Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit
Masih menjadi rasan rasan, dan kiranya menjadipelajaran berharga bagi kematangan Lembaga perwakilan kita, yaitu DPR. Masalahnya adalah, bagaimana suatu UU yang sejatinya lahir dari Rahim wakil rakyat, tetapi senyatanya begitu massif diprotes oleh rakyatnya yang diwaklilinya?. Klarifikasi ini dibutuhkan sekali lagi sebagai bahan yang kiranya bisa dijadikan sebagai pelajaran untuk pembuatan UU di masa mendatang.
Orientasi UU Ciptakerja
Omnibuslaw atau disebut dengan Omnibus legislation yang menjadi merek UU Ciptakerja secara obyektif dianggap sebagai terobosan dalam konsep hukum di Indonesia. Dimana Omnibus akan menjadi cara untuk melakukan deregulasi dan debirokratisasi. Deregulasi adalah proses pencabutan atau pengurangan regulasi negara, biasanya regulasi yang berhubungan dengan ruang lingkup ekonomi. Deregulasi menjadi kebijakan yang umum dalam ekonomi industri maju pada tahun 1970-an dan 1980-an, sebagai dampak dari kecenderungan baru dalam pemikiran ekonomi tentang ketidakefisiensian dari regulasi yang dilakukan oleh pemerintah, dan ancaman yang berasal dari badan regulasi yang mungkin dikendalikan oleh industri demi meningkatkan keuntungannya sendiri, sehingga merugikan konsumen dan ekonomi secara keseluruhan.
Regulasi ekonomi merupakan kebijakan yang didukung pada masa Gilded Age, karena tindakan tersebut dirasa perlu untuk membatasi wewenang yang dimiliki eksternalitas seperti tindakan penyalahgunaan oleh perusahaan, mempekerjakan buruh yang masih anak-anak, memonopoli, dan pencemaran polusi. Sekitar akhir dasawarsa 1970-an, regulasi semacam ini dianggap membebani ekonomi, dan banyak politikus pendukung neoliberalisme yang mulai menggencarkan deregulasi.
Menurut Glen S. Krutz, Omnibuslaw diartikan sebagai penyatuan berbagai Undang-undang dalam satu Undang-undang yang besar. Saat ini undang-undang Omnibuslaw yang sudah disahkan adalah Undang-undang Cipta kerja. Dengan berbagai polemik bermunculan dan pro kontra di masyarakat. Masalah yang kemudian muncul adalah — mengapa Pemerintah terlalu terburu-buru mengesahkan Undang-undang Cipta Kerja ini. Memang kondisi perekonomian Indonesia saat ini mengalami pelemahan dan ketidakpastian. Salah satu pendorong kondisi tersebut adalah perekonomian global yang juga dalam kondisi sama. Pemerintah berupaya menjaga perekonomian di Indonesia dengan mempertahankan daya beli masyarakat, mendorong peningkatan konsumsi pemerintah dan meningkatkan kinerja Investasi.
Sekaitan dengan hal di atas, secara umum Pemerintah Indonesia juga berusaha untuk meningkatkan Ease of Doing Business (EoDB), karena rangking EoDB Indonesia berada di posisi 73, Jauh dibawah Negara Singapura dan Malaysia. Omnibus Law menjadi perbincangan hangat di Indonesia setelah DPR dan Presiden menyetujui salah satu Omnibus Law Klaster Ketenagakerjaan yakni Undang-undang Cipta Kerja agar ditetapkan menjadi Undang-undang pada Senin, 05 Oktober 2020, dan disahkan pada hari Selasa, tanggal 02 November 2020 oleh Presiden Jokowi dengan nomor 11 Tahun 2020. Dengan demikian RUU tentang Cipta Kerja yang menyulut banyak Kontroversi telah final menjadi Undang-undang yang berlaku setelah diumumkan oleh Menkumham dalam lembaran Negara Republik Indonesia pada hari yang sama.
Problematika
Ada beberapa permasalahan yang kini dihadapi oleh Pemerintah dan DPR dengan disahkannya UU Cipta Kerja ini. Pertama adalah penolakan keras dari berbagai kalangan, terutama kalangan pekerja yang menilai Undang-Undang ini adalah sebuah kemunduran yang merugikan kepentingan mereka. Demo besar-besaran yang digerakan Pekerja dan didukung elemen lain dalam masyarakat yang menolak Undang-Undang Cipta Kerja menambah keadaan yang sudah runyam akibat pandemic Covid 19 menjadi semakin mengkhawatirkan.
bahwa hubungan antara DPR, DPD dan DPR sangat erat. Di dalam dimensi kekuasaan dapat dinyatakan bahwa ketiga lembaga itu berbagai kekuasaan dalam bidang legislatif sebagai bagian dari upaya untuk lebih mengakomodasikan aspirasi rakyat di Indonesia. untuk pemahaman keberadaan DPD, rujukan substantifnya adalah ketika dilakukan perubahan fundamental di dalam rumusan undang-undang dasar 1945 pascaamandemen yaitu mekanisme baru dalam menentukan kepemimpinan nasional melalui pemilihan Presiden secara langsung dan pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan lembaga negara bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kedua lembaga ini bergabung menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Amandemen terhadap UUD 1945 membawa konsekuensi pada perubahan rumusan UUD 1945 yang secara mendasar telah mengubah struktur parlemen Indonesia dalam bingkai teoritis sebelum dilakukan amandemen tersebut sistem parlemen Indonesia dapat dikualifikasikan sebagai mekanisme parlemen dengan sistem parlemen satu kamar (uni cameral sistem). Namun ada juga yang menyebut sistem parlemen Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 yaitu dengan sebutan satu setengah kamar sebutan yang memang kurang jamak dimaksud untuk menyebut kamar pertama adalah DPR sedangkan yang setengah itu adalah MPR yang tidak berfungsi secara langsung sebagai mekanisme perwakilan rakyat karena tidak seluruh anggotanya diangkat dan kekuasaannya yang tidak murni di bidang legislatif.
Namun ada pula yang berangkat dari kekuasaan yang bersumber dari kedudukan MPR sebagai suatu lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan yang sangat besar sebagai kualifikasi sistem parlemen dua kamar (bicameral sistem). Dengan kekuatannya ini di dalam kinerja sebagai aplikasi kekuasaan yang dimiliki MPR telah memperkuat proses penyelenggaraan pemerintah negara berdasarkan sistem check and balance terutama ketika berhadapan dengan kekuasaan eksekutif. majelis permusyawaratan rakyat dipandang sebagai parlemen karena kongkritnya bukan eksekutif apalagi lembaga yudikatif namun bukan berarti kalau tidak masuk keduanya lantas begitu saja sebagai lembaga legislatif mengingat pada kekuasaannya kendatipun terbatas pada bidang peraturan perundang-undangan MPR dikualifikasikan sebagai lembaga legislatif.
Di dalam perspektif penjabaran dari UUD 1945 kiranya perlu dipahami karakter keanggotaan kedudukan tugas dan wewenang MPR dan DPR dalam UUD 1945 hasil amandemen yang dalam jabatan berikutnya diatur dalam aturan pelaksanaan yaitu undang-undang dalam beberapa kali pergantian, materi undang-undang itu tetap sama yaitu tentang susunan dan kedudukan majelis permusyawaratan rakyat dewan perwakilan rakyat dewan perwakilan Daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah tentang susunan keanggotaan kedudukan tugas dan wewenang MPR DPR dan DPD serta pemilihan anggota DPD substansi yang kiranya berubah secara mendasar adalah bahwa di dalam hubungan dengan MPR susunan dan keanggotaan MPR itu terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum sebelumnya anggota MPR terdiri dari anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan golongan utusan daerah dan utusan golongan diangkat berdasarkan peraturan perundangan.
Adapun kedudukan MPR pada masa lalu adalah sebagai lembaga tertinggi negara (vide tab no: XX/MPRS/1966) bahkan sebagai penjelmaan rakyat yang bersifat superbody. Lembaga negara lainnya disebut sebagai lembaga tinggi negara berada di bawahnya. tetapi setelah amandemen UUD 1945 kedudukan MPR adalah merupakan lembaga permusyawaratan rakyat dalam arti sebagai lembaga negara biasa yang secara fungsional bersama dengan lembaga negara lainnya merefleksikan kekuasaan berdasarkan undang-undang dasar 1945.
Sekaitan dengan DPR maka susunan dan keanggotaan DPR itu terdiri atas anggota partai politik peserta pemilu dan dipilih berdasarkan hasil dari pemilu yang diselenggarakan secara periodik dengan mengacu pada substansi dan prinsip kedaulatan rakyat. ditentukan dalam mekanisme keanggotaan DPR bahwa jumlah seluruh anggota DPR itu adalah 550 orang penetapan jumlah ini didasarkan mekanisme perhitungan kepadatan penduduk dan keterwakilan wilayah dengan ketentuan bahwa tiap kabupaten atau kota mempunyai wakil di DPR.
Dinyatakan juga bahwa hubungan keberadaan DPR kedudukan DPR adalah sebagai lembaga negara yang kekuasaannya sebagai lembaga perwakilan rakyat yang berbeda dengan MPR sebagai lembaga permusyawaratan. Dengan kekuasaannya itu DPR berfungsi sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk menyusun anggaran. Jabaran dari kekuasaan dalam bidang anggaran ini meliputi aspek penyusunan dan selanjutnya menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara. Normatifnya kekuasaan ini dikerjakan bersama presiden yang nantinya melaksanakan APBN tersebut sebagai konsekuensi kedudukan presiden sebagai kepala eksekutif.
Sementara itu penyusunan APBN dinyatakan senantiasa memperhatikan pertimbangan DPD yang secara real mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya di daerah dari mana mereka menjadi wakil daerah. Hal ini juga dimaksud agar upaya peningkatan kesejahteraan rakyat berangkat dari kondisi riil di daerah yang kebutuhan serta orientasinya secara teknik belum tentu sama.
Berdasarkan paparan di atas ada sentuhan atau kebersamaan untuk merupakan tugas dan wewenang DPR dan juga refleksikan kekuasaan lembaga tersebut yang secara khusus berhubungan dengan kekuasaan DPD. Tugas dan wewenang dimaksud adalah, pertama mMenerima dan membahas usulan rancangan undang-undang yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakan nya dalam pembahasan.
Kedua, memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak pendidikan dan agama. Ketiga, mMembahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan UU tentang otonomi daerah pembentukan pemekaran dan penggabungan daerah hubungan pusat dan daerah sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya pelaksanaan APBN pajak pendidikan dan agama. Keempat adalah memilih anggota badan pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD.***