Bandung, Koranpelita.com
Sejak awal Prawita Genppari sudah menyadari bahwa Indonesia memiliki keragaman potensi wisata yang luar biasa. Begitupun terkait dengan karakteristik kepariwisataan telah berkembang ke arah yang lebih baik lagi. Jika awalnya wisata itu identik dengan penghamburan uang sekedar untuk hiburan saja, namun kini dalam konsep Prawita Genppari telah dikembangkan secara lebih luas, dan biasa disingkat dengan Perekat (Produktif, Edukatif, Religius, Kreatif, Atraktif, dan Tantangan). Setiap karakteristik tersebut memiliki segmen pasar yang berbeda sehingga strategi pemasarannya pun tentu harus berbeda.
“Ada langkah – langkah taktis dalam melakukan pemetaan pasar dan strategi penetrasinya,“ ungkap Ketua Umum Prawita Genppari Dede Farhan Aulawi yang ditemui di Bandung, Selasa (22/9).
Hal itu dia ungkapkan setelah sebelumnya mengunjungi sentra budidaya peternakan ikan Lele Mitra Karya 18 di Perumahan Panorama Jatinangor Blok H RW 12 Desa Ciananjung, Tanjungsari – Sumedang. Menurutnya apa yang dikerjakan oleh para peternak Lele merupakan salah satu contoh model pengembangan wisata produktif. Artinya orang bisa diajak kemari untuk berwisata dan mengetahui cara berbudidaya ternak Lele dengan sistem Bioflok dan terbukti sukses. Sampai saat ini setiap masa panen, tempat tersebut hanya mampu memenuhi 20% permintaan. Dengan demikian pangsa pasar ikan Lele masih sangat terbuka lebar.
Dede juga menyampaikan bahwa sistem bioflok yang diterapkan disana dipandang sudah terbukti berhasil, dengan memperhatikan sistem aerasi yang baik. Aerasi ini sangat penting dalam mendukung terciptanya biota bioflok dalam kolam. Inti dari bioflok sebenarnya bukan sebagai pakan tambahannya ikan lele, melainkan bertujuan untuk menghilangkan limbah beracun dalam kolam, seperti Nitrogen dan bentuk senyawanya yang berasal dari kotoran ikan lele itu sendiri. Dengan demikian, lingkungan hidup lele menjadi lebih sehat dan berpeluang untuk daya tebar yang lebih tinggi. Namun demikian, pengontrolan terhadap bioflok tetap harus dilakukan, karena jika jumlahnya terlalu banyak, mereka akan mengkonsumsi oksigen lebih banyak dan tentu akan bersaing dengan lele itu sendiri.
Dede juga menjelaskan bahwa teknologi bioflok adalah teknik dalam budidaya ikan (lele) untuk meningkatkan kualitas air kolam atau air budidaya, dengan menggunakan bantuan mikroorganisme seperti bakteri heterotrof dan fitoplankton. Banyak mikroorganisme yang berperan, ada bakteri, fungi, ragi, protozoa, fitoplankton. Bioflok ini akan optimal jika terjadi perbandingan yang pas antara unsur Karbon (C) dan Nitrogen (N). Mikroorganisme ini akan memanfaatkan Nitrogen organik yang berasal dari sisa makanan dan kotoran ikan. Sedangkan sumber karbon perlu ditambahkan, misalnya dari molases atau tetes tebu.
Bakteri bioflok berbeda denga nitrosomonas dan nitrobacter. Bakteri yang digunakan dalam bioflok adalah bakteri heterotrof. Jenis bakterinya adalah bakteri bacillus. Bakteri bacillus tersebut akan memanfaatkan amoniak dan memanfaatkannya untuk berkembang biar membentuk flok. Semakin lama ukuran flok akan semakin membesar dan mengendap di dasar kolam. Oleh karena itu, aerasi yang berfungsi sebagai agitator oksigen juga bermanfaat untuk mengaduk flok ini.
“ Model wisata edukatif dan produktif seperti ini akan terus didorong agar semakin berkembang. Di samping fikiran jadi fresh dan asyik terutama saat menaburkan pakan ikan, tentu hasilnya juga akan produktif dan menguntungkan secara ekonomi. Di samping itu secara otomatis program ini juga akan membantu program pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional, “ pungkasnya. (D)