Saya melempar jauh pandangan ke ujung gunung. Senja sedang datang, membawa sendu yang dulu, saat ia merayu untuk diaku. Benar. Diaku sebagai bagian dari hidup, sebelah jiwa, sepotong hati, separo rogo.
Sebuah Cerpen Pertama
Oleh NKS
Tidak bisa tidak. Saya menggambar wajahnya yang awet ayu. Awet merawat cinta, meski sulit mengubah fitrah bahwa cinta kami tak diberi jatah saling merengkuh.
Hari ini, saya ingin mengenang Dian. Dia yang bayangannya menjadi abadi mengisi relung hati. Di tanggal ini, seperti tanggal-tanggal setahun lalu atau berpuluh tahun lalu, adalah saat untuk menghadirkan kembali Dian secara utuh. Utuh meski tak tersentuh.
Saya sudah berjanji sejak saat itu, saat terakhir bertemu, untuk membiarkan dirinya mengisi hati sepanjang hari, di hari ulangtahunnya. Ulangtahun yang selalu membuat saya kikuk, sebenarnya. Sebab, selalu gagal menjadi pria yang romantis untuknya.
Entahlah. Saat Dian berulang tahun, saya selalu susah memberi hadiah. Ide untuk itu tiba-tiba menghilang. Padahal biasanya saya punya selaksa gagasan cemerlang. Namun selalu terbang saat berhadapan dengan orang yang saya sayang, sekalipun hanya dalam bayangan.
Ya. Titik lemah saya ada pada diri dia, Dik Dian. Sementara dia tahu persis itu. Manakala Dian mau saya ajak bertemu, saya berbinar menatap dunia. Gairah membuncah dan semangat hidup meletup tanpa sempat meredup. Menunggunya berjam-jam dengan ditemani coklat panas sampai hilang hangatnya rela saya lalui. Ikhlas tanpa meminta balas.
Suatu ketika ada cerita, Dian bereuni dengan rekan-rekannya. Sore itu saya rela menunggunya hingga hari makin gulita. Saya ingat betul lokasi resto yang terkesan angker suasana di dalamnya. Saya menunggu dalam mobil berjarak 200 meter dari lokasi. Dian tak ingin rekan-rekannya tahu jika ada saya. Mungkin Dian malu. Maklum saya terlihat tua dan tak ada sisa kegantengan masa muda. Jarak usia yang begitu kentara.
Atau Dian punya cara untuk saling menjaga. Agar jauh dari omongan dan gosip yang dihembuskan orang macam Bu Tejo di film berdurasi pendek berjudul Tilik itu. Maklum menurut Dian, sejatinya memang banyak Bu Tejo-Bu Tejo yang hidup di sekeliling kita.
Ndilalahnya saat menunggui Dian bereuni, saya tak lagi dapat menahan rasa ingin buang air kecil. Mungkin berjam-jam menunggu membuat olahan air perlu ada yang dibuang. Botol air mineral yang sudah saya kuras, saya isi ulang dengan air seni. Saya tak mau ke toilet resto untuk menjaga Dian yang pasti akan melirik kesal jika itu saya lakukan. Saya terus mengingat agar tak meminum botol mineral isi ulang berwarna kuning keemasan.
Entah bagaimana cerita cinta saya ini tumbuh pada Dik Dian. Tumbuh pelan tapi terus berkembang tanpa bisa ditahan. Ya. Tiba-tiba saja dia datang. Dia hadir dalam ruang hati yang sejatinya telah berisi namun terasa ada ruang yang masih kosong. Ruang yang kemudian dia mengisi dan menghiasinya. Datang tak hanya sendirian tapi Dian membawa serta barang aneh bernama cinta.
Saya mengingatnya bertahun-tahun lalu. Hari-hari saya yang dulu sendu, berganti dramatis dengan cinta berwarna. Pagi yang biasanya saya benci, herannya malah selalu dinanti. Begitupun selalu berharap malam jangan terlalu lama. Karena jelas saya ingin melihat dia di kala terang. Buat saya hari libur tak lagi menghibur. Lantaran Dian tak datang untuk bisa saya pandang.
Dia, Dian yang mampu memompa semangatku. Prestasiku melambung seolah tak terbendung. Jelas berkat jasa Dian. Ide dan gagasan banyak saya dapatkan dari diskusi dengan Dian.
Dian yang cantik dan muda energik, menata setiap langkahnya sangat apik. Contoh nyata adalah ia mampu menyembunyikan rasa di depan massa. Bahkan Dian menjaga benar dirinya dan diri saya. Tak boleh seorangpun tahu bahwa Dian dan saya sama-sama menggebu dalam rindu. Rindu yang sejatinya tabu. Namun salahkan jika cinta datang tanpa undangan? Sungguh tak layak untuk menyalahkan cinta, karena katanya cinta tak mengenal logika mengingat ini tentang hati dan rasa.
Waktu berlalu. Dian mulai menatap masa depan. Perlahan Dian menghilang dengan berbagai alasan. Semua sosial media tempat saya memantaunya tak lagi bisa saya jangkau. Lebih sadis lagi, ia seolah ingin membunuh jiwa raga saya secara perlahan dan menyakitkan. Membunuh dengan cintanya. She‘s killing me softly with her love.
Sungguh, Dian yang tadinya sebagai semangat hidup saya, tiba-tiba membuat manuver cinta yang tak biasa. Tak ada jawab jika disapa. Atau jika terpaksa menjawab ajakan untuk sekedar berjumpa hanya dengan jawaban singkat, “No thanks”.
Memang tak ada janji yang Dian ingkari. Dian tak pernah berjanji apa-apa. Perasaan saya saja yang terlalu cinta. Kata “No thanks” itu membuat ambruk cagak urip dan mimpi yang lama terbangun. Cinta setulusnya hingga relakan jiwa raga, ambyar hanya oleh kata “No thanks”. Tapi entah mengapa api cinta dalam dada tetap membara dan tak pernah padam.
Saya tahu usaha Dian menjauh dan menjaga jarak. Bukan untuk alasan kesehatan, tapi supaya mematikan rasa cinta yang ada. Jarak dan waktu biasanya mampu meredupkan bara cinta. Mungkin Dian berharap saya bahkan bisa membencinya. Sebuah harapan yang sia-sia belaka. Rasa saya padanya tak berubah. Masih sama seperti dahulu. Selalu rindu, rindu suara dan tawanya. Namun bukan suara penolakan walau lirih tapi perih, kata “no thanks”.
Malam ini pukul 00.00 tepat di hari ulang tahun Dian, saya tak lagi ingin diam. Jari-jari menari di layar gawai menuliskan ucapan selamat. Sembari bersujud dan berdoa semoga Dian selalu sehat, panjang umur, berkah, sukses dan bahagia. Doa semoga Dian masih selalu menyimpan cinta. Memelihara dan merawat cinta hingga tak ada yang kepo lagi tentang kita. Sampai tak ada lagi yang berani mengganggu kita.
Ucapan selamat ulang tahun untuk Dian sebagai cara saya untuk tilik atau menjenguk cinta yang telah lama saya titipkan. Saya putuskan hanya ucapan selamat sebagai hadiah ulang tahun Dian. O ya, satu lagi hadiahnya yaitu cerpen ini khusus untuk Dik Dian. Saya berharap ada sebuah balasan atas ucapan ini dari Dian. Balasan yang diharapkan adalah kata terimakasih atau “thanks”, bukan jawaban menyakitkan berupa “no thanks”.
Selamat ulang tahun Dian. Jangan pernah lelah untuk mencintai negeri ini dan jangan pernah letih mencintai saya. Abaikan dan jangan hiraukan nyinyir Bu Tejo yang tergabung dalam organisasi PIKSI (persatuan ibu-ibu kepo se-Indonesia).
NKS, Depok, 27.08.2020