Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak perlu takut menghadapi gugatan tersebut, Pelarangan ekspor nikel dan mineral lainnya memiliki rujukan hukum sangat kuat. Gugatan Uni Eropa memang masuk akal, karena mereka paling terpukul dengan kebijakan larangan ekspor nikel.
Isu HAM
Nikel Indonesia berkontribusi 32 persen terhadap nikel dunia. Sementara itu, Eropa dengan Jerman sebagai produsen otomotif utamanya saat ini mulai mendorong mobil listrik dengan tulang punggung nikel kalori rendah 1.8 persen dan mengandalkan bahan mentah dari Indonesia.
Upaya gugatan itu masih berlangsung hingga saat ini. Sehingga, bukan tidak mungkin pihak Jerman menempuh berbagai upaya untuk menekan Indonesia di tingkat global. Salah satunya melalui isu Hak Asasi Manusia (HAM).
Preseden buruk yang dilakukan staf Kedubes Jerman yang mendatangi markas Front Pembela Islam di Petamburan Jakarta Pusat. Bukan tanpa alasan, publik mengaitkan hal tersebut dengan upaya intervensi Jerman untuk menggenapi gugatan atas Indonesia di WHO atas pemberhentian ekspor bijih Nikel dari Indonesia.
Lantas, mengapa seorang Sekretaris Umum FPI, Munarman menjadi begitu berarti dalam hal ini? Keberadaan Munarman bukan suatu kebetulan. Sebab dia merupakan satu mata rantai yang tidak terpisahkan dari gerakan FPI dan banyak ‘bermain’ di daerah-daerah tambang nikel di Sulawesi.
Korelasi itu sangat terlihat jelas. Peneliti dari Alpha Research Database Indonesia, Ferdy Hasiman pernah mengatakan, tahun 2012 misalnya, ekspor nikel dari pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebesar 41 juta ton naik hampir 2.000 persen dibandingkan tahun 2009 yang hanya mencapai 91.000 ton.
“Sepanjang tahun 2013 ke 2014, saya menyaksikan sendiri berton-ton bijih mentah diangkut tanpa pengawasan ke belasan kapal berbendera asing yang bertaburan tidak jauh dari pelabuhan yang saat itu bertebaran di berbagai titik di Sulawesi bagian tengah dan tenggara. Saya melihat sendiri kalau pengiriman tanah tersebut dilakukan siang-malam tanpa henti, dan sama sekali tidak memperhatikan good mining practices,” kata Ferdy dikutip dari laman Kompas (13/12).
Pelarangan ekspor mineral, nikel, tembaga, bauksit dan batubara sebenarnya sudah dimulai sejak 14 Januari 2014 silam. Namun, pemerintah melunak karena banyak perusahaan tambang merugi dan mengancam merumahkan karyawan. Selain itu, ada ketakutan dari pemerintah yang dilatarbelakangi defisit neraca perdagangan meningkat.
Padahal, itu hanya ancaman jangka pendek saja. Jika sejak tahun 2014 pemerintah konsisten menerapkan kebijakan pembangunan smelter, penerimaan negara pasti akan meningkat drastis dan industri nikel mengalami perbaikan berarti. Sampai sekarang baru 30 persen perusahaan yang sudah membangun smelter.
Semua perusahaan tambang harus taat hukum Indonesia. Di industri nikel, dengan kebijakan itu, kita tidak lagi menjual nikel ore (biji nikel) dalam bentuk mentah (harganya sangat rendah), tetapi harus diolah ke pabrik smelter.
Seperti Nickle Pig Iron (NPI per 10 persen nilai tambah) atau Nicke inmate (15 persen). Dengan itu harga nikel menjadi lebih besar atau 17 kali lebih besar dibandingkan kita menjual biji nikel mentah.