Pemerintah dan Pelaku Usaha Harus Sinergi Hadapi Kebakaran Hutan

Jakarta,Koranpelita.com

Pemerintah dan pelaku usaha tetap diminta waspada terhadap bahaya api yang puncaknya terjadi menjelang September.  Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi diantara semua pihak baik pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, perguruan tinggi dan masyarakat.

Data KLHK menunjukkan luas kebakaran lahan dan hutan dari 1 Januari – 31 Juli 2020 secara keseluruhan mengalami penurunan 52,41 persen menjadi 71.145 hektae. Angka ini lebih rendah dibandingkan periode sama tahun lalu 135.747 hektar.

Direktur Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan), Ardi Praptono dalam diskusi webinar Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertemakan “Persiapan Industri Sawit Hadapi Karhutla di Tengah Pandemi COVID-19” di Jakarta, Selasa (25/8/2020) menjelaskan, bahwa semua pihak berkolaborasi dan bekerjasama dalam upaya pencegahan karhutla di tahun ini.

Diskusi ini menghadirkan empat pembicara yaitu Ardi Praptono, SP, M.Agr. (Direktur Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian RI), Anis Susanti Aliati (Kepala Sub Direktorat Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan, KLHK), Bambang Dwilaksono (Ketua Bidang Sustainability Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), dan Dr. Pandu Riono (ahli  epidemiologi Universitas Indonesia)

Kementerian Pertanian secara aktif melakukan sosialisasi regulasi dan penerapan pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) di enam provinsi  rawan karhutla yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.

Langkah lainnya  membentuk Brigade Karlabun dan Kelompok Tani Peduli Api (KTPA) sebanyak 3.181 orang. Hingga tahun 2019, telah terbentuk 17 Brigade Kartabun dengan total jumlah personel 1.051 orang. Selain itu, juga telah terbentuk 142 KTPA dengan total anggota petani sebanyak 2.130 orang.

Dalam pencegahan karhutla tahun ini, Kementan menyiapkan dana sebesar Rp 4,55 miliar, dari sebelumnya dianggarkan mencapaiRp12,1 miliar.

“Akibat adanya pandemi Covid-19, anggaran tersebut diefisienkan. Dari anggaran tersebut sudah dibuat demplot pembukaa lahan perkebunan tanpa membakar di Kalimantan Tengah. Fokus lain penggunaan dana ini yaitu operasional brigade karlabun dan pengawalan penanganan kebakaran lahan serta perkebunan,” ujar Ardi.

Untuk itu, Ardi  meminta perkebunan juga menyiapkan diri untuk mengatasi kebakaran. Bahkan Kementan punya sanksi tegas yang tertuang dalam Undang-Undang Perkebunan No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

“Pada Pasal 108 dijelaskan, setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar,” katanya.

Kepala Sub Direktorat Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, Anis Susanti Aliati mengatakan upaya pencegahan karhutla akan lebih baik dibandingkan terjadi kebakaran lalu baru dipadamkan. Itu sebabnya, pencegahan karhutla merupakan tanggung jawab bersama mulai dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, pelaku usaha, perguruan tinggi dan masyarakat.

“Berdasarkan prediksi BMKG tahun ini terjadi kemarau basah mendukung pengurangan areal karhutla. Selain nitu, teknologi modifikasi cuaca (TMC) kita lakukan lebih awal pada akhir musim hujan yakni mulau bulan Maret 2020,” ungkapnya.

Meskipun diakuinya, TMC bukan satu-stunya cara pengendalian karhutla. Menurut dia , ada solusi lain yakni optimalisasi pemanfaatan data iklim dan monitoring cuaca. Selain itu, pengelolaan dari para pemegang konsensi lahan agar melakukan kegiatan pembukaan lahan tanpa bakar. “Misalnya imbah hasil pembukaan bisa dimanfaatkan untuk membuat cuka kayu atau disinfektan,” ujarnya.

Anis mengatakan, BMKG memprediksi puncak musim kemarau tahun ini terjadi pada bulan Juli-September. “Sebaiknya, kita semua lebih waspada terutama Agustus ini dan berharap karhutla tahun ini tidak meningkat,” katanya.

Ketua Bidang Sustainibility Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Bambang Dwi Laksono mengatakan terdapat tantangan untuk penanganan karhutla termasuk di area perkebunan yang masih dihadapi saat ini. Pertama, lahan perkebunan pada umumnya berada di remote area dengan sistem komunikasi dan transportasi yang terbatas. “Hal itu menyebabkan deteksi kejadian dan penanganannya kerap kali mengalami keterlambatan,” jelasnya.

Kedua, masih ada peraturan perundangan yang membolehkan pembakaran lahan untuk membuka lahan baru dengan alasan kearifan lokal. Menurut dia, jika pembakaran lahan oleh masyarakat masih ditolerir maka berpotensi memicu kebakaran dalam skala besar apabila tidak disertai monitoring yang efektif.

Ketiga, dalam penanggulangan kebakaran terutama program edukasi bagi komunitas setempat. “Ini harus disikapi dengan program edukasi dan komunikasi yang tepat sesuai kultur masyarakat yang menjadi objek pencegahan,” tambah Bambang.

Keempat, Pandemi COVID-19  menjadikan keterbatasan interaksi sehingga berpotensi menyebabkan rendahnya pelaksanaan program kerjasama dengan masyarakat lokal dalam penanganan karhutla.

Dr. Pandu Riono mengajak semua pihak berkolaborasi dan lebih waspada supaya kebakaran lahan dan hutan tidak membesar di tengah pandemi. Hal ini perlu dilakukan mencegah beban ganda bagi masyarakat yang mengalami dampak karhutla bagi kesehatan publik berupa penyakit paru yakni tuberkulosis (TB). (Vin)

About ervin nur astuti

Check Also

Peringatan Bulan Mutu Nasional 2024: Standardisasi untuk Transformasi Ekonomi yang Berkelanjutan

Jakarta, Koranpelita.com Dalam upaya mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 dan mendukung target pertumbuhan ekonomi sebesar …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca