Merangkul Mahasiswa Peduli Pekerja Migran

Oleh Dr H Sa’dullah Affandy, MAg, MSi

Penulis adalah Atase Ketenagakerjaan KBRI Riyadh, Katib Syuriyah PBNU dan Dosen Pascasarjana UNUSIA Jakarta.

 

Untuk pertama kalinya saya berbicara dihadapan mahasiswa tapi dengan tema yang tidak seperti biasanya, selaku dosen biasanya tema yang diangkat dalam diskusi dengan mahasiswa membincang isu-isu pemikiran atau kajian akademik lainnya yang aktual, namun untuk kali ini kami diundang untuk berbicara isu ketenagakerjaan, tentu undangan dari Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Saudi Arabia ini saya penuhi walaupun tempatnya jauh di kota Madinah, 850 km dari Riyadh.

Kesempatan emas itu tidak saya sia-siakan, saya justru beruntung dengan undangan tersebut untuk mengetuk hati adik-adik mahasiswa agar peduli dengan problem dan nasib para pekerja migran Indonesia (PMI), terutama mereka yang kurang beruntung (bermasalah) yang tengah berjuang mengadu nasib, tapi berhadapan dengan “tembok besar” budaya dan aturan yang asing dan baru bagi mereka.

Para PMI itu, mayoritas orang desa sama dengan kebanyakan daerah asal teman-teman mahasiswa juga, namun yang membedakan adalah SDM dan pendidikannya. Oleh karenanya para mahasiswa harus peduli dengan meng-edukasi tetangga atau saudaranya yang bermimpi ingin memburu reyal di negeri emas hitam ini.

Saudi, memang negara impian umat Islam yang ingin dikunjungi, tak terkecuali para calon PMI, karena Saudi mempunyai magnet berupa Ka’bah dan makam Nabi Saw. Harapan ingin beribadah haji dan umrah sangat dirindukannya, terlebih antrian panjang di tanah air untuk melaksanakan rukun islam kelima itu sudah harus menunggu setidaknya 20 tahun bahkan lebih.

Namun impian para PMI untuk bekerja diluar negeri tidak berbanding lurus dengan kemampuan dan bekal yang dimilikinya, akibatnya mimpi itu betul-betul hanya mimpi, jangankan bisa haji, tidak sedikit yang kembali ke kampung halamannya dengan hampa bahkan yang mereka dapatkan hanya cerita pilu dan lara.

Kembali kepada seminar tersebut, kami juga mengkritik mahasiswa Indonesia di saudi yang kurang peduli dengan nasib teman ekspatriatnya tersebut, sebagian para mahasiswa asyik dengan dunianya dan segala fasilitas lebih yang mereka dapatkan, mereka bersikap elitis dan menjaga jarak dengan nasib para tetangganya itu. Kritik yang saya lontarkan ini tentu kritik konstruktif sebagai bentuk sayang kepada adik-adik mahasiswa, bahkan bisa menjadi vitamin yang menyehatkan.

Sebagai seorang akademisi justru kami merangkul dan mengajak mereka untuk bergabung bersama kami, beriring bersama untuk peduli misal dengan mengedukasi saudara kita tersebut, langkah dan upaya apa yang bisa mereka perankan untuk meringankan masalah yang dihadapi para PMI, kami atas nama perwakilan siap memfasilitasi apa yang harus kami siapkan dalam langkah jihad yang mulia ini.

Upaya yang kami tawarkan ini bukan berarti kami menyerah, tapi justru memberi lahan ladang amal bagi para WNI terdidik, bahwa selain bergelut dengan buku, diluar tambok kampus terbentang peluang jariyah sosial dan pengabdian masyarakat yang sangat terbuka dan menantang yang bisa juga menjadi bahan penelitian sekaligus perjuangan. Kami masih percaya kompetensi dan independensi mahasiswa, jika mereka turun gelanggang setidaknya dapat mewarnai dinamika dan langkah solutif, bahkan bisa bersinergi dan berkompetisi dengan sehat dengan apa yang dilakukan teman-teman LSM dan pegiat pekerja migran lainnya.

Dalam perjalanan Madinah-Riyadh, 2 Oktober 2020.

About redaksi

Check Also

Mengapa Disiplin dan Bersih Begitu Susah Di Indonesia ?

Oleh  : Nia Samsihono Saat aku melangkah menyusuri Jalan Pemuda Kota Semarang aku mencoba menikmati …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca