Saya melewati Lebaran haji tahun 2020 dengan berbeda. Jika biasanya membantu panitia kurban, kali ini tidak. Sebab, semua diserahkan pada yang ahli. Warga cukup terima bersih.
Memang, ada kenikmatan silaturahmi yang hilang. Atau minimal, ada hepi yang menepi, karena tidak bisa nyacah-nyacah daging sambil bergurauan. Namun tak mengapa, demi kebaikan semua. Ini bentuk taat dan patuh pada himbauan pemerintah untuk tidak berkerumun semasa pandemi.
Akhirnya, saya membuat agenda yang berbeda. Sejak sehari sebelum hari raya idul adha tiba, saya sudah sibuk memilih baju layak pakai yang sudah tak lagi muat di badan. Atau karena mulai ada baju pengganti sehingga baju lama tak lagi diminiati. Sudah lama saya tak melakukan kegiatan rutin tahunan seperti ini.
Bukan hanya pakaian saya sendiri, namun pakaian anak dan istri. Tradisi ini, memang sudah lama saya lakukan. Bukan ingin merendahkan, mereka yang menerima baju-baju ini, melainkan bentuk keakraban. Bagi orang Jawa, nglungsur baju saudara sendiri adalah hal lumrah terjadi.
Saya paham betul bahwa mendapat lungsuran baju adalah kebahagiaan. Sebab, saya pernah merasakan itu, dulu sekali, saat masih di Nganjir. Dulu, biasanya saya mendapat lungsuran baju dari kakak-kakak, atau sesekali dari saudara di kota. Ada rasa bahagia yang tak perlu disembunyikan.
Dalam tataran yang agak batiniah, nglungsur apa yang dipakai orangtua, saudara tua, atau mereka yang dituakan, adalah upaya meneladani. Atau sekurang-kurangnya, nunggak semi alias mengikuti jejak kebahagiaan orang-orang tersebut.
BACA JUGA: NKS Menulis Jogja: Menjaga Gizi Mahasiswa S2
Maka, selepas sholat Idul Adha 1441 H bersama warga dengan membuat shaf lurus namun tetap menjaga jarak, saya menempuh perjalanan darat Depok-Jogja. Mobil saya penuhi dengan satu tas baju bersih, tiga dus, dan satu koper baju bekas serta sepeda lipat. Mas Tejo yang menyopiri saya kali ini, membantu mengangkat dan menata barang bawaan.
Perjalanan panjang menuju Jogja hanya disela oleh isoma di kota bahari Tegal. Menu yang saya pilih tak lain dan tak bukan adalah sate dan sop kambing. Sate batibul Bang Awi Tegal. Sate yang terasa empuk karena dari daging kambing yang berusia di bawah tiga bulan.
Menu sate dipilih agar tetap terasa bahwa hari itu adalah Idul Adha. Walau sembari makan merasa kasihan, kambing yang belum beranjak dewasa harus disembelih demi empuknya sate dan lezatnya sop.
Jalan masih panjang untuk sampai di Jogja. Saya melihat angka kilometer demi kilometer yang terpasang di pinggir jalan tol. Aplikasi penunjuk jalan saya gunakan untuk memandu Mas Tejo agar tak salah jalan. Kami diarahkan untuk keluar tol Boyolali supaya sampai Jogja lebih dini.
Dan, akhirnya, di pintu petang, sampai. Saat saya melihat jam, sudah lewat magrib. Lega. Saya lega, bisa sampai penginapan yang menyenangkan, sehingga bisa segera bertemu mimpi. Mimpi bertemu teman-teman SMP dalam reuni akbar yang digelar sekolah. Mimpi tentang kenangan cinta monyet yang tak sempat terucap saat di bangku SMP.
Saya tak pernah membayangkan, dulu, mampu mengungkapkan rasa cinta. Sampai saat ini, saya juga selalu ragu membayangkannya. Malu. Saya tahu, pasti wagu sekali saat saya mengatakan aku cinta padamu. Sebab yang saya ingat hanya suara “uuaa uuaa” saking gugupnya.
Begitulah. Daripada selalu malu, mengingat aku cinta padamu yang bunyinya berubah uuaa… uuaa, saat bangun pagi, saya memilih bertemu dengan beberapa rekan Cabang BPJS Ketenagakerjaan Jogja.
Bukan untuk bekerja karena memang hari libur. Agenda pagi itu cukup penting, sayang jika terlewatkan. Oleh rekan-rekan, acaranya disebut gocapan, gowes cari sarapan. Lumayan, dapat tombo kangen, kenyang, dan yang paling penting, bisa mengusir uuaa…uuaaa tadi itu.
Benar. Berangkat dari kantor cabang pukul 06.00 wib meluncur ke arah tempat wajib dilintasi sebagai tempat destinasi. Destinasi pertama adalah Tugu Pal Putih atau tugu golong gilig yang hanya berjarak sekitar 2,2 km.
Jalanan yang masih sepi membuat agak leluasa menikmati jalanan, sambil ngobrol yang kadang sekadar ngobrol ngalor-ngidul. Sekadar saling mengenal lebih akrab. Ini penting buat saya untuk bisa dekat dengan rekan-rekan cabang. Cara mendekat yang tepat: mengajak sehat meski tetap menjaga jarak.
Begitu saja, kami makin dekat, meski tetap dalam protokol jaga jarak. Kami sepakat menanggalkan seluruh jabatan, digantikan rasa persahabatan. Itulah yang kemudian membuat saya agak-agak GR, karena tidak lagi dipanggil Pak, tapi Om. Terdengar segar dan terasa lebih muda.
Memang, gocapan di hari libur, sangat menghibur, jika tak dibatasi oleh kekakuan structural, hubungan atasan dan bawahan. Ini murni menjalani hobi yang menyenangkan tur menyehatkan.
Nah, rekan yang kebetulan tak pulang kampung halaman, atau yang menetap di Jogja dan tak punya kegiatan saya ajak gocapan. Termasuk Om Anto yang kini memasuki masa persiapan pensiun, Om Aria Kepala Cabang BPJAMSOSTEK Boyolali, Om Yudi yang sekitar lima tahun kuliah filsafat di universitas terkenal di Jogja. Juga, tentu saja, beberapa anak muda dengan badan atletis sebagai marshal yang bertugas mengarahkan kemana gocapan akan dibawa.
Tapi ya begitu. Namanya juga di Jogja, rugi jika tidak selfi-selfi. Jadilah, baru dua kiloan dari kantor, kami sudah dipaksa berhenti. Dipaksa oleh suasana ikonik Tugu Pal Putih yang tidak bisa tidak untuk diabadikan.
Di tugu paling legendaris itu, Om Yusuf yang biasanya bertugas sebagai pengemudi, alih profesi menjadi fotograger. Maunya sih, bisa foto dengan berbagai gaya, tapi kami dikejar siang.
Lalu, mas Marshal membawa ke arah Jalan Malioboro. Asem tenan. Mana bisa, membiarkan Malioboro kesepian tanpa diabadikan. Lagi-lagi, kami dipaksa berhenti, foto-foto, senyum-senyum melihat pose yang agak absurd.
Inilah sepotong jalan yang dari dulu ya cuma segitu-gitu, tapi menjadi pusat mimpi semua rakyat Indonesia untuk mendatanginya. Kami memilih berhenti agak lama di titik nol, instagramable itu.
Jika di Tugu Jogja saya mendapati cuplikan sejarah asal usulnya tugu yang dulu berbentuk golong gilig, rasa penasaran muncul ketika saya melewati Jalan Malioboro. Penasaran mengapa namanya mampu menjadi sihir bagi wisatawan. Saya yakin walau sering diplesetkan dengan merk sebuah rokok, tapi bukan dari sana nama itu terbentuk.
Sambil iseng menikmati suasana titik nol yang tentrem, saya menelusuri sejarah nama Malioboro melalui internet. Agak memalukan juga sebenarnya, karena sebagai wong Jogja (meski Jogja bagian Nganjir) kok tidak tahu sejarah nama Malioboro.
Dari beberapa sumber terjawab bahwa ada dua versi yang menguak kisah di balik nama Jalan Malioboro. Versi yang pertama menyebut bahwa nama Malioboro diambil dari nama seorang tokoh militer Inggris, Marlborough.
Tokoh ini diyakini sebagai pimpinan pasukan Inggris yang pernah merampok Kraton Yogyakarta di jaman Sultan Hamengku Buwono II. Oleh karena lidah Jawa yang sulit mengucap kata Marlborough, maka orang menyebutnya dengan Malioboro. Namun cerita ini kurang dapat diyakini keabsahannya oleh banyak ahli sejarah.
Versi lain asal usul nama Jalan Malioboro berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata Malyabhara. Malya berarti karangan bunga dan bhara berarti menyajikan. Upacara penyambutan tamu penting kerajaan seperti pembesar Belanda dari Batavia dilakukan oleh Kraton Yogyakarta dengan memasang lengkungan janur kuning dan dihiasi warna warni karangan bunga (Malyabhara). Kisah sejarah versi ini lebih diyakini oleh sejarawan.
Di ujung Jalan Malyabara itu, saya dan rombongan gocapan berhenti sejenak. Tidak sekadar foto-foto, atau mengintip jejak sejarah nama Malioboro. Di sini, saya juga tergelitik siik-melik yang menjadikan Malioboro bagian dari garis imaginer masyarakat tradisional Jogja.
Rasanya, mereka yang paham Jogja mengetahui, Malioboro bukan sekadar jalan tanpa makna. Sebab ini menjadi bagian dari garis lurus sejak Gunung Merapi, Kraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, dan Laut Selatan.
BACA: NKS Menulis Jogja-2: Ke Imogiri Dibawa Naluri
Sambil sesekali selfi, terus diganti membayangkan ini itu tentang Malioboro, saya masih sempat bercerita tentang perkembangan dan arah ke depan kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan. Arah, agar para pimpinan cabang lebih gagah dan percaya diri berhadapan dengan petinggi Pemerintah Daerah dan lembaga lainnya.
Sudah. Gocapan dilanjutkan menuju Alun-Alun Utara Jogja yang kini dikelilingi oleh pagar besi. Dari arah Jalan Malioboro, saya dan rombongan gocapan berbelok kanan dan tanda-tanda bahwa misi segera tercapai makin kuat: warung Soto Pak Marto Tamansari yang legendaris itu semakin dekat.
Dari cerita rekan-rekan, warung soto ini mulai beroperasi sejak tahun 1960. Soto yang disajikan adalah soto daging sapi yang gurih, segar, dan sangat pas disantap saat gocapan.
Kecap yang disajikan sebagai bumbu soto di Warung Soto Pak Marto tak lain adalah kecap Cap “Ayam” yang merupakan kecap tradisional dan legendaris. Saya baru menemui kecap Cap Ayam yang dikemas dalam botol kecil yang sederhana.
Seperti soto lainya, menu yang menemani soto daging sapi berupa tempe goreng, namun ada pula babat dan iso goreng. Dari rasa yang dominan manis atau sesekali bertemu sedikit asin, saya tahu jika babat dan iso goreng ini dimasak dengan cara dibacem kemudian baru digoreng.
Awalnya babat dan iso itu saya kira tambahan daging sapi, namun karena sudah terlanjur saya pesan, babat dan iso goreng manis asin itu habis juga saya sikat.
Ampun dah. Entah saking enaknya, atau karena suasana Jogja yang nostalgik, tak cukup satu mangkok soto daging sapi saya pesan. Tapi saya agak geragapan begitu sadar, karena sepertinya hanya saya yang menambah satu porsi. Om Anto yang tak biasa sarapan, malah terlihat susah mengunyah pagi-pagi.
Tapi okelah. Sembari sarapan saya menyelipkan pesan bahwa persahabatan harus terus diurus, dijaga agar tak tergerus zaman. Tidak perlu biaya mahal untuk merawat kekancan. Cukup pakai alasan bersepeda, berolahraga, cari keringat, tapi ujung-ujungnya, sarapan pagi dua mangkok soto daging yang memang mak nyus.(bersambung)
Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS