Mitigasi Bencana Alam 2020

Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH

*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.

Bencana bisa datang kapan saja dan di Kawasan mana saja. Perhitungan manusia terhadap hadirnya bencana hanya sekadar pemahaman yang jika diprosentasekan sangat sedikit yang sesuai dengan kenyataan. Artinya dalam Bahasa agama kuasa Allah mutlak berlaku, kendatipun manusia membuat prediksi atau ramalan. Kuasa Allah begitu besar dan agung, dan tak akan pernah sebanding dengan perhitungan manusia.

Kenyataan di atas sudah berulang beribu kali. Bencana datang silih berganti tak dapat ditolak. Bahasa agama mengajarkan agar manusia berkointemplasi terhadap perilaku dirinya. Hendaknya senantiasa berada pada rel yang telah digariskanNya. Tidak melakukan hal hal yang sudah jelas dilarang olehNya. Namun itu tadi, manusia adalah makhluk yang aniaya. Peringatan yang disampaikan cenderung dilupakan, ketika sudah terlena dengan perbuatan ma’siyat.

Terdampak La Nina
​ Menyadari begitu terbatas dan dangkalnya pemahaman manusia atas kejadian bencana, khususnya bencana alam maka harusnya manusia tidak boleh sombong. Selama ini prediksi yang dilakukan terhadap terjadinya bencana cenderung tidak tepat. Oleh karena itu, sebisa yang dilakukan adalah dengan melakukan mitigasi bencana alam.
Pada penghujung Tahun 2020 ini, masyarakat di seluruh tanah air khususnya yang selama ini menjadi langganan bencana harus terus meningkatkan kewaspadaan. Secara teknis, banjir bisa datang ketika dinihari warga sedang terlelap. Tanah longsor bisa menimpa masyarakat di pegunungan, wilayah yang semaa ini bisa saja tak diperhitungkan memungkinkan terjadinya longsor. Tanah amblas dan bencana alam yang lain, pokoknya harus siap menerima datangnya bencana. Bukan pesismistis, justru sikap optimistis harus terus dipupuk agar tatkala bencana benar benar datang tidak membuat permasalahan khususnya tertekannya jiwa.

Untuk itu, dipesiapkan berdasarkan prediksi bahwa puncak musim hujan di Indonesia belum lagi tiba. Namun kenyataannya korban telah berjatuhan. Sebagai contoh, sekadar yang dapat dipantau dan dikomunikasikan terjadinya tanah longsor. Lokasinya di Pangandaran, Jawa Barat. Sedikitnya dua orang tewas akibat tanah longsor. Selain itu, ratusan kepala keluarga terdampak bencana dimaksud yang dipicu intensitas hujan tinggi dan struktur tanah yang labil tersebut.

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pangandaran, menyebut enam desa dan empat kecamatan terendam banjir. Padahal, pertengahan Oktober lalu, pejabat terkait telah mewanti-wanti fenomena La Nina sudah menghampiri negeri ini dan diperkirakan puncaknya pada Desember-Januari bersamaan masuknya musim hujan. La Nina merupakan fenomena yang menyebabkan hujan di suatu kawasan turun secara berlebihan. BMKG memprediksi hampir seluruh wilayah Indonesia terdampak La Nina sampai akhir 2020, terkecuali Sumatra.
Kenyataan bahwa bencana itu sudah diperingatkan sebelumnya melalui berbagai media namun seperti biasa, berita peringatan itu berlalu begitu saja. Ia tidak semengkhawatirkan SMS peringatan habisnya masa tenggang kartu seluler atau kuota data. Ia juga tidak membuat kita jadi kepengin melongok selokan atau parit di depan rumah, apakah ada sampah yang menumpuk atau kotoran yang menyumbat, misalnya. Paling-paling yang sibuk konsolidasi hanya BPBD setempat.

Padahal, banjir, tanah longsor, angin puting beliung, merupakan potensi bencana nyata yang jelas-jelas bakal menghiasi hari-hari kita ke depan.

Mereka siap menerjang siapa saja. Mereka yang kaya mungkin bisa mengungsi ke mana saja jika rumah atau mobilnya kebanjiran, meski tetap saja repot. Apalagi mereka yang tidak bisa lari ke mana-mana. Ditambah lagi ada wabah korona, tentu semakin menderita.
Penderitaan ini seolah menjadi peristiwa drama tahunan yang kemudian berdasarkan kinerja media komunikasi akan lewat, dan berlalu besama dengan waktu. Pada hal di samping la nina, masih banyak potensi bencana lainnya. Tanah air Indonesia yang subur ini rawan bencana. Suka atau tidak suka, kita tinggal dan hidup di dalamnya. Jangan dulu jauh-jauh bicara potensi gempa Megatrust yang menakutkan itu, curah hujan di akhir tahun saja selalu bikin repot. Ironisnya, bukan solusi permanen yang muncul, malah terus berulang dijadikan komoditas politik di berbagai daerah, yang tak berkesudahan.

Urgesi Mitigasi Bencana
Sebagai penduduk yang hidup di daerah rawan bencana, sudah semestinya pentingnya mitigasi jadi misi dan kesadaran bersama. Tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga warga (dan juga media). Mereka yang tinggal di dekat sungai, misalnya, harusnya menjadikan itu sebagai urat nadi kehidupan, bukan sekadar tempat membuang limbah. Percuma pengerukan, normalisasi, atau entah apa pun istilahnya, jika mindset warga ini tidak diubah. Ini yang mesti terus disosialisasikan.

Sisi positifnya, banyak anak muda yang secara swadaya kini mulai menggeluti permasalahan ini. Mulai memilah dan mendaur ulang sampah rumah tangga, membersihkan sungai, hingga merawat mangrove. Mereka tak hanya mengandalkan fisik dengan terjun ke sungai atau laut, tetapi juga mencurahkan pikiran dengan mengedukasi warga tentang pentingnya menjaga lingkungan. Pemerintah dan beberapa perusahaan swasta, memang sebagian ada yang menggandeng mereka. Namun, sebagai agen pembangunan, alangkah eloknya jika juga ada kebijakan lebih serius dari pemerintah terhadap permasalahan ini. Entah lewat regulasi maupun kurikulum sekolah, seperti Jepang.

Bisa saja dimulai dari cara melihat pengertian bencana itu sendiri. Genangan, misalnya, tetap saja membuat masalah dan membawa dampak lain seperti munculnya penyakit karena bukan semestinya air ada di jalan atau pekarangan warga, berapa pun lamanya ia bertamu di sana. Hal ini juga harus disadari warga dan dijadikannya media sebagai bentuk peran sertanya dalam mitigasi bencana. Sebagai contoh, kendatipun dalam peristiwa bencana di Pandeglang “hanya” dua warga yang meninggal dunia namun dapat dijadikan sebagai poin peranserta dengan menangkap makna peristiwa itu sebagai peristiwa dini yang harus diwaspadai bagi Kawasan lain.

Hal hal di atas kiranya memperoleh perhatian secukupnya khususnya dari pihak pemerintah yang memang dimaklumi sedang disibukkian dengan persiapan Pilkada serentak Desember 2020.

Namun ini menjadi kenyataan yang pada dasarnya adalah hajat hidup rakyat secara konkret yang harus diprioritaskan titik tujunya pada saat musim pandemi korona ini.
Untuk itu kiranya para calon pemimpin daerah yang berada pada Kawasan rawan bencana juga menitikberatkan kampanyenya dengan tema bagaimana solusi konkret manakala bencana benar benar menimpa warga masyarakat calon pemilihnya. Jangan hendaknya hanya berjualan omog kosong dan sekadar membagi kaos iklan. Lebih bijak jia soal mitigasi bencana ini dijadikan sebagai sentral atau fokus dalam kampanye***

About redaksi

Check Also

Mengapa Disiplin dan Bersih Begitu Susah Di Indonesia ?

Oleh  : Nia Samsihono Saat aku melangkah menyusuri Jalan Pemuda Kota Semarang aku mencoba menikmati …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca