BUKU Wawasan Pancasila karya Yudi Latief, anggota Dewan Pakar Aliansi Kebangsaan dinilai sebagai karya paripurna yang sangat fundamental dan komprehensif sebagai ‘bintang’ penuntun untuk pembudayaan Pancasila.
Karya Yudi Latief tersebut kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo bisa menjadi sumber, baik untuk kepentingan studi Pancasila maupun panduan praktis pembangunan nasional sebagai pengalaman Pancasila.
“Saya setuju dengan pernyataan Bung Yudi Latief bahwa tanpa usaha sengaja, sungguh-sungguh dan konsisten untuk melakukan pembudayaan Pancasila dalam segala ranah pembangunan, bisa saja sekali waktu Pancasila tinggal pepesan kosong,” kata Pontjo pada acara webinar membedah buku Wawasan Pancasila yang digelar Jumat malam (21/8/2020).
Menurutnya, kegagalan suatu negara tidak terjadi secara tiba-tiba. Itu sebabnya pembudayaan Pancasila ke dalam ranah tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera harus terus menerus dilakukan secara sadar, terencana, sistematis, terarah dan berkelanju
Pontjo mengingatkan bahwa bangsa Indonesia lahir dari adanya kesadaran dan pengakuan atas perbedaan-perbedaan sebagai kondisi obyektif bangsa. Pluralitas atau kemajemukan ini baik dalam hal etnis, agama, budaya, bahasa, kepentingan politik, bahkan ideology telah dicarikan titik temunya oleh para pejuang pendahulu kita, yang berkehendak untuk hidup bersama menjadi sebuah bangsa Indonesia.
Kehendak Indonesia. untuk hidup bersama yang diikrarkan dalam sumpah pemuda 1928 ini, lanjut Pontjo, merupakan janji kebangsaan yang menandai adanya loncatan peradaban yaitu sebuah transformasi kultural dari nasionalisme etnis menjadi nasionalisme madani. Melalui proses panjang, akhirnya janji kebangsaan tersebut menjadi kesepakatan politik para pendiri bangsa dan mengukuhkan Pancasila sebagai shared values yang kita jadikan penuntun dalam membangun identitas bersamadan menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Upaya memelihara pluraslime sebagai konsensus moral bangsa Indonesia jelas Pontjo, harus terfasilitasi oleh negara dengan baik agar basis-basis ikatan sentimenprimordial bisa mengalami proses transformasi menjadi common domain yang efektif mengawal keutuhan bangsa yang majemuk.
“Kita patut bersyukur memiliki Pancasila yang bisa dipedomani sebagai rujukan untuk mendorong proses transformasi strukyur dan kultur demi terwujudnya common domain identitas ke Indonesia menegaskan identitas etnisitas dan identitas lainnya. Saya berkeyakinan bahwa dengan Pancasila yang dihayati, dipahami dan dilaksanakan secara jujur, benar dan bertanggungjawab, semua kecenderungan negative destruktif yang dapat meruntuhkan bangunan bangsa dan negara dapat dicegah,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata Pontjo, Pancasila sebagai modal sosial (social capital) yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia harus terus menerus dibudayakan secara sadar oleh seluruh bangsa Indonesia utamanya oleh pemegang otoritas kekuasaan.
Pontjo percaya tidak ada kebangkitan dan kemajuan tanpa diusahakan secara sengaja dan penuh kesadaran. Lewat pengalaman sejarah perjuangan bangsa, ternyata untuk menumbuhkan kesadaran itu memerlukan fajar budi (keutamanan budi) yang dapat menyatukan pikiran, perasaan dan kemauan dalam spirit kolektif. Dalam kaitan ini peran inteletual sangat menentukan dan selalu menjadi pemantik gerakan kemajuan kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia di masa lalu.
Untuk mengarungi perjalanan bangsa ke depan, perjuangan mewujudkan politik harapan, harus berjejak pada visi yang diperjuangkan menjadi kenyataan. Harapan tanpa visi bisa mengarah pada kesesatan. Dan visi tersebut tentu harus mempertimbangan warisan terbaik masa lalu, peluang masa kini serta keampuhannya untuk mengantisipasi masa depan.
Pontjo mengatakan pembangunan nasional hakekatnya adalah gerak berkelanjutandalam peningkatan mutu peradaban yang berlangsung pada tiga ranah utama yakni ranah mental spiritual (tata nilai), ranah institusional politikal (tata kelola) dan ranah material teknologital (tata sejahtera).
Ranah pertama kerap disebut sebagai ranah budaya, sedang ranah kedua dan ketiga disebut sebagai ranah peradaban. Meski demikian, lazim pula dipahami,
bahwa dalam istilah peradaban pun terkandung basis nilai budaya. Oleh karena itu, ketiga ranah tersebut bisa disebut dalam satu tarikan nafas sebagai ranah peradaban.
Dalam konteks Indonesia, visi Pancasila telah mengantisipasi pentingnya memperhatikan ketiga ranah tersebut. Ranah mental-karakter (tata nilai) basis
utamanya adalah sila pertama, kedua, dan ketiga. Ranah institusional-politikal (tata) kelola basis utamanya sila keempat Ranah material-tenologikal (tata sejahtera) basis utamanya sila kelima. Ketiga ranah tersebut bisa dibedakan, namun tak bisa dipisahkan.
Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila memiliki kapasitas untuk menjadi kerangka paradigmatik pembangunan nasional. Dengan menjadikan sebagai
“ideologi kerja” (working ideology) dalam praksis pembangunan, Pancasila akan dirasakan keberadaan dan keampuhannya.
Dengan cakupan yang komprehensif, penjelasan yang mendalam, serta argumentasi dan relevansi yang kuat, karya Yudi Latif ini bisa menjadi buku sumber baik untuk kepentingan studi Pancasila maupun panduan praktis pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.
Daron Acemoglu dan James A Robinson (2012) mengingatkan kita bahwa: “kegagalan suatu negara tidak terjadi dengan tiba-tiba. Bibit-bibit kegagalan itu sebenarnya sudah tertanam jauh di dalam berbagai institusi politik kenegaraan, terkait bagaimana sebuah negara dijalankan. Oleh karena kegagalan suatu negara
tidak terjadi secara tiba-tiba itulah maka pembudayaan Pancasila ke dalam ranah
tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera, harus terus menerus dilakukan secara
sadar, terencana, sistematis, terarah, dan berkelanjutan.
Bedah buku tersebut menampilkan sejumlah narasumber Henny Supolo Sitepu (Cahaya Guru), Dr. Riwanto Tirto Sudarmo, MA (Peneliti Sosial Independen), Chandra Setiawan (anggota Dewan Rohaniwan MATAKIN) dan Mayjen TNI (Purn) I Dewa Putu Rai (Aliansi Kebangsaan). (Vin)