang tak jadi dilaksanakan.
Bahwa alasan pemerintah melarang FPI adalah rekam jejak keonaran, persekusi, penggerudukan hingga sweping yang terus terjadi. Dalam keputusan SKB nomor 220-4780 tahun 2020 dan seterusnya, dipaparkan pertimbangan larangan di antaranya kaitan anggota FPI dengan terorisme dan kekerasan. Ada 35 angggota FPI terlibat terorisme dan 206 lainnya menjadi pelaku pidana umum.
Melarang FPI beraktivitas dengan SKB dinilai sebuah kekeliruan. Pembekuan atau pelarangan dinilai sebagai kebijakan yang melangkahi aturan yang dibuat sendiri.
harusnya, merujuk kepada mekanisme Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan ada tahapan melarang suatu Ormas.
Sementara itu Pembubaran FPI ini sudah dilakukan sesuai mekanisme UU Ormas.
Rujukan dalam Pasal Pasal 61 UU dimaksud yang harus melalui proses peringatan tertulis, penghentian kegiatan dan pencabutan status Badan Hukum. Terhadap masalah ada anggota FPI terlibat terorisme dan pidana lain seharusnya tak bisa dipakai. Kalau pun dipakai, pemerintah harus berlaku adil kepada partai politik yang kadernya terlibat korupsi.”Kita bisa mengacu pada kasus kader partai politik yang ditangkap karena tindak pidana korupsi, tidak bisa dikatakan bahwa partainya yang melakukan korupsi dan harus dibubarkan.
Pada sisi lain, pembekuan, pelarangan atau istilah ain yang merujuk kepada tak dibolehkannya FPI beraktivitas menunjukkan negara gagal membina dan menjadikan Ormas sebagai modal sosial untuk pembangunan bangsa. Konkretnya, FPI punya hak berkumpul dan berserikat. Pelarangan FPI seharusnya bisa ditanggapi dalam koridor negara hukum dan negara demokratis. Apa lagi, secara administratif SKT (Surat Keterangan Terdaftar) sifatnya tidak wajib. Rujukan kepada Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2013 sudah mencabut kewajiban SKT untuk Ormas. Artinya tidak ada pendaftaran SKT.Itu tidak wajib, atau sukarela saja.
Rencana yang dilakukan FPI adalah menggugat balik. Substansinya bahwa status terdaftar atau tidak terdaftar tidak bisa menjadi dasar pelarangan, termasuk anggapan pengakuan de jure terhadap suatu Ormas. Untuk itu fakta dan celah hukum dalam pelarangan bakal digunakan oleh FPI untuk menggugat balik.
Pengacara FPI, menyebut tindakan ke depan adalah menyiapkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun ternyata berdasarkan ketrangan dari FPI, gugatan itu tidak jadi dilayangkan. Alasan pembatalan itu, bahwa SKB yang dikeluarkan oleh kementerian tersebut cacat hukum, sehingga tidak perlu diperpanjang.
Secara sinis, pihak FPI menganggap SKB itu adalah kotoran peradaban sehingga tanggapan mereka adalah bahwa kotoran itu dibuang saja di septic tank. Apa lagi, terkait pernyataan bahwa organisasi yang tidak memperpanjang atau tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), dalam hal ini FPI sebagai organisasi yang secara de jure bubar, tidaklah tepat. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XI/2013 disebut tidak mengatur negara wajib melarang organisasi yang tidak memiliki SKT tersebut. Maknanya bahwa suatu organisasi dalam hal ini FPI yang tidak memiliki SKT dikategorikan sebagai ‘organisasi yang tidak terdaftar’, bukan dinyatakan atau dianggap bubar secara hukum,” demikian pernyataan koalisi dalam keterangan tertulisnya tersebut.
Pada sisi lain, FPI tidak dapat dinyatakan bubar secara de jure hanya atas dasar tidak memperpanjang SKT. Maka itu, kebijakan pelarangan terhadap kegiatan serta penggunaan simbol dan atribut FPI juga dinilai tidak memiliki dasar hukum. Merujuk pada Pasal 59 UU Ormas disebut hanya melarang kegiatan yang pada intinya mengganggu ketertiban umum dan/atau melanggar peraturan perundang-undangan. UU Ormas tidak melarang suatu organisasi untuk berkegiatan sepanjang tidak melanggar ketentuan Pasal 59 tersebut.
Front Persatuan Islam
Konsisten dengan yang disampaikkan HRS, sebagaimana dinyatakan kemudian dibentuk Front Persatuan Islam, juga disingkat FPI. Dalam penjelasan lebih lanjut hal yang berkenaan dengan administrasi menyusul kemudian.
Menanggapi munculnya Front Persatuan Islam, Polri menyebut bahwa Polri hanya fokus untuk pelarangan kegiatan dan penggunaan atribut dengan atas nama Ormas Front Pembela Islam (FPI). Keputusan bersama tentang larangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut serta penghentian kegiatan Front Pembela Islam. Jadi hanya menyangkut FPI dalam arti singkatan dari Pembela Islam saja.
Sekaitan dengan pembentukan wadah baru yang mirip, bawa semua warga negara boleh melakukan suatu kegiatan atau mendirikan suatu organisasi. Untuk itu banyak aturan yang ada yang harus dijadikan landasan dalam mendirikan suatu organisasi. Masyarakat menunggu bagaimana tindak lanjut dari pelarangan, dan bagaimana antisipasi yang akan dilakukan oleh pengurus FPI baru.***