Jakarta,Koranpelita.com
Generasi milenial hidupnya tidak bisa lepas dari teknologi.Dalam aktivitasnya mengalami perbedaan dari generasi sebelumnya. Supaya siap dan kuat dalam menghadapi revolusi 4.0, maka generasi milenial sangat membutuhkan kemampuan literasi.
Indonesia berpeluang menjadi satu diantara lima negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia. Hal tersebut dimungkinkan jika merujuk pada bonus demografi yang akan dialami Indonesia pada rentang tahun 2020-2035. Saat itu diprediksi usia penduduk produktif melebihi jumlah penduduk non-produktif. Keberhasilan dari bonus demografi tergantung dari seberapa banyak kualitas sumber daya manusia yang diciptakan.
Generasi milenial akan memiliki peran dominan dalam bonus demografi. Mereka dianggap sebagai aset, generasi unggul yang mampu membawa bangsa Indonesia ke arah pembangunan yang lebih maju dan dinamis. “Kuncinya pada kualitas. Mereka inilah (generasi milenial-red) yang diharapkan memiliki kualitas yang dapat bersaing dengan dunia luar,” papar Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando pada kesempatan Webinar ‘Menyiapkan Generasi Literasi Melalui Penguatan Kegemaran Membaca Era Milenial’, berkat kerja sama Perpusnas dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusipda) Jawa Barat, Jumat, (16/10/2020).
Saat ini, tantangan generasi milenial jauh lebih besar dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Bekal kesiapan menghadapi revolusi 4.0 bagi generasi milenial adalah dengan kemampuan literasi.“Generasi milenial yang berliterasi adalah generasi yang memiliki aksesibilitas terhadap sumber bacaan yang up to date,” tambah Syarif.
Syarif mengatakan, penumbuhan budaya baca penting mengingat kemampuan dan keterampilan membaca merupakan dasar bagi seseorang memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan pembentukan sikap. Menjadi generasi literat berarti menyiapkan masyarakat kritis dan peduli. Kritis terhadap terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.
“Tantangan sekarang ini generasi milenial dianggap minat membacanya berkurang. Karena itu hal ini disebabkan oleh beberapa faktor,” jelasnya.
Menurut anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa, faktor pertama akibat belum adanya kebiasaan membaca yang ditanamkan para orang tua. Padahal peran orang tua amat penting untuk meningkatkan kemampuan literasi anak.“Sebagian masih banyak yang menyepelekan kegiatan membaca. Baru sebatas hobi, belum menjadi kebiasaan,” urai Ledia
Faktor berikutnya disebabkan karena akses ke fasilitas pendidikan masih minim dan belum merata. Padahal di tengah kondisi pandemi saat ini, generasi milenial dipaksa belajar ala digital dengan segala keruwetan dan keterbatasannya.
Dan faktor terakhir adalah produksi buku yang masih kurang. Hal ini dipicu karena royalti yang diterima rendah, insentif bagi produsen buku yang belum adil sehingga berdampak pada belum berkembangnya penerbit.
Mengomentari karakter milenial Indonesia, Ledia melihatnya sebagai generasi yang memiliki percaya diri yang tinggi dan berani mengungkapkan pendapat di muka publik, berpikir out of the box, kaya akan gagasan, mudah bersosialisasi terutama dengan komunitasnya, dan cakap menguasai teknologi, terlebih di media sosial dan internet. “Bagi generasi milenial, kemampuan berliterasi digital amat penting karena menjaga mereka untuk terus berpikir kreatif,” tambah Ledia.
Sementara itu, Duta Baca Provinsi Jawa Barat Salbia Salsabila Mulki memahami bahwa tugas mengajak orang untuk membiasakan membaca itu sulit. Contohnya, di dunia akademisi, kebiasaan membaca baru akan dilakukan ketika mendapat tugas kuliah. “Istilahnya the power of kepepet,” ujar Salsa.
Salsa meyakini bahwa kemampuan literasi yang baik tidak sekedar baca dan tulis. Karena jika hanya kedua faktor yang menjadi parameter, maka tidak heran informasi yang masih sumir (hoaks) mudah diterima masyarakat.
Salsa menyarankan untuk membentuk generasi yang literat, jalan satu-satunya adalah dengan gemar membaca. “Bangsa yang memiliki tingkat literasi yang tinggi akan menjadi bangsa yang disegani,” katanya.
Narasumber lainnya, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Barat Ahmad Hadadi mengatakan untuk menghasilkan manusia yang berbudaya haruslah melek literasi. Upaya yang dibangun pihaknya demi mewujudkan SDM Juara Lahir Batin, pihaknya menyusun tiga langkah membangun generasi literasi.
Pertama, mencanangkan gerakan literasi sekolah sebagai upaya menumbuhkan budi pekerti siswa. Kedua, menunjuk Duta Baca sebagai simbol inspirasi terutama bagi kalangan remaja dan anak-anak sehingga memberikan efek kebanggaan serta citra baik terhadap perpustakaan. Dan ketiga, menggalakkan program West Java Leader’s Reading Challenge bekerja sama dengan The Crown in Right of the State of South Australia tentang dunia pendidikan. Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan daya nalar siswa menjadi lebih baik melalui kegemaran membaca sehingga menumbuhkan karakter positif siswa.
“Untuk program unggulan perpustakaan di Jawa Barat, kami memiliki ‘Candil’ kepanjangan Baca Dina Digital Library, semacam aplikasi buku digital, dan ‘Makan Jengkol’, kepanjangan dari Mari Antar Jemput Buku Dengan Kolaborasi. Program Makan Jengkol ini merupakan hasil kerja sama Dispusipda Jawa Barat dengan penyedia layanan antarjemput aplikasi, Grab,” imbuh Ahmad. (Vin)