Oleh Fakhrunnas MA Jabbar SAYA merasa tergelitik ketika wartawan-sastrawan Wina Armada SA memajang foto sedang membongkar kumpulan plakat dan piagam di dalam kardus. Tumpukan koleksi itu tentu sudah berumur puluhan tahun. Kepedulian untuk membongkar kardus itu terjadi saat dirinya berada menjelang usia tua. Bagi saya pun, tumpukan plakat dan piagam serta deretan ribuan buku di rak perpustakaan dalam rentang puluhan tahu ternyata di usia sekarang dirasakan jadi masalah tersendiri. Khusus plakat dan piagam, mau dipajang? Pasti tak cukup tempat lagi. Mau dikardus? Buat apa dan sampai kapan mau disimpan tak terurus. Sedang untuk koleksi buku perpustakaan pribadi saja kini juga sudah jadi masalah. Saya punya koleksi sekitar 5000 buku. Sekarang saya sejak 5 tahun terakhir, saya sudah meninggalkan hal-hal yg dulu paling disukai: tak lagi ‘berburu’ di toko buku karena sudah kekurangan ruangan dan rak buku. Juga kekurangan dana. Hehe. Begitu pula membuat kliping koran dan majalah juga sudah tidak lagi dilakukan seperti dulu- kecuali yang sangat penting terlait dengan bahan kuliah atau bahan disertasi bidang komunikasi karena kliping-kliping lama ternyata tak terurus juga. Saya sekarang jadi selalu berpikir, andai setelah saya tak ada, tentulah nasib peninggalan itu semua jadi penuh tanda tanya. Bisa tak jelas nasibnya. Apalagi empat orang anak saya -lelaki paling sulung sudah berkeluarga dan punya satu putra usia empat tahun lebih- berada di perantauan di Jawa. Ada yang kerja dan si bungsu perempuan masih kuliah. Saya merasakan tak ada di antara mereka yang bakal peduli dengan koleksi buku, plakat, piagam dan koleksi lain. Istri saya pun juga bukan seorang yang betah mengurus perpustakaan pribadi saya. Lebih sepuluh tahun silam, saat saya dan istru berlebaran di rumah sastrawan Alm. Hamid Jabbar -abang sepupu saya- di Cibubur, Jakarta Timur, Waktu ditanya di mana buku-buku itu sekarang? Putri sulung Hamid, Meuthia yang menerima kunjungan kami – Uni Anis, istri Hamid sedang berkunjung di kampung orangtuanya- bercerita dan menunjuk ada tumpukan 7-8 kardus besar di sudut ruangan. Ternyata sudah belasan tahun juga tumpukan kardus itu tak terurus. ”Dulu beberapa tahun setelah Ayah wafat, ada sastrawan terkenal, teman Ayah yang mau mengambilnya. Makanya kami kardusksn agar mudah membawanya. Tapi gak tahu, sampai sekarang tak ada lagi ceritanya. Mungkin teman Ayah itu juga sudah lupa,” ujar Meuthia. ”Pak Cik bawalah buku-buku itu. Di rumah ini juga hanya memenuhkan ruangan,” kata Meuthia lagi. Waduh, saya menjawab dalam hati, koleksi ribuan buku saya juga sudah menumpuk juga. Tak mungkinlah buku-buku itu saya bawa. Mau ditaruh dimaba lagi, ruang kerha saya di rumah juga sudah penuh sesak dan melimpah buku sehingga ratusan buku berjejer di lantai. Ongkos kirim kardus-kardus buku itu ke tempat saya pasti mencapai jutaan rupiah juga. Jauh sebelum itu, penyair hebat, Ibrahim Sattah juga meninggalkan koleksi ribuan buku saat wafatnya. Nasib buku-buku itu sempat diselamatkan oleh muridnya dengan membuat Perpustakaan Ibrahim Sattah di pojok ruangan di salah satu gedung Purna MTQ -sekarang bernama Bandar Seni Raja Ali Haji- Bandar Serai- tak jauh dari Bandara Sultan Syarif Kasim II, Simpangtig, Pekanbaru. Tapi akibat tak adanya dana pengelolaan, perpustakaan itu tak jelas nasibnya dan konon koleksi buku-buku itu ‘diselamatkan’ beberapa murid Ibrahim yang juga sastrawan. Gedung tempat perpustakaan itu pun sudah sejak lama dirubuhkan. Lain lagi nasib koleksi buku milik sastrawan dan budayawan Riau, Alm.Hasan Junus. Ketika baru wafat, koleksi ribuan buku yang ditinggalkan Hasan termasuk manuskrip penting di dalam komputerñya sempat tak terurus. Istrinya, Kak Ifah -saya akrab memanggilnya begitu- juga cukup gelisah dengan peninggalan buku dan manuskrip itu. Untunglah, akhirnya Pemprov Kepulauan Riau bersedia menyelamatkan koleksi buku Hasan Junus itu dan dibawa ke Tanjungpinang. Kalau tak salah, ada sagu hati sebesar Rp. 70 juta -hampir 20 tahun lalu- yang diserahkan pada ahli warisnya. Sahabat saya, Dr. Husnu Abadi kini di usia 70 tahun merasakan hal yg sama. Husnu mulai mensortir buku-buku yang dipandang sudah patut disumbangkan ke pihak-pihak yang memerlukan. Saya pun mulai ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Buku-buku yang ganda atau dipandang tak terlalu banyak terlait dengan profesi menulis atau bahan kuliah tentu diprioritaskan untuk disimbang ke perpustakaan sekolah SMA atau pihak lain. Tentu ini jauh lebuh bermanfaat karena bisa jadi amal jariyah. Sekitar empat bulan lalu, sebelum Covid 19 marak, kami sempat menyumbangkan ratusan buku sastra dan umum ke Perpustakaan SCB- perpustakaan ini diresmikan langsubg oleh Presisen Penyair Indonesia itu- di SMA Asshofa, Pekanbaru. Rencananya, program menyumbang buku ini mau kami teruskan ke beberapa sekolah lain. Termasuk Perpustakaan Ibrahim Sattah di SMA Cendana, Rumbai yang digagas oleh sastrawan Bambang Kariyawan. Saya pernah menggagas belasan tahun silam agar buku-buku di perpustakaan pribadi yang dimiliki banyak orang, ketimbang hanya jadi ‘penghuni bisu’ di rumah-rumah , lebih baik di’hibah-pinjam’ di Perpusda atau Perpuatakaan Kampus. Tinggal di sana dibuat ruangan/ rak khusus dengan mengabadikab l nama penghibah buku tersebut pada rak atau ruangan perpustakaan tersebut. Tapi gagasan ini tak begitu bersambut. Buku-buku yang dihibah-pinjamkan itu bisa saja dibuat perjanjian tertentu. Syukur-syukur ada dana sagu hati bagi pihak kekuarga yang berhak jadi ahli waris buku-buku tersebut. Begitulah hidup. Apa yang dulu sangat disayang-sayang dan dimanjakan, sampai masanya harus dilepas begitu saja. Memang tak ada yang abadi dalam hidup ini kecuali amal yang bisa dihasilkan selama menjalani kehidupan di muka bumi. (Penulis adalah sastrawan, pensyarah dan wartawan pencinta buku, kini tinggal di Pekanbaru) |
Check Also
Inovasi Ketahanan Pangan Kota Semarang Kembali Raih Penghargaan Tingkat Nasional
Semarang,KORANPELITA com – Inovasi Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang di bidang ketahanan pangan kembali mendapatkan apresiasi …