Jakarta,Koranpelita.com
Kementerian Pertanian (Kementan) menjalankan pengembangan diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal yang fokus kepada satu komoditas utama per provinsi. Diversifikasi pangan difokuskan kepada enam pangan lokal sumber karbohidrat non beras diantaranya ubi kayu, jagung, sagu, pisang, kentang dan sorgum.
Dalam pengantarnya, Kuntoro Boga Andri, Ph.D, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian RI, menjelaskan bahwa Kementerian Pertanian memastikan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia sebanyak 267 juta jiwa harus tercukupi kebutuhannya. Oleh karena itu, diversifikasi akan membantu ketahanan pangan masyarakat.
“Ada potensi pangan lokal yang luar biasa dalam mendukung program diversifikasi pangan. Kita memiliki pangan lokal di luar beras. Program diversifikasi membantu masyarakat Indonesia swasembada pangan,” ujar Kuntoro dalam Diskusi Forum Wartawan Pertanian bertemakan “Diversifikasi Pangan Kokohkan Ketahanan Pangan Nasional”, di Jakarta, Selasa (8/9/2020). Pembicara yang hadir antara lain Dr. Ir. Riwantoro, MM (Sekretaris Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI), Dr Sahara (Kepala Ketua Departemen Ilmu Ekonomi IPB University), dan Sandi Octa Susila (Petani Milenial).
Dari segi produktivitas, dikatakan Kuntoro, potensi produktivitas ubi kayu mencapai 10 ton per hektare dan pisang potensinya dapat mencapai 80 ton per hektare. Selanjutnya, perlu mendorong pasar untuk memperkenalkan produk. “Jadi imejnya pangan lokal harus ditingkatkan supaya menarik semua orang untuk konsumsi,” jelasnya.
Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI memiliki strategi jangka menengah dan jangka panjang untuk meningkatkan diversifikasi pangan lokal. Riwantoro menjelaskan bahwa diversifikasi pangan untuk kebutuhan makan masyarakat ini jadi pedoman. Karena itu, pemerintah berkomitmen menjaga kebutuhan pangan dan mencegah masyarakat kelaparan di saat pandemi covid-19. Ketika BMKG menyebut akan ada kekeringan. Era new normal ada program peningkatan ketersediaan pangan.
Saat ini, setiap provinsi difokuskan memproduksi panganan lokal selain beras. Ada enam komoditas pangan diantaranya ubi kayu, jagung, sagu, pisang, kentang dan sorgum.
“Secara konsistem menggalakkan diversifikasi pangan di wilayah masing- masing dan menjadi sebuah gerakan,bahkan di pekarangan rumah,” jelasnya.
Riwantoro menyebutkan diversifikasi pangan bertujuan mengantisipasi krisis, penyediaan pangan alternatif, menggerakan ekonomi dan mewujudkan sumber daya manusia yang sehat. Dengan sasaran menurunkan ketergantungan konsumsi beras.
Dalam lima tahun ke depan, Kementan RI menargetkan penurunan konsumsi beras nasional sebesar 7 persen. Khusus tahun 2020 rata-rata konsumsi beras ditargetkan turun ke posisi 92,9 per kg per kapita per tahun dari posisi tahun lalu sebesar 94,9 per kg per kapita per tahun. Hingga tahun 2024 mendatang, ditargetkan konsumsi sudah turun 7 persen ke posisi 85 per kg per kapita per tahun. Penurunan itu setara 1,77 juta ton senilai Rp 17,78 triliun. Namun dengan catatan, penurunan konsumsi beras bisa dicapai asalkan ada intervensi dari pemerintah. Tanpa intervensi, penurunan konsumsi beras hanya mampu mencapai posisi 91,2 per kg per kapita per tahun.
“Kami targetkan ada satu penurunan pangan beras kita dan itu harus diikuti dengan kenaikan konsumsi pangan lokalnya. Peluang diversifikasi besar karena masyarakat ingin hidup sehat dan terdapat peluang bisnis UMKM,” ujarnya.
Dr. Sahara menuturkan pandemi Covid-19 menjadi momentum tepat untuk mempercepat diversifikasi pangan. Karena itu, pola padang harus diubah bahwa beras bukan satu-satunya sumber karbohidrat. Karena selama ini, pemerintah masih terlalu fokus pada pengembangan pangan jenis beras. Padahal, Indonesia memiliki ragam jenis pangan yang sangat berlimpah.
Saat ini, Indonesia memiliki 77 jenis pangan sumber karbohidrat, 75 jenis pangan sumber protein, 110 jenis rempah dan bumbu, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 26 jenis kacang-kacangan, dan 40 jenis bahan minuman.
Namun, konsumsi beras per kapita yang terlampau tinggi. Menurut Sahara, kondisi tersebut kontra produktif lantaran dapat menghambat investasi dan pengembangan produk pangan selain beras. “Efeknya, kemampuan kita memproduksi pangan lokal secara kontinu rendah. Belum lagi bicara soal teknologi pengolahan pangan lokal yang masih terbatas,” ujarnya.
Dikatakan Sahara, diversifikasi pangan tidak hanya untuk pangan pokok, tetapi juga pada upaya mendorong keragaman konsumsi berbagai jenis makanan yang mengandung protein, serat dan vitamin yang tinggi. Makanya, upaya diversifikasi pangan harus dilakukan secara terintegrasi melalui aspek permintaan dan suplai.
Sandi Octa Susila menuturkan bahwa petani milenial juga mendukung diversifikasi pangan lokal. Bahkan sudah melakukan ekspor mokaf atau tepung singkong dan sagu. Untuk itu, ia meminta potensi lahan harus dioptimalkan untuk budidaya. Selain itu, perlu juga membangun kerjasama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan kemampuan pangan lokal. (Vin)