Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.
Mengagumkan Kedatangan Habib Riziq setelah sekItar 3,5 tahun tinggal di Kerajaan Saudi Arabia (KSA) berbuntut panjang, dan nampaknya masih akan lebih Panjang lagi. Diantara yang bisa dikenali, dicopotnya Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat, diperiksanya Gubernur dan Wakil Gubernur DKI, kesemuanya DKI, Lurah dan Camat Petamburan dan sederet nama lagi. Mengagumkan, bahwa kedatangan HRS juga menjadi perhatian nasional, dalam bentuk antisipasi dan apresiasi yang disampaikan oleh TNI. Panglima TNI harus bicara soal perpecahan yang merupakan potensi yang kemudian meletakkan TNI sebagai bumper terdepan.
Berikutnya dijabarkan oleh Pangdam Jaya, yang melakukan Tindakan pencopotan baliho bergambar HRS dan mengultimatum untuk agar supaya FPI dibubarkan.
Berbagai fenomena di atas benar benar mengalahkan perhatian nasional, bahkan perhatian dunia terhadap upaya untuk mengalahkan pandemi korona. Secara sederhana menampakkan para pengambil keputusan nampak gagap. Tak tahu akan berbuat apa dan bagaimana. Terkesima mencermati lautan manusia yang menyambut kedatangan HRS, dengan segala implikasinya. Gegap gempita menyambut sang tokoh dengan segala peristiwa ikutan dan kebijakan yang diambil para penguasa.
Berlebihan
Berbagai kalangan menilai antisipasi, sebagai bentuk apresiasi terhadap kedatangan HRS dinilai belebihan. Bahasa gaul kawula muda sekarang lebay. Hal ini dapat dicermati, ketika Pangdam Jaya, Mayjen TNI Dudung Abdurachman, dianggap berlaku akting berlebihan (overacting) lantaran memerintahkan anak buahnya mencopot baliho bergambar Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Muhammad Rizieq Shihab. Alasan awamnya, itu semestinya menjadi tugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Pada intinya, bahwa terlalu jauh kalau ditafsirkan (pemasangan baliho sebagai) OMSP (Operasi Militer Selain Perang) karena tidak ada kegentingannya. Khusus dalam kaitannya dengan pencopotan baliho ini, jika dicermati pernyataan-pernyataannya itu soal persatuan dan kesatuan. Dari pandangan awam saja, itu memang nampak mengandung muatan kekhawatiran berlebihan.
Pasalnya, dalam keadaan normal seperti saat sekarang apalagi ketika fokus seluruh potensi sosial menghadapi pandemic korona, pastnya bukan tugas TNI jika kehadiran baliho-baliho FPI terbukti mengganggu persatuan dan kesatuan. Penertiban, berdasarkan aturannya menjadi kewenangan Polri lantaran dianggap melanggar hukum berpotensi menimbulkan gangguan. Sekalipun baliho FPI dianggap provokasi, tingkat potensi ancamannya tetap perlu diperhatikan sebelum TNI turun tangan. Harusnya ada ukuran obyektif yang mendiskripsikan tingkat bahaya dan implikasinya. Apa lagi sampai peralatan canggih seperti kendaraan tempur harus diturunkan.
Apakah benar kondisi khususnya di Jakarta sudah sampai ke tingkat mengkhawatirkan sampai kemudian negara ini terancam chaos kalau dibiarkan. Kepastiannya, hal itu terlalu masuk ke wilayah politik, sehingga ini justru mengancam demokrasi yang sedang tumbuh berkembang. Oleh karena itu, berdasarkan aturan yang bersifat standar tidak dibenarkan TNI mencopot baliho-baliho tersebut dengan berbagai dalih. Apalagi dengan alasan ancaman persatuan dan kesatuan bangsa. Itu sudah sangat politis, tidak konkret, dan cenderung abstrak.
Pada sisi lain, potensi ancamannya juga tak dielaborasi dengan baik. Pada hal ini penting untuk memberikan pemahaman ketenteraman kepada rakyat secara proporsional.
Sampai seberapa mengancam, sebagai dasar bahwa sekarang ini kondisi tanah air sedang terancam persatuan dan kesatuan. Faktanya dengan kehadiran personel TNI dilengkapi kendaraan taktis saat menertibkan baliho FPI dan Rizieq di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat itu memberi kesan provokasi, yang lebih jauh mempertanyakan tingkat netralitas, tugas dan fungsi TNI belakangan ini.
Merujuk pada fakta, ada kesan yang tampak berbeda. Sebelum ini TNI mengambil langkah simpatik (kepada pengunjuk rasa. Sedikit berbeda dengan kepolisian. Sekarang malah lebih overacting. Padahal, ini domain kepolisian kalau dianggap ada pelanggaran hukum. TNI mestinya tidak perlu cawe-cawe secara riil. Jadinya masyarakat bertanya tanya, apa sejatinya yang sedang terjadi dengan kebijakan yang diambil oleh TNI yang menjadi kebanggaan bangsa ini.
Implikasi Politis
Banyak pihak menilai, fenomena yang tidak biasa, seperti gegap gempitanya penyambutan di tanah air karena sedang terjadi krisis kepemimpinan. Kepulangan HRS ke tanah air pada 10 November 2020, sampai sekarang masih menjadi perbincangan. Kali ini berhembus isu yang menduga Jusuf Kalla sebagai pihak yang membantu kepulangan sang habib. Pada satu kesempatan, memang tokoh nasional dari Makassar ini menunjukkan gelagat demikian. Tentu saja ini bersifat politis dan sulit dibuktikan.
Ada hubungan atau tidak, faktanya Wapres Indonesia ke-10 & ke-12 tersebut dituding membantu kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam, demi memuluskan langkah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menuju Pemilihan Presiden 2024-2029. Secara politis dugaan itu pertama kali muncul dari eks politikus Partai Demokrat yaitu Ferdinand Hutahaean melalui akun Twitter pribadinya @FerdinandHaean3.
Ia menggunakan tiga istilah untuk menyamarkan nama tokoh yakni Caplin, Presiden, dan Si Asu Pemilik Bus Edan.pada awalnya, dia mengakui kehebatan tokoh Caplin yang membawa uang sekoper untuk membereskan semua urusan di Arab Saudi. Menurut Ferdinand, langkah itu dilakukan Caplin untuk melancarkan agenda politik pada 2022 dan 2024. Saat dikonfirmasi mengenai cuitan itu, Ferdinand enggan menjelaskan nama-nama tokoh yang dimaksud dalam istilah-istilah tersebut. Namun, ia tak bisa melarang publik berasumsi dengan menyebut bahwa tokoh-tokoh yang dimaksud dalam cuitannya tersebut adalah JK dan Anies.
Secara politis, serangkaian agenda serta peristiwa politik nasional Kedepannya akan membuktikan cuitannya tentang peran Caplin yang dia maksud. Menurutnya, Caplin akan tetap menjadi sosok di balik layar sebagai dalang yang memainkan wayang di panggung politik nasional. Wallahu a’lam***