*Pemuda Ujung Tombak Kemerdekaan Indonesia (2)*
Oleh Dasman Djamaluddin
Bangsa Indonesia tahun 2020 ini genap berusia 75 tahun, berarti menjelang satu abad. Rasa syukur sudah tentu kita panjatkan kepada pencipta alam dan segala isinya ini. Oleh karena itu, tidaklah keliru jika di pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, para pendiri negara mencantumkan kalimat: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Memang sulit menggambarkan seorang Soekarno. Cara berjalannya, senyumnya, apalagi semangatnya. Berjam-jam penduduk menanti wejangan-wejangannya dan dengan sabar menunggu pidatonya usai. Kharismanya memukau bangsanya dan negara lain. Hanya ingin mengatakan “Inilah Indonesia.”
Semua ini terjadi setelah 350 tahun kolonialisme Belanda dan 3,5 tahun pendudukan fascisme Jepang dalam Perang Dunia II. Apa yang dia kerjakan pada 17 Agustus 1945 sebenarnya adalah tepat sama dengan apa yang dilakukan Thomas Jefferson bagi negeri dan bangsa Amerika pada 4 Juli 1776, ujar Sastrawan Pramoedya Ananta Toer (alm) dalam sebuah tulisannya di Hasta Mitra.
“Dia menjadi satu-satunya politikus dan negarawan dalam sejarah politik modern umat manusia yang mempersatukan negeri dan bangsanya tanpa meneteskan setitik darah pun. Bung karno, begitulah paling senang dia dipanggil, telah memberikan semua bagi negerinya: kedudukan, karier politik sampai bahkan nyawanya demi persatuan, kesatuan dan perdamaian bangsanya. Itulah puncak-puncak kebenaran Soekarno yang untuk selama-lamanya dan tak pernah akan hapus,” tulis Pramoedya.
“Dia-Soekarno- mempersatukan dan memerdekakan negerinya. Dia membebaskan rakyat dari rasa rendah diri dan membuat mereka merasa bangga dan terhormat menjadi orang Indonesia, menjadi satu nasion yang memiliki Republik Indonesia dalam pergaulan masyarakat dunia. Bagi sejumput kecil orang yang jujur dan tajam pandangan, ketidakadilan yang dialami Soekarno sebenarnya sudah lama diketahui, tetapi baru mulai sekarang pada saat kita akan meninggalkan Abad 20. “
“Kejadian dengan Soekarno berangsur mulai terungkap dan dimengerti. Orang mulai mengerti bahwa Soekarno berada di pihak yang benar – dia bersih dari segala kotoran yang telah dilemparkan ke mukanya pada saat dia sudah tak berdaya berada dalam kerangkeng Jenderal Soeharto sampai kepada ajalnya. Pada saat Soekarno bersama Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, cukup banyak politisi dan kaum intelektual Amerika dan Eropa melihat dalam diri Soekarno pembawa sinar pencerahan di negeri-negeri terkebelakang; dia dipandang semacam jelmaan Thomas Jefferson atau Abraham Lincoln,” demikian Pramoedya.
Pramoedya Ananta Toer (Pram), adalah pendukung kebijakan Soekarno dan melawan pihak-pihak yang menentangnya. Makanya, selepas dari penjara Cipinang pada akhir 1960, Pram menjadi Redaktur rubrik Lentera dalam Majalah “Bintang Timur” milik Partai Indonesia (Partindo), partai yang politiknya sejalan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Melalui Lentera, Pram kemudian menyerang para sastrawan yang dianggapnya tidak sejalan dengan haluan Demokrasi Terpimpin. Pram menyebut para sastrawan yang anti-komunisme sebagai anti-manipol dan kontra revolusi. Para sastrawan yang anti-komunisme menggabungkan diri mereka dalam Manifest Kebudayaan yang didirikan pada 17 Agustus 1963 dan menyebut diri mereka sebagai penganut humanisme universal. Pram mengolok-olok Manifest kebudayaan dengan menyebutnya Manikebu. Pram juga mengritisi humanisme universaldan menganggapnya sebagai bagian dari imperialisme-neokolonialisme.
Memang benar, Presiden Soekarno tahun 1965, sangat dekat sekali dengan PKI, meski juga dekat dengan TNI. Tetapi pengaruh PKI sangat mendominasi Presiden Soekarno.
Bagi pemuda Islam, sikap Bung Karno di tahun 1965 telah mengalami perubahan. Dulu, Bung Karno selalu membela organisasi mahasiswa Islam, Himpunan Mahadiswa Islam (HMI), tetapi di tahun 1965 tidak lagi demikian. Bahkan bahwa pemerintahan Soekarno berencana akan membubarkan HMI. “HMI merupakan organisasi anti revolusi,” ujar Bung Karno.
Tetapi, Presiden Soekarno meralat pernyataannya untuk membubarkan HMI. Hal itu dinyatakan kepada Menteri Agama RI Zuhri setelah Menteri Agama RI memprotes sikap presiden dan jika HMI dibubarkan Menteri Agama akan mundur dari jabatannya.
Akhirnya Presiden Soekarno menyatakan: “Baiklah! HMI tidak saya bubarkan. Tetapi saya minta jaminan HMI akan menjadi organisasi yang progresif. Kau bersama Nasution, Ruslan Abdulgani dan Syarif Thayeb harus membimbing HMI.”
Batalnya pembubaran HMI oleh pemerintah menjadikan organisasi-organisasi yang berafiliasi ke PKI berang. Aksi pengganyangan HMI pun tetap berlanjut dengan pengerahan demonstrasi-demonstrasi di berbagai daerah oleh Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan organ-organ kiri lainnya.
Akhirnya Presiden Soekarno berbicara langsung untuk mengatasi masalah ini :
“Saudara-saudara! Sebelum memulai pidato, saya ingin menyampaikan hal berikut ini. Saudara-saudara baru saja mendengar tentang kebijakasanaan pemerintah yang disampaikan oleh Pak Leimena mengenai kedudukan HMI. HMI tidak akan dibubarkan! Karena saudara-saudara telah mendengarkan kebijaksanaan pemerintah, mungkin saudara-saudara ingin pula mengetahui sikap Ketua Partai Komunis Indonesia, saudara Aidit. Dia hadir sekarang di sini. Walaupun dia tidak tercantum dalam daftar yang akan berpidato malam ini, ada baiknya kalau kita mendengar bagaimana sikapnya sebelum saya melanjutkan dengan pidato saya,setuju?!”
Massa menjawab ajakan Bung Karno dengan teriakan “setuju”. Saat dipanggil namanya, menurut Ganis, Aidit sendiri terlihat agak malas saat naik ke atas podium. Namun dia akhirnya berpidato juga di hadapan para anggotanya.
“Kalau pemerintah tidak akan membubarkan HMI, maka janganlah kalian berteriak-teriak menuntut pembubaran HMI! Lebih baik kalian bubarkan sendiri! Dan kalau kalian tidak mampu melakukannya, lebih baik kalian jangan pakai celana lagi tapi tukar saja dengan sarung!.”
Cerita tentang pembubaran HMI ini sudah tentu datang dari konsep PKI. Oleh karena itu, jika PKI tidak dibubarkan Jenderal Soeharto, kita tidak mungkin lagi memperingari Hari Kemerdekaan RI setiap tahunnya, karena boleh jadi PKI yang berkuasa di Indonesia.
Itulah sebabnya, pada hari Sabtu, 12 Maret 1966, Soeharto membubarkan PKI melalui keputusan Nomor 1/3/1966. Keputusan itu menyatakan; pertama, membubarkan PKI termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai daerah beserta semua organisasi yang seasas/berlindung/bernaung di bawahnya; 2) PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Tindakan Soeharto tentu atas nama Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi Soekarno. (Penulis wartawan senior tinggal di Jakarta)