Jakarta,Koranpelita.com
Kebijakan larangan pemakaian kantong plastik sekali pakai resmi berlaku di DKI Jakarta per 1 Juli 2020. Aturan yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta Anies
Baswedan ini memicu pro dan kontra di kala pandemi COVID-19.
Adapun sasaran dari peraturan ini adalah pusat pengelolaan perbelanjaan dan pasar. Termasuk di dalamnya toko swalayan, pedagang atau pemilik toko. Namun, pelarangan penggunaan plastik sekali pakai yang diimplementasikan di beberapa wilayah di Indonesia dinilai tidak efektif mengatasi masalah sampah.
Di sisi lain, pelarangan plastik sekali pakai ini juga berdampak pada sejumlah aspek lainnya seperti ekonomi dan tenaga kerja.
Direktur Kemasan Group Wahyu Sulistya mengatakan, kebijakan ini tentu saja akan berdampak pada aspek lain, seperti tenaga kerja dan ekonomi.
“Setidaknya lebih dari 170 ribu orang yang bekerja di industri plastik di Indonesia akan terkena dampaknya jika mentalitas ‘pelarangan’ seperti ini terus dibudayakan,” ujar Wahyudi dalam webinar kebijakan pelarangan plastik sekali pakai di Jakarta (29/9/2020).
Selain itu, menurut Wahyudi, saat ini, belum ada pengganti plastik dari segi emisi karbon, fungsi, durabilitas, dan harga.”Setiap hari, kita ini menggunakan plastik karena kita membutuhkannya, ketika larangan penggunaan single-use untuk tas berbelanja disahkan, tas bungkusan pengganti yang saat ini menjadi opsi dan banyak digunakan untuk bungkusan, seperti spunbound ataupun paper bag pun juga memiliki lapisan plastik Polypropylene atau PP, ” jelasnya.
Bahkan, lanjutnya, masker surgical seperti 3Ply saja memiliki lapisan plastik juga. “Bisa dibayangkan, tidak mungkin kita melarang penggunaan single-use plastic padahal lapisan plastik sangat kita butuhkan sehari-hari, apalagi di tengah pandemi. Jika perhatian pemerintah dan masyarakat ada pada sampah single-use plastic, harusnya sampah masker juga menjadi perhatian, yang sekarang sudah menumpuk. Artinya, memang solusinya tidak bisa kita larang plastiknya, melainkan waste management,” jelasnya.
Sementara, Ketua Umum Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Prispolly Lengkong mengungkapkan, profesi pemulung juga menjadi salah satu subjek yang terkena dampak negative dari kebijakan tersebut.
“Setidaknya ada 3 juta lebih pemulung belum termasuk keluarganya yang akan terdampak dengan diberlakukannya kebijakan larangan single-use plastic,” kata Prispolly.
Menurutnya, sampah plastik memiliki nilai ekonomi yang tinggi terutama bagi profesi pemulung. “Karena, sampah tersebut kami pilah dan bisa kami jual kembali dan didaur ulang kembali menjadi benda-benda yang dapat bermanfaat, termasuk menjadi plastik lagi,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa sudah seharusnya saat ini Tempat Pembuangan Akhir (TPA) ditiadakan. “Kita harus punya mindset dan perencanaan tata kelola sampah yang terintegrasi. Sebagai contoh, saat ini IPI juga memiliki program waste management, yakni Kawasan Industri Pemulung (KIP) dan Kawasan Usaha Pemulung (KUP). Saat ini, program waste management IPI sudah berkontribusi dalam pengurangan sampah di TPST Bantar Gebang DKI Jakarta, dari 3,800 ton per hari menjadi 2,063 ton,” paparnya.
“Jika IPI bisa berkontribusi untuk pengelolaan sampah TPST, harusnya, pemerintah, masyarakat dan swasta juga bisa membuat program yang lebih baik untuk penanganan masalah sampah,” sambungnya.
Doktor Jessica Hanafi, pakar teknis ISO (International Organization of Standardization) pada kesempatan yang sama mengatakan, mengenai cara menilai eco-friendly atau tidaknya sebuah barang yang harus dinilai secara holistik, tidak bisa hanya dinilai dari hilir saja atau dari biodegradable atau tidak.
“Suatu produk tidak hanya bisa dilihat atau dipotret hanya pada satu tahap dalam hidupnya. Jika dilihat hanya pada satu atau dua tahapan dari masa hidup suatu produk, akan terjadi pergeseran dampak lingkungan,” jelasnya.
Menurut Jessica penilaian potensi dampak lingkungan suatu produk dapat dilakukan melalui metode Life Cycle Assessment yang standarnya sudah diadopsi menjadi SNI ISO 14040 dan 14044 pada tahun 2016 dan 2017.
Berdasarkan beberapa studi LCA yang dikaji oleh UN Environment dalam publikasinya mengenai “Single-Use Plastic Bags and their alternatives: Recommendations from Life Cycle Assessment”, banyak parameter yang harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan terkait penggunaan atau pelarangan plastik karena banyak implikasi yang dapat terjadi yang juga mengakibatkan dampak lingkungan yang lebih berat.
“Reusable bags yang dirancang untuk digunakan berkali-kali mempunyai dampak lingkungan yang lebih rendah daripada single-use plastic Polyethylene (PE) bag. Namun tergantung dari jenisnya, reusable bag harus digunakan sampai puluhan kali bahkan lebih dari 150 kali untuk tas dari bahan katun,” kata Jessica.
Maka dari itu, menurut Jessica permasalahan sampah ini tergantung dari perilaku konsumen, jumlah ini bisa saja tidak tercapai.
Sementara itu untuk material biodegradable dalam praktek manajemen limbahnya harus dikondisikan sedemikian rupa dalam penanganannya agar dapat terurai dalam sistem komposting. (Vin)