Bekasi, Koranpelita.com
Berbekal ilmu Al Qur’an dari Guru Mughni dan Guru Marzuki, ustadz muda Muchtar kembali ke kampung halaman, di Kali Abang Nangka, Bekasi.
Bekal pengetahuan yang cukup memadai, Muchtar mengabdikan ilmu dan memulai perjalanan dakwah di kampungnya. Mengajar anak-anak, remaja dan majlis ilmu di lingkungannya.
Kondisi Kali Abang Nangka ketika itu, sekitar tahun 1920 masih tradisional. Masyarakat masih mengandalkan kehidupan dengan berladang, bercocok tanam dan menggarap sawah. Masyarakat agraris yang dekat dengan alam, seharusnya dekat dengan Allah SWT, Sang Maha Pencipta langit beserta seluruh isinya.
Kenyataannya, kehidupan masyarakat muslim justru banyak terpengaruh ajaran-ajaran menyimpang. Kepercayaan kepada benda-benda mati seperti pohon, sungai dan semacamnya. Keyakinan masyarakat muslim masih bercampur dengan animisme dan dinamisme.
Semua itu bertentangan dengan ajaran Islam. Ketika itu Kaliabang Nangka masih sangat akrab dengan praktek persembahan untuk makhluk halus dan percaya bahwa benda-benda mati mempunyai kekuatan ghaib dan dapat menolong manusia. Hal itu bukan merupakan pemandangan yang aneh saat itu.
Muchtar muda dan baru kembali dari menimba ilmu merasa terpanggil untuk membenahi aqidah orang kampungnya. Mengembalikan aqidah masyarakat yang sudah semakin jauh dari ajaran Islam yang benar.
Sedikit demi sedikit Muchtar mulai mengubah pola hidup masyarakat dalam keagamaan. Masyarakat di kampungnya mulai mendapatkan pengajaran dan pendidikan Islam yang benar. Praktek-praktek keberagaman yang menyimpang mulai diluruskan.
Perjuangannya dalam menegakkan dan memurnikan ajaran Islam, tidak mudah. Tantangan muncul siring dengan perkembangan masyarakat yang tidak suka. Terlebih dari para jawara dan pendukung perdukunan, mereka kehilangan pengaruh dan mata pencahariannya. Mereka berusaha menghalang-halangi dakwah Islam yang dilakukan kyai Muchtar.
Di usianya menjelang 20 tahun, Muchtar telah menjadi tokoh pemuda yang paling disegani di kampungnya. Muchtar telah berhasil meluruskan masyarakat Kaliabang Nangka dari pola hidup yang bertentangan dengan ajaran Islam. Saat itu terbersit di hatinya untuk berangkat ke tanah suci guna melaksanakan rukun Islam yang kelima. Namun keinginan itu tak langsung begitu saja terwujud.
Muchtar membutuhkan waktu enam tahun untuk mengumpulkan uang sebesar tiga ribu enam ratus rupiah untuk ongkos berangkat haji yang kala itu masih menggunakan kapal laut.
Dalam rencana untuk melaksanakan haji, Muchtar pun telah berazam untuk tidak kembali secepatnya ke tanah air. Muchtar bertekad untuk mukim di tanah suci. Harapannya untuk lebih mendalami berbagai cabang ilmu Islam. Aqidah Islam, hadis dan ilmu-ilmu alatnya.
Muchtar tidak memberi tahu semua anggota keluarga untuk rencananya bermukim di tanah suci. Ayahnya pun tidak diberitahu, kecuali Abdurrazzaq, adik kandungnya.
Selama berada di tanah suci Muchtar menimba ilmu kepada beberapa guru. Dintaranya adalah Syeikh Muchtar Atharied, Syeikh Ahyad, Syeikh Ali Al Maliki dan beberapa orang guru lainnya. Guru yang paling dekat dan paling banyak mempengaruhi pola pikir dan perkembangan keilmuannya adalah Syeikh Ahyad.
Selama menimba ilmu di tanah suci, Muchtar kerap berhadapan dengan situasi sulit. Muchtar tidak mendapat kiriman bekal dari keluarga di tanah air. Semangatnya untuk belajar tidak pernah surut sedikit pun. Selama kurang lebih 13 tahun lamanya Muchtar belajar di tanah suci. (Bersambung)