Bandung, Koranpelita.com
Saat ini dunia menghadapi suatu era yang disebut VUCA untuk rumitnya interkoneksi berbagai variabel yang saling mempengaruhi sehingga dunia penuh ketidakpastian dan banyak perubahan di segala bidang. Termasuk di bidang pangan yang perlu dibuatkan desain strategis untuk menghadapi kemungkinan terjadinya krisis pangan nasional. VUCA merupakan singkatan dari Volatile, Uncertain, Complexity and Ambiguity.
“Istilah ini untuk menggambarkan suatu lingkungan yang semakin bergejolak, kompleks dan bertambahnya ketidakpastian. Kata volatile merujuk kepada gejolak perubahan yang labil dan cepat. Saking cepat dan derasnya arus perubahan, maka para pengambil keputusan di setiap bidang masing – masing, seringkali mengalami kesulitan dalam mengantisipasi apa yang akan terjadi selanjutnya,“ ujar Dewan Pakar Perpadi Jawa Barat yang juga Dewan Pertimbangan ICMI Jawa Barat Dede Farhan Aulawi yang disampaikan di Bandung, Jum’at (6/11).
Idealnya di era VUCA seperti saat ini, para leader di berbagai tingkatan memiliki kejelasan visi jangka panjang namun fleksibel dan adaptif dengan durasi tempo respon yang pendek. Value dan outcome menjadi pegangan untuk decision making. Visi jangka panjang tetap dipegang menjadi pemandu oleh leader. Namun pendekatan adaptif dan agile menjadi pendekatan di lapangan. Pola pengelolaan organisasi yang kaku dan bergantung pada kepastian akan menyulitkan gerak cepat para pelaku lapangan justru menjadi penghambat dalam melakukan manuver meraih kesempatan pertumbuhan.
Dalam konteks ketahanan pangan saat ini, ada 3 isu besar perubahan yang berimplikasi pada keseimbangan antara supply dan demand pangan nasional. Ketiga isu besar tersebut adalah penyempitan luas daratan akibat gerusan abrasi, erosi dan pemanasan global. Kedua masalah alih fungsi lahan pertanian produktif, menjadi pabrik, perumahan, ataupun jalan dan berbagai pembangunan infrastruktur lainnya. Ketiga terkait masalah minimnya kesejahteraan petani sehingga banyak yangberalih profesi. Oleh karenanya tidak sedikit daerah saat ini yang memiliki lahan nganggur (non produktif) karena kesulitan mendapatkan tenaga taninya. Ketiga masalah ini juga terus berkembang penuh dengan ketidakpastian. Tambah Dede.
Kemudian secara lebih rinci, Dede juga menjelaskan tentang VUCA sebagai berikut : Volatile : lingkungan yang labil, berubah amat cepat dan terjadi dalam skala besar. Uncertain : sulitnya memprediksi dengan akurat apa yang akan terjadi. Complex : tantangan menjadi lebih rumit karena multi faktor yang saling terkait. Ambiguous : ketidakjelasan suatu kejadian dan mata rantai akibatnya.
Dede juga menambahkan konsep ketahanan pangan yang sedang dibayang – bayangi potensi terjadinya krisis pangan ke depan, membuka mata dan telinga semua akan pentingnya merumuskan desain cadangan logistik pangan sesuai amanat UU Pangan No 18 tahun 2012 tentang Pangan. Cadangan Pangan tersebut menjadi satu komponen yang sangat penting dalam konsep cadangan logistik strategis, disamping hal – hal yang terkait dengan farmasi dan obat – obatan, serta masalah cadangan energi yang harus berbasis pada energi baru dan terbarukan. Oleh karenanya, salah satu tindakan riil yang sedang dilakukan saat ini terkait dengan pengembangan pariwisata pedesaan berbasis pada konsep pengembangan wisata 4P, yaitu wisata Pertanian, wisata Perkebunan, wisata Perikanan, dan wisata Peternakan. Pemilihan kosa kata “wisata” menjadi sangat penting, agar kaum milenial pun mau menggarap bidang tersebut dan tidak meninggalkannya dengan berbagai alasan. Hal tersebut juga secara bersamaan harus sinergis dengan moderinisasi sistem pada keempat sektor di atas, dan juga mengoptimalkan energi terbarukan dari laut dan darat. Modernisasi yang dimaksud dalam konteks ini bertujuan untuk meningkatkan effisiensi dan produktivitas pada areal lahan garapan. Harapannya jika modernisasi berhasil dilakukan maka dapat mengubah wajah pertanian konvesional mejadi modern.
Pembahasan ketahanan pangan dalam konteks ini berada di tataran keamanan pangan skala nasional, karena kalau bicara wilayah (daerah) tentunya ada derah yang surplus dan ada juga yang minus (defisit). Untuk itu, mengembangkan sistem logistik pangan sangat penting guna menjamin kelancaran distribusi pangan yang terjangkau dan merata ke seluruh wilayah Indonesia. Sistem logistik pangan nasional yang kuat harus bertumpu pada empat strategi, yaitu peningkatan produksi, perbaikan sistem distribusi, pengembangan kelembagaan, dan mendorong konsumsi pangan lokal. Untuk itu, Dede memandang bahwa Indonesia sudah saatnya memiliki sistem informasi logistik pangan yang menjamin akurasi, presisi, real time dan transparan tentang peta dan data produk pertanian skala nasional.
Terlebih di masa pandemi covid 19 seperti saat ini, banyak negara yang “terpaksa” membuat kebijakan untuk memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri dan cenderung menahan ekspor produk pangannya. Oleh karenanya mengembangkan basis pemanfaatan sumber pangan lokal juga menjadi sangat penting sebagai salah satu komponen dari strategi pengembangan sistem logistik pangan nasional. Tepatnya dengan menerapkan dua skenario diversifikasi pangan, yaitu diversifikasi pangan karbohidrat non beras, dan diversifikasi ke sumber pangan non karbohidrat seperti kacang, protein hewani, sayur, dan buah.
Merujuk persoala pemetaan pangan di era VUCA ini maka pengembangan program lumbung pangan (food estate) harus terus ditumbuhkembangkan secara sungguh – sungguh. Bukan hanya berorientasi pada program cetak sawah saja, melainkan juga pada pengembangan pusat pangan lainnya, seperti singkong dan jagung sesuai dengan kondisi lahannya.
“ Yang jelas karena masyarakat Indonesia itu merupakan masyarakat dengan tingkat konsumsi beras paling tinggi di dunia, maka basis penguatan ketahanan padi menjadi prioritas. Namun di saat yang bersamaan, diversifikasi sumber karbohidrat lainnya pun harus tetap dikembangkan sebagai cadangan jika dunia benar – benar mengalami krisis pangan khususnya padi,“ pungkasnya. (D)