Jakarta, Koranpelita.com
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Lenny N. Rosalin mengungkapkan bahwa di masa pandemi ini berbagai keluhan banyak diterima para psikolog dan konselor yang bertugas pada Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) di daerah.
Masalah yang banyak dikeluhkan oleh para orangtua yang berkonsultasi ke para konselor dan psikolog ini seperti anak yang kecanduan gadget, problem rendahnya kepercayaan diri anak, rokok, narkoba, kesehatan reproduksi, belum tersedianya sekolah luar biasa (SLB) di beberapa wilayah yang membuat keluarga dengan anak berkebutuhan khusus mengalami kesulitan mengakses pendidikan, masalah asupan makanan dan gizi bagi keluarga serta perjuangan orangtua untuk dapat membangun kedekatan dengan anak. Saat pandemi, kehadiran orangtua sebagai pengasuh dan pelindung anak yang sangat dibutuhkan.
“Keluarga harus menjadi pelindung bagi anak dan menjadi garda terdepan bagi pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak. Namun faktanya, masih banyak orang tua yang tidak mampu menjadi pengasuh yang baik. Anak juga banyak yang mengalami keterpisahan dan berpindah pengasuhannya di lembaga pengasuhan alternatif, seperti LKSA (Panti Asuhan), LPKA, pesantren, boarding school, tempat penitipan anak, PAUD, dan sebagainya. Seringkali anak juga menjadi korban kekerasan oleh pengasuh di lembaga pengasuhan alternatif tersebut,” ungkap Lenny dalam acara Bimbingan Teknik (Bimtek) Puspaga dengan tema Pengasuhan Berbasis Hak Anak yang dilakukan secara daring (7/9).
Hadi Utomo, Perwakilan Divisi Yayasan Bahtera (Bina Sejahtera Indonesia) sependapat dengan Lenny bahwa orangtua dan pengasuh harus dapat memberikan pengasuhan yang layak dan tanpa kekerasan dan eksploitasi.
“Kekerasan terhadap anak merupakan awal mula kegagalan pengasuhan dan pendidikan anak yang akan berdampak pada kehidupan anak ke depan. Hal ini juga mengakibatkan lemahnya kecerdasan emosi anak dan jiwanya mudah labil sehingga anak rentan melakukan hal menyimpang dan melanggar hukum. Untuk itu, baik orangtua dan pengasuh harus dapat menerapkan pengasuhan dengan penuh kasih sayang, cinta, perhatian, penghormatan, lemah lembut, sopan, menghargai pandangan anak, tanpa kekerasan dan eksploitasi. Hal ini dapat memperkuat kecerdasan emosi anak yang menghasilkan kokohnya daya tahan (resiliensi) anak dari segala ancaman. Hal inilah yang perlu dilakukan Perusahaan dalam layanannya untuk menguatkan keluarga Indonesia,” ungkap Hadi.
Untuk membantu pola pengasuhan yang benar bagi para orangtua dan pengasuh, Kemen PPPA sejak tahun 2016 telah menginisiasi kehadiran PUSPAGA sebagai ujung tombak pendampingan dan pengasuhan berbasis hak anak. Puspaga hadir membekali para keluarga dan pengasuh di lembaga pengasuhan alternatif melalui konseling dan edukasi untuk memberikan pengasuhan yang tidak hanya berbasis hak anak, tapi juga pengasuhan optimal dan bermanfaat bagi anak. Tugas layanan ini menurut Lenny sangat berat, tapi dirinya yakin konseling pengasuhan Puspaga akan memperkuat dukungan bagi keluarga di Indonesia. Itu sebabnya Kemen PPPA mengadakan Bimbingan Teknis bagi para psikolog dan konselor dari seluruh Puspaga yang ada saat ini di seluruh Indonesia.
“Kami berharap Puspaga bisa menjadi pusat layanan preventif dan promotif yang dapat memberikan edukasi dan informasi serta konseling kepada keluarga dengan optimal dan berkualitas. Untuk itu, seluruh layanan Puspaga ini harus segera terstandarisasi. Salah satu syaratnya yaitu adanya psikolog dan konselor yang berkualitas dan memiliki sertifikat. Selain itu, Puspaga juga masuk dalam indikator Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA),” ungkap Lenny.
Lenny menambahkan para psikolog dan konselor yang bersertifikat tersebut harus mendapatkan pelatihan terkait 6 (enam) substansi yaitu konvensi hak anak, pengasuhan berbasis hak anak, teknik konseling, pendalaman tumbuh kembang anak, pengembangan keayahan dalam pengasuhan, dan perlindungan saksi korban. Adapun standarisasi Puspaga tergolong dalam 5 (lima) peringkat, yaitu mulai dari pratama, madya, nindya, utama, hingga Puspaga Ramah Anak. Bimtek ini juga diharapkan dapat membuat seluruh psikolog dan konselor Puspaga bisa mendampingi seluruh keluarga dan lembaga alternatif di Indonesia dalam memberikan pengasuhan yang berbasis hak anak dan optimal bagi anak.
Lebih lanjut Lenny berharap kepada kabupaten/kota yang belum membentuk Puspaga, minimal dapat memiliki 1 (satu) Puspaga di setiap provinsi dan kabupaten/kota atau idealnya ada 548 Puspaga di seluruh Indonesia. “Selagi kita masih menunggu daerah lain mengembangkan Puspaga, kami harap Puspaga bisa mengembangkan pelayanan secara daring di seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. “Saya mengapresiasi Puspaga yang telah memberikan pendampingan bagi para keluarga di luar Indonesia. Saya juga mengapresiasi para pimpinan daerah yang telah, sedang dan akan mengembangkan Puspaga di wilayahnya,” ujar Lenny.
Pemerintah Daerah melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) juga berperan penting untuk mendorong pembentukan Puspaga. “Dinas PPPA memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kualitas keluarga dan pemenuhan hak anak. Mengingat pembentukan layanan Puspaga ini berada di kluster 2 (dua) KLA dan merupakan indikator ke 8 dari 24 indikator KLA yang selalu kami evaluasi setiap tahunnya. Jika kabupaten/kota belum memiliki Puspaga, maka tidak akan bisa menjadi kabupaten/kota layak anak,” tegas Lenny
Di hadapan peserta Bimtek, Lenny mengajak seluruh konselor dan psikolog untuk terus mendampingi 81,2 juta keluarga demi kepentingan terbaik 79,55 Juta anak Indonesia. “Anak adalah generasi penerus kita, mereka generasi masa depan bangsa Indonesia. Mari jadikan keluarga kita paham dan dapat melaksanakan hal-hal sesuai Konvensi Hak Anak dan berbagai peraturan lainnya, untuk memenuhi hak-hak anak, dan melindungi anak dari kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan perlakuan salah lainnya,” tegasnya. (D)