Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.
Tercatat pertambahan warga yang terpapar virus korona, dan positif terjangkit, berdasakan data pada akhir pekan, sampai Sabtu tertanggal 14 November 2020 adalah 463.007 orang. Ada tambahan sebanyak 5.272 kasus baru. Data dari Satgas Percepatan Penanganan Covid-19, dari jumlah total kasus itu, 388.094 orang di antaranya dinyatakan sembuh. Angka ini didapat setelah ada tambahan kasus sembuh per hari ini yang mencapai 3.000 kasus.
Selain itu, kasus meninggal akibat Covid-19 bertambah 111 orang, sehingga totalnya mencapai 15.148 kasus. Dalam kaitan ini Satgas Covid-19 juga mencatat ada 61.975 suspek di Indonesia dengan jumlah pemeriksaan spesimen 41.336 unit. Sementara sehari sebelumnya, Jumat (13/11), jumlah kasus Corona mencapai 457.735 orang, dengan tambahan 5.444 kasus. Sebanyak 385.094 orang di antaranya dinyatakan sembuh dan 15.037 meninggal dunia.
Akibat Kedatangan Habib Riziq?
Di luar libur panjang akhir Oktober, masyarakat dinilai makin abai terhadap protokol kesehatan meskipun di daerahnya masih diberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Namun seolah baik warga maupun pemerintah yang bertugas mengawasi sudah lelah menghadapi virus yang sejatinya masih belum sirna ini. Di Jakarta, misalnya, kerumunan massa berulang kali terjadi dalam penyambutan pimpinan FPI Rizieq Shihab serta berbagai acaranya. Aparat pun tampak segan untuk menertibkan itu.
Apapun yang menjadi penyebab dari membengkaknya kasus pandemic dengan terpaparnya warga di ujung tahun 2020 ini, secara umum bahwa adanya tuntutan ekonomi dan pelonggaran pembatasan sosial mengakibatkan masyarakat semakin mengabaikan protokol kesehatan yang diterapkan pemerintah. Adanya kebijakan yang berubah-ubah disertai tindakan tegas yang tidak konsisten membuat tempat keramaian lainnya penuh sesak tanpa mengatur jarak fisik, serta tidak memakai masker, menjadi gambaran yang umum di mana-mana
Pada sisi lain, akhir akhir ini secara umum dengan tidak prioritasnya urusan kesehatan dalam mencegah pandemi korona ini dibandingkan dengan tuntutan ekonomi membuat beberapa daerah yang hijau atau telah hijau kembali menjadi merah. Di sisi lain, belum adanya vaksin dan obat membuat angka kesakitan diperkirakan akan terus meningkat.
Untuk itu edukasi berbagai pihak, termasuk oleh tokoh agama, tokoh masyarakat dan pendekatan budaya untuk perubahan perilaku harus dilaksanakan. Tindakan pendisiplinan yang terukur memuat efek jera harus dilakukan secara konsisten. Hal ini menjadi kunci dari keberhasilan seluruh komponen bangsa memberantas pandemi korona. Pada peristiwa seputar kedatangan Habib Rizik menunjukkan betapa ketidakjelasan atas tindakan itu nyata adanya. Hal yang sejatinya tidak boleh terjadi dalam musim pandemi korona ini.
Disiplin Masyarakat
Berdasarkan pengamatan sementara bahwa kepatuhan masyarakat dan lemahnya kepedulian dinilai jadi faktor utama yang menyebabkan penyebaran semakin liar. Kebiasaan masyarakat yang menganggap enteng persoalan virus korona ini membuat keadaan semakin buruk. Peningkatan kasus medio terakhir yang naik tajam, mestinya jadi pelajaran untuk lebih taat akan protokol kesehatan yang sesuai anjuran pemerintah.
Namun faktanya banyak warga yang menganggap enteng masalah pandemic korona ini. Kasat mata, di pusat keramaian, pasar, hingga tempat-tempat tongkrongan. Itu ramai dan banyak yang menabrak protokol kesehatan, harusnya saat ini justru lebih meninngkatkan kewaspadaan. Pada hal, setiap saat mulai dari kalangan umum, ASN hingga tenaga medis terus berejatuhan meninggal dunia karena virus korona.
Pada sisi pemerintah dalam hal ini aparat pelaksana juga dinilai lemah dalam nenegakkan sanksi pelanggaran protokol kesehatan. Bahkan sikap dan Tindakan pemerintah dalam penanganan virus korona semakin melemah. Artinya sudah tidak tegas lagi. Ketidaktegasan itu dibuktikan dengan pembiaran kegiatan-kegiatan yang mengundang kerumunan, terutama yang dilakukan kelompok-kelompok dan tokoh-tokoh masyarakat tertentu.
Bahkan pemerintah seolah-olah ada rasa takut terhadap kelompok-kelompok tertentu yang ada di masyarakat, di mana mereka ini mempunyai basis massa yang besar. Sikap pemerintah yang seperti ini, tentu saja telah melukai masyarakat. Masyarakat Lelah, karena sudah 9 bulan lebih mengikuti dan mematuhi apa yang disarankan oleh pemerintah dengan menerapkan protokol kesehatan, salah satunya adalah dengan menghindari namanya kerumunan. Namun ternyata tetap diabaikan.
Sementara pihak setelah merebaknya virus korona selama 9 bulan ini pemerintah dinilai masih gagap. Dalam arti ibarat sebuah masalah tidak diketahui lagi ujung pangkalnya sehingga Ketika dikselesaikan pun tidak bisa dideskripsi dari mana mulai dari dimana berakhirnya. Pemerintah dinilai gagap menghadapi masalah yang harusnya ditangani secara sangat serius ini. Akar masalah kegagapan itu adalah pola pikir dan pola kerja pemerintah yang masih sektoral, sehingga kementerian/lembaga berjalan sendiri-sendiri dalam menangani krisis.
Memang akhirnya ada miskoordinasi dan miskomunikasi karena memang secara inheren birokrasi kita tidak lentur. Birokrasi kita terlalu kaku, satu kementerian urusin satu sektor saja. Akhirnya tidak bisa luwes hadapi krisis seperti ini. Pada hal seharusnya pemerintah transparan. Pemerintah tidak seharusnya menutup-tutupi langkah penanganan, seperti saat merahasiakan lokasi karantina, Ketika awal merebaknya virus ini 9 bulan berselang.
Evaluasi dibutuhkan untuk memperbaharui semangat memberantas korona. Tanpa dmikian maka pemerintah akan kehilangan aktualisasi kosep pemberantasan. Sementara itu sebagaimana dinyatakan di atas warga masyarakat juga semakin tidak peduli dan terbiasa dengan berbagai hal yang intinya penyebaran virus sudah tidak dapat dikendalikan. Tentu hal di atas sangat membahayakan bagi integritas kesehatan bangsa sendiri. Untuk itu tidak ada jalan lain, kita harus bahu membahu mencegahnya.***