General Manajer (GM) PT PLN Kalselteng, Sudirman, menegaskan, lonjakan pembayaran listrik pada Bulan Mei 2020, bukan karena tarif listrik naik. Tapi disebabkan oleh kurang catat tagihan oleh PLN atas pemakaian daya yang meningkat pada saat stay at home sejak bulan Maret dan bulan April serta kondisi sahur pada bulan ramadhan.
Kekurangan catat tersebut, karena PLN pada Bulan Maret dan April menerapkan pola tagihan dengan “perkiraan rata-rata” pemakaian listrik sebelum masa pandemi corona, dan baru pada Bulan Mei petugas PLN melakukan pencatatan secara langsung ke meter Kwh yang ada dirumah pelanggan.
Pada pencatatan langsung ditemukan selisih angka Kwh dengan perhitungan rata-rata. Kemudian selisih kekurangan catat meter itu diakumulasi pada bulan berikutnya sehingga terjadi pembengkakan.
” Seiring adanya keputusan presiden, dan penerapan pembatasan bagi aktivitas sosial bagi masyarakat, PLN pusat kemudian memutuskan aturan untuk pencatatan meter Kwh dengan cara penghitungan rata-rata dimulai Bulan Maret dan April, dengan melihat pemakaian 3 bulan kebelakang,” ujar GM PT PLN Kalselteng, Sudirman, dalam paparan dihadapan Komisi III DPRD Kalsel, di Banjarmasin, Selasa (9/6/2020) petang.
Menurut dia, keputusan diatas memang sudah disosialisasikan baik ke media massa maupun media sosial serta juga diinformasikan kepada pelanggan seluruhnya, termasuk cara pencatatan langsung kerumah pelanggan yang dimulai pada Bulan Mei seperti sebelum pandemi corona.
“Jadi Bulan Mei ini kita lakukan pencatatan secara langsung dan tagihanya akan terbit di Bulan Juni ini,” kata Sudirman.
Yang dimasalahkan lanjutnya, adalah mengapa ada kenaikan pemakaian listrik ?. Itu karena PLN melihat selain masa covid, tapi setiap tahun jika masa bulan ramadhan khususnya pelanggan RT, memang penggunaan daya naik, karena biasanya tidak ada kegiatan sahur, tapi ada sahur sehingga konsumsi naik.
Kemudian, masyarakat sudah banyak stay at home, FWH, sehingga pemakaian naik.
Mekanisme pencatatan meter dengan sistem “rata-rata” pada bulan Maret dan April, kemudian ditindaklanjuti dengan pencatatan langsung pada meteran rumah pelanggan pada Bulan Mei.
Ternyata ada selisih pemakaian yaitu , Bulan Maret dan April yang kurang catat, sehingga penjumlahan selisih itu diakumulasi pada bulan Mei, yang kemudian ada kenaikan yang harus dibayar oleh pelanggan.
Sedang solusi yang diberikan PLN yaitu pelanggan membayar dengan cara mencicil selama tiga bulan dengan jumlah selisih masing-masing penggunaan.
” Kalo untuk tarif listrik kita tidak ada peluang untuk menaikan, dan sejak tahun 2017 sampai sekarang tarif sama dan tidak ada yang naik,” tegas Sudirman.
Dia menjelaskan posisi jumlah pelanggan PLN Kalselteng yaitu sebanyak 1.929.025 pelanggan.
Khusus Kalsel, sebanyak 1. 265 218 dengan pelanggan rumah tangga (RT) sebanyak 545.000.
Adapun sesuai aturan yang diterbitkan PLN pusat, pelanggan yang kena beban kenaikan rata-rata diatas 20 persen khusus diKalsel sebanyak 82.035 pelanggan.
Sudirman juga menginformasikan, untuk di Kalsel, terdapat jumlah masyarakat penerima listrik gratis berdaya 450 Kva, sebanyak 423.255 pelanggan, dan berdaya 900 Kva, sebanyak 84.807 pelanggan. Sehingga total pelanggan gratis sebanyak 508.062 pelanggan.
Dalam rapat pembahasan di pimpin Ketua Komisi III, dan sempat di buka Ketua DPRD Kalsel, H Supian HK dan juga dihadiri Wakil Ketua DPRD Kalsel, M Syaripuddin pada sore hari itu, hampir semua anggota dewan merasa tidak puas atas paparan petinggi PLN. Karena selain pencatatan meter Kwh secara”kira-kira” ditambah pengenaan beban hingga 20 persen lebih.
” Ini tidak boleh terjadi, mengapa menghitung pakai kira-kira, sehingga rakyat jadi punya hutang,’ tegas H Hormansyah.
Senada koleganya, Agus Mawardi, menyorot tajam, mengapa tidak menurunkan petugas catat meter langsung. Padahal meski ada aturan PSBB dan sosial distanc, petugas PLN bisa saja melakukan kerja mencatat kerumah, karena saat mencatat meter petugas hanya diluar rumah pelanggan, dan tidak juga harus bertemu dan berkomunikasi dengan pemilik atau pelanggan.
” Mesti ada PSBB dan sosial distan, kan petugas bisa dengan cara standar covid-19, kerja mencatat, dan bukan dengan cara kira-kira yang akhirnya menimbulkan masalah besar,” tandas Agus Mawardi. (Ipik)