Oleh : Idam Sulastri Telaumbanua
Bertambahnya jumlah penduduk kini berimbas dengan peningkatan kebutuhan sarana transportasi yang pada akhirnya mempengaruhi jumlah kebutuhan bahan bakar, namun ketersediaan bahan bakar tidak terbarukan ini semakin menipis dan sudah tidak bisa diandalkan di masa yang akan datang.. Dapat dilihat bahwa kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia setiap hari semakin meningkat. Berdasarkan BP Statistical Review of World Energy 2016, konsumsi minyak di Indonesia terus meningkat dari tahun 2008 sampai 2014 dan mengalami penurunan di tahun 2015 sebesar 2,864%, namun konsumsinya masih tinggi sebesar 1,628 ribu bpd.
Produksi minyak bumi di Indonesia pada tahun 2006 sampai 2015 lebih rendah dibandingkan konsumsi minyak bumi yaitu sebesar -52,625% (2014) dan -51,781% (2015). Salah satu produk turunan minyak bumi adalah bensin, dimana bensin merupakan energi fosil yang tidak dapat diperbarui.
Seiring berjalanya waktu dan perkembangan teknologi, kini banyak inovasi-inovasi baru yang bermunculan, terutama dalam bidang produksi bahan bakar yang dapat diperbaharui.
Mengingat Indonesia yang merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia maka tak lepas dari sumberdaya hayati yang dimiliki sangat berpotensi untuk dikembangkan salah satunya ialah rumput laut. Rumput laut merupakan salah satu sumber devisa negara Indonesia dan sumber pendapatan bagi masyarakat pesisir. Rumput laut biasnya digunakan digunakan sebagai bahan makanan, minuman dan obat-obatan, beberapa hasil olahan rumput laut seperti agar-agar, Selain itu rumput laut merupakan salah satu jenis bahan yang berpotensial untuk dijadikan sebagai bahan baku dalam produksi bieotanol, dikarenakan rumput laut mengandung galaktan sebanyak 54,4% dan selulosa sebanyak 19.7%.
Selain bisa menjadi pengganti BBM, bioetanol juga mampu sebagai Octane Booster, artinya alkohol mampu menaikkan nilai oktan dengan dampak positif terhadap efisiensi bahan bakar dan menyelamatkan mesin. Fungsi lain adalah oxigenating agent, yakni mengandung oksigen sehingga menyempurnakan pembakaran dengan efek positif meminimalkan pencemaran udara. Bahkan berfungsi sebagai Fuel extender, yakni menghemat bahan bakar fosil. Campuran bioetanol 3% saja, mampu menurunkan emisi karbonmonoksida menjadi hanya 1,35%.
Bioetanol merupakan salah satu jenis biofuel yang hadir sebagai bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan dan sifatnya yang terbarukan dan telah mendapat perhatian transisi ke ekonomi rendah karbon.
Bioetanol dapat dibuat secara fermentasi oleh khamir S.cervisiea dari bahan polisakarida yang dimiliki oleh rumput laut yang terlebih dahulu harus dilakukan tahapan sakarifikasi. Polisakarida yang terdapat dalam rumput laut tersebut ialah berupa selulosa. Selulosa yang dihidrolisis secara sempurna akan menghasilkan monomer selulosa yaitu berupa glukosa, dalam hidrolisis selulosa menjadi glukosa media yang digunakan ialah air dan dibantu dengan katalis asam atau enzim.
Dan dengan optimasi metode sakarifikasi terhadap bahan baku dan kandungan utama yaitu selulosa dapat meningkatkan produksi dari bioetanol.
Meninjau hal tersebut banyak keuntungan yang didapatkan dari pemanfaatan rumput laut sebagai bahan baku dalam pembuatan bioetanol selain dapat diperbaharui dan ramah terhadap lingkungan, bahan bakunya juga mudah didapatkan, Hal tersebut dapat menjadi salah satu peluang Indonesia dalam peningkatan nilai sumber daya alam yang dimiliki maupun sumber daya manusia. (Penulis, Mahasiswa Jurusan Kimia Fakultas Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Palangka Raya)