Perilaku penyimpangan oknum pejabat negara yang terlibat kasus korupsi di Indonesia adalah wujud penjelmaan pengingkaran dan penghianatan dari sumpah jabatan yang dilahirkan dari proses demokrasi. Oleh sebab itu oknum oknum pejabat tersebut telah dengan sengaja memisahkan antara doktrin dalam ajaran dogma- teologi dengan pemerintahan-prilaku kehidupan sosial dan logika logika berpikirnya.
Akibat dari penghianatan terhadap sumpah jabatan yang diucapkan oknum pejabat negara yang terlibat kasus korupsi dan sudah membawa hukum Tuhan sebagai saksi atas sumpahnya, maka perilaku tersebut dapat dikatakan sebagai perwujudan sekulerisme sejati.
Demikian kata Doktor Edi yang konsen dan fokus pada keilmuan bidang Hukum Pidana Ekonomi dan HAKI alumni PDIH Undip Semarang ini. ” Bahwa penyimpangan perilaku yang melangar ajaran dalam teologi berisi ajaran norma agama, semestinya tidak dapat dipisahkan karena ajaran teologi secara alami wajib melekat pada diri pejabat negara, “katanya dalam keterangannya, Senin (6/7).
Dr. Edi Ribut Harwanto, SH,M.H.Kepala Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Muhammadiiyah Metro menuliskan dalam kajian hukum yang diterbitkannya dalam Buku edisi ke-4 Juni 2020.
” Lihat teks sumpah para pejabat negara, diawal sumpahnya membawa nama Allah. “Demi Allah saya bersumpah….. ” artinya dari kalimat tersebut secara langsung sudah melibatkan dogma dan teologi sebagai ajaran Ketuhanan. Oleh sebab itu cara pandang dalam mengatur tata pemerintahan, berprilaku, dalam memimpin rakyat harus mencerminkan ajaran teologi yang berke-Tuhanan,”paparnya.
Ditambahkannya,” Ketika kata sumpah di ucapkan, dan diatas Kepala pejabat tersumpah ada Alqur’an dimaknai agar para pejabat negara beraga Islam wajib tunduk dan taat terhadap seluruh isi dan kandungan yg difirmankan oleh Allah. Jangan ketika janji sumpah jabatan berlalu, maka diangap selesai dan sebatas sebagai seremoni formal yang tiada arti. Lalu perilaku liar kembali tabiat aslinya, ketika sudah menjabat maka ajaran dogma dan teologi ditngalkan.”
Selanjutnya ia mengokohkan logika logika berpikirnya, merasionalisikan akal pikiranya dengan paradigma positivismnya, bahwa hukum Negara adalah hukum yang paling sempurna.
” Dari uraian diatas, adalah bagian dari isi dari sebagian dari kajian buku edisi ke-4 yang saya tulis dan telah diterbitkan publishing. Buku tersebut mencoba mendiskripsikan secara obyektif dan deskriptif terhadap fonomena kondisi kondisi prilaku sekulerisme oknum oknum pejabat negara yang terlibat korupsi di NKRI. Pejabat korupsi adalah penghianat sumpah jabatan yang secara tidak langsung telah mngingkari hukum Allah yang telah ia ucapkan dan mencoba memisahkan ajaran teologi dengan urusan negara. Agama dan negara tak Bisa dipisahkan, keduanya saling mengisi, agama mengajarkan kendali moralitas pemimpin negara yang berada mngikat pada tiap pribadi pribadinya dan negara berada terpisah dari pribadi tetapi tetap berada pada kontrol pribadi pribadi pemimpin tersebut, “kata Doktor Edi kepada wartawan di Jakarta.
“Lalu, melupakan ajaran teologi sebagai dasar dasar keilmuan dalam berprilaku, memimpin rakyat, berkeadilan, persatuan ,sejahtera makmur, damai,”tandasnya.(dohand)