Jakarta,Koranpelita.com
Ketua Aliansi Kebangsaan/Ketua Umum FKPPI/Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Pontjo Sutowo mengatakan, sejak amandemen UUD 1945 yang telah menghilangkan GBHN sebagai haluan pembangunan nasional. Selanjutnya, perencanaan pembangunan nasional kita dirancang berdasarkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang diatur dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2004.
Sesuai dengan SPPN tersebut, proses perencanaan pembangunan nasionaldilakukan melalui proses politik, proses teknokratik, dan proses partisipatif untuk menghasilkan dokumen perencanaan jangka panjang, jangka menengah, dan rencana pembangunan tahunan.
Kemudian penjabaran untuk pencapaian tujuan nasional dituangkan ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional jangka panjang.
Sementara pembangunan 5 tahunan yang seharusnya menjadi tahapan pelaksanaan secara berkelanjutan dari visi, misi, dan arah pembangunan nasional yang tertuang dalam RPJPN tersebut, dirumuskan dengan rujukan utamanya adalah visi-misi Presiden/Wakil Presiden yang dipilih secara langsung melalui Pemilu kemudian dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Sistem perencanaan seperti ini telah diberlakukan lebih dari 16 belas tahun. Dari perjalanan 16 tahun itu, ditemukan sejumlah persoalan mengemuka yang mengindikasikan adanya kelemahan-kelemahan dalam SPPN.
“Dari berbagai sumber, ada beberapa catatan terkait SPPN yang dapat saya sampaikan. Di antaranya yakni, SPPN yang adasekarang dinilai tidak mampu mengintegrasikan dan mensinkronisasikan pembangunan antar waktu, antar ruang, antar daerah, dan antara pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia,” Kata Pontjo Sutowo dalam webinar bertajuk Focus Group Discussion (FGD) berjudul Restorasi Haluan Negara dengan Paradigma Pancasila, Senin (9/11/2020).
Menurut Pontjo, SPPN cenderung bias terhadap aagenda Eksekutif, kurang menampung agenda cabang-cabang kekuasaan lainnya secara menyeluruh. Sehingga dinilai tidak mencerminkan wujud kehendak rakyat seperti halnya GBHN. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 dinilai tidak mampu menjamin kesinambungan pembangunan.
Sementara itu, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengungkapkan ada dorongan yang kuat dari publik agar MPR RI dapat menghadirkan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Antara lain datang dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Forum Rektor Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu.
Bamsoet mengatakan, para pakar dan akademisi yang tergabung dalam Forum Rektor Indonesia, Aliansi Kebangsaan, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, memiliki pandangan bahwa Indonesia harus memiliki haluan negara.
Menurutnya, MPR RI sebagai Rumah Kebangsaan yang terdiri dari anggota DPR RI dan DPD RI menjadi lembaga yang tepat dalam membuat dan menetapkan PPHN.”Dari hasil survei yang dilakukan MPR RI periode 2014-2019, sebanyak 81,5 persen responden menyatakan perlu reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN, dan hanya 18,5 persen yang menjawab tidak perlu,” ujarnya.
“Alasan yang paling dirasakan dan yang paling dekat dengan kepentingan masyarakat adalah karena saat ini pelaksanaan pembangunan nasional dianggap tidak berkesinambungan,” imbuhnya.
Ia menjelaskan, keberadaan PPHN tidak akan mengembalikan posisi presiden sebagai mandataris MPR RI, tidak akan mengembalikan kedudukan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara, dan tidak akan mengganggu sistem presidensial pemilihan presiden-wakil presiden secara langsung oleh rakyat.
PPHN lanjut Bamsoet, hanya memastikan agar pembangunan tetap berkelanjutan, serta adanya integrasi sistem perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah.”Keberadaan PPHN di Indonesia juga tak jauh beda seperti di berbagai negara lainnya. Didalamnya memuat tujuan yang ingin dicapai bangsa Indonesia dalam beberapa tahun ke depan,” jelasnya.
Bamsoet menilai, dengan demikian PPHN akan menjadi landasan visi-misi bagi kandidat presiden-wakil presiden yang maju dalam Pilpres, arah pembangunan bangsa lebih terencana. Setiap presiden-wakil presiden akan bekerja sesuai haluan negara. Bukan bekerja sekehendak hatinya, apalagi sesuai pesanan konsultan politik semata.
“Pentingnya kehadiran haluan negara dapat dianalogikan sebagai berikut, jika diibaratkan Indonesia adalah sebuah bahtera besar yang sedang berlayar mengarungi samudera luas, apakah memerlukan haluan ke mana kapal ini akan menuju? Atau, percayakan saja kepada nakhoda ke mana bahtera ini akan diarahkan,” terangnya.
Sementara, dalam FGD tersebut, Prof. Ravik Karsidi dari Forum Rektor Indonesia memaparkan tiga skenario mengembalikan kembali keberadaan haluan negara dalam sistem ketatanegaraan berbangsa dan bernegara. Alternatif pertama, melalui amandemen terbatas UUD NRI 1945 untuk memberikan kewenangan kepada MPR RI untuk membuat dan menetapkan PPHN.
“Alternatif kedua, merevisi UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, UU No. 17/2014 tentang MD3, serta UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Alternatif ketiga melalui konvensi ketatanegaraan. Pilihan paling rasional dan paling banyak disuarakan adalah alternatif pertama, yakni melalui amandemen terbatas UUD NRI 1945,” jelasnya. (Vin)