Oleh Karim Paputungan
Penulis, wartawan senior tinggal di Jakarta.
DR FRANS Wilhelm Junghuhn terkesiap. Matanya terbelalak. Mulutnya melongo. Seakan tak percaya terhadap apa yang dilihat. Dia mengucek mata kembali.
“Tidak. Saya tidak sedang bermimpi,” gumamnya.
Pemandangan di hadapannya nyata. Sungguh membuat takjub. Di situ ada danau tiga warna: biru, hijau, putih dengan turunan warna bergradasi yang berubah-ubah.
Uap putih tebal di beberapa sisi menghambur ke udara. Airnya bening, tak beriak. Suasana hening. Tercium bau agak menyengat, mirip mirip telor busuk. Sekelilingnya bukit yang sebagian cadas, selebihnya berupa semak dan pemohonan yang meranggas.
Bertuah dan Angker:
Kawasan itu dianggap bertuah dan angker, sehingga tak pernah ada orang yang berani mendekati, apalagi menginjakkan kaki. Jangankan orang. Burung yang terbang di langit atasnya, sontak saja jatuh tanpa diketahui sebab musababnya. Menggelepar sebentar. Mati.
Ada kepercayaan, di situ bersemayam roh para leluhur. Penjaganya berupa domba berbuluh hijau yg disebut lukutan.
Untuk menghormati tempat yang dikeramatkan itu, tempo doeloe penduduk pada waktu tertentu mengadakan ruwatan berupa persembahan sesajian.
Mengungkap Misteri:
Nah Dr Junghuhn, seorang pakar botani dan geologi kelahiran Jerman yang kemudian berkewargaan Belanda terusik dan mencoba mengungkap misteri di baliknya.
Tersadar bahwa yang dilihat adalah keajaiban alam dengan pemandangan tak tepermanai, peneliti yang dimakamkan di kaki Gunung Tangkuban Perahu, Lembang itu malah mengatupkan kedua mata, meresapi keindahan hingga ke relung hati, sambil berseru lirih:.. “Oh My God.” Dia memuji Tuhan.
Kisah Junghuhn telah lama berlalu. Kawasan yang membuat takjub dan kemudian dia memuji kebesaran Tuhan itu, sekarang dikenal sebagai Kawah Putih.
Dia menemukan Danau Tiga warna itu tahun 1837 atau 183 tahun silam.
Burung yang jatuh dan mati ketika melintas di kawah putih pun terungkap. Bukan, karena keangkeran, tapi semata mata karena uap beracun dari belerang.
Letusan Patuha:
Kawah Putih yang terbentuk akibat letusan dahsyat Gunung Patuha 818 tahun silam itu, sekarang menjadi obyek wisata alam ecoturism yang dijaga kelestariannya.
Kami berkunjung hari Minggu siang di penghujung bulan dan sempat merasakan suasana mistis sebagaimana Junghuhn.
Ada beberapa turis bule Eropa di antaranya remaja wanita. Terdengar pula sekelompok pelancong dari Penang, negeri jiran berjalan perlahan sambil berbual. Kami yang pernah ke Penang sempat berbincang dengan mereka. Tentu saja mayoritas pengunjung dari negeri sendiri.
Karcis masuk idr 20k per pax lebih sebagai ongkos transport dari lapangan parkir ke kawasan kawah.
Sedangkan, kalau mau mobil pribadi mengantar hingga ke kawasan parkir kudu merogoh kocek idr 150k.
Ontang Anting:
Menggunakan mobil yang disediakan pengelola sudah cukup. Kendaraan yang disebut ontang anting itu berupa angkot yang dimodifikasi. Kursinya tiga deret masing-masing menghadap ke depan dan muat tiga orang. Mirip odong-odong. Mereka mangkal di parkiran umum. Di sana terdapat warung jajan dan kios oleh oleh yang sederhana. Tampak di antaranya beberapa jenis cemilan dan kaos. Mushala juga tersedia.
Jarak dari Kodya Bandung tidak terlalu jauh, apalagi sudah ada toll hingga ke Soreang, ibukota Kabupaten Bandung. Namun, dari Soreang senantiasa macet, apalagi hari libur Sabtu Minggu. Jalan sempit menanjak dengan beberapa bus besar wisatawan.
Berangkat agak pagi lebih disarankan. Dari Bandung sekitaran 1,5 hingga 2 jam. Namun, baliknya bisa lebih dari tiga jam.
Adapun waktu tempuh dari parkir bus ke kawasan Kawah Putih cukup singkat. Hanya sekitaran 10 menit melewati tanjakan berkelok dengan aspal mengelupas.
(Note: Kami berkunjung hari Minggu siang pada penghujung bulan dan sempat merasakan suasana mistis sebagaimana Junghuhn. Sebelum pagebluk atau epidemi covid-19. Semoga wabah ini segera berlalu).