Cerita tak biasa ada di hari pertama di Kota Corvallis. Ini tentang matahari, tentang pagi, dan siklus yang membuat mules. Di kota yang berada di negara bagian Oregon State itu, pagi datang kelewat cepat.
Pagi yang datang pagi-pagi, membuat ritme hidup ikut berubah. Saya harus menyeting ulang kebiasaan di Indonesia yang terbiasa dimanja oleh suasana. Untung tubuh saya yang ndeso, yang biasanya susah beradaptasi secara cepat, tidak kagok, kaget, dan mogok.
Semua dimulai dari musim yang total menjadi soal. Di Corvallis, musim panas membuat matahari lebih senang berlama-lama di atas bumi. Datang terlalu pagi, pergi saat malam menjelang.
Setelah sholat subuh dan makan pagi, saya teringat koin dari Jakarta. Koin, bekal dari Mbah Fitri Amanda. Saya takjub dengan naluri beliau, yang detail, sampai urusan koin ada dalam catatan antisipasi. Dan pagi itu, saya memang butuh koin untuk menghubungi host family. Tahun 1995, jangan membayangkan saya sudah punya handphone.
Di pagi yang belum beranjak pergi, saya mesti menghubungi Rita Powell, ibu baru saya di Amerika. Saya tak tahu siapa keluarga yang akan menjadi host family, kecuali sekadar tahu nama keluarga ini. The Powell Family.
Aturannya memang seperti itu. Saya tidak punya hak untuk memilih pada keluarga mana akan tinggal. Tapi saya yakin mereka orang yang baik. Oregon State University menyeleksi siapa yang layak menjadi host family.
Di sisi host family, mereka pun tidak punya hak memilih siapa dan dari negara mana mahasiswa yang akan tinggal bersamanya. Mungkin tak terbayang pula jika akhirnya The Powell Family itu mendapatkan saya sebagai anak asuhnya. Wong ndeso yang nggak tahu banyak kehidupan orang Amerika.
Jadilah, sejak hari itu, dimulailah serangkaian kekikukan. Inilah gegar budaya yang sesungguhnya. Semua membuat saya kaget, terpana, terkagum-kagum, orang kampung yang ngungun.
BACA JUGA NKS Menulis Corvallis-1: Tirakat hingga Amerika Serikat
Saya kagok, membayangkan cara hidup bersama keluarga baru itu. Tapi tak lagi punya persiapan, saya sudah harus bertemu dengan bule, orangtua saya selama di Amerika, jam 10 pagi kurang sedikit.
Jam 9.45 waktu Covallis, saya dijemput oleh Ibu baru saya yang ya ampun, bule beneran. Saya sampai kaget sekaget-kagetnya, melihat ibu yang begitu ramah. Lebih kaget lagi, saya langsung mendapat pelukan gaya Amerika. Iki piye. Saya harus bersikap bagaimana, mendapat pelukan hangat seperti itu, wong ya memang tidak biasa.
Peluk erat Rita, adalah cara menyambut kedatangan anak lelaki yang sudah lama ditunggunya. Saya berusaha meredakan deg-degan, dengan menggantinya dengan rasa nyaman. Ah, ya lumayan, meski potongannya tetap Nganjir, tapi saya sudah jadi orang Amerika. Hahahaha…
Tapi ya gitu, penyakit ndeso saya langsung kambuh. Mendapat pelukan Rita yang asli bule, saya teringat pelukan simbok saat saya pulang kampung ke Kulon Progo. Bedanya ibu baru saya ini bule, bermata biru, modern, dan tentu saja kaya. Berbeda dengan simbok, yang wong nggunung, matanya kecil, jauh dari modern, serta hidup serba prihatin sejak saya kecil.
Orang kaya, memang menjadi salah satu syarat yang ditulis OSU untuk tampil sebagai host family. Selain itu, rumah mereka memungkinkan untuk menampung mahasiswa yang akan datang. Dan, sepertinya ada kriteria menerima dengan ketulusan bermacam perilaku anak barunya yang berasal dari berbagai latar belakang budaya.
Beruntungnya saya di saat tidak ada orang Indonesia yang menjawab email yang saya layangkan ke Persatuan / Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat (Permias) yang mungkin karena liburan summer, saya justru bertemu ibu baru. Ibu yang tahu bahwa anak lelakinya perlu dibimbing agar bisa hidup dan beradaptasi di lingkungan baru.
BACA NKS Menulis Corvallis-2: Nganjir, Mimpi Pertama di Amerika
Sepanjang perjalanan dari hotel kecil di Corvallis menuju rumah The Powell Family di daerah Albany, saya dan Rita saling menceritakan siapa diri, keadaan di Indonesia dan seperti apa di Amerika.
Keterbatasan saya dalam berbahasa Inggris membuat Rita sering meminta saya mengulang apa yang saya bilang lalu saat tahu yang dimaksud ia mengoreksi bagaimana seharusnya mengucapkannya. Maklum bahasa saya dialeknya Jonglish, Jowo English.
Rita meminta dipanggil nama saja tanpa ada embel-embel ibu. Wah ya susah. Saya sudah pasti kesulitan memanggil ibu saya hanya dengan nama saja. Tapi itulah unggah-ungguh khas bule. Sama sekali berkebalikan dengan toto kromo Jowo.
Rita bercerita, dulunya seorang dosen di OSU. Mengajar dance atau menari. Tidak tanggung-tanggung, Rita menyandang gelar Phd di bidang tari. Namun, karena ada masalah di kakinya, Rita berhenti mengajar.
Cerita berpindah mengenai keluarga. The Powell Family terdiri dari empat anggota keluarga ditambah 2 ekor anjing greyhound dan seekor kucing kesayangan. Edward Powell adalah ayah bule saya yang tak lain suami dari Rita, yang panggilannya sesuai kebiasaan orang Amerika bahwa Edward dipanggil dengan sebutan Ted. Ted memiliki usaha yang sukses dan produknya dieksport. Rita dan Ted memiliki dua orang putri bernama Summer dan Brittany. Tentu mereka memiliki last name Powel, sehingga keluarga bahagia itu disebut The Powell Family.
Summer puteri sulung sudah tidak tinggal lagi di rumah namun bekerja dan merintis usahanya di wilayah timur Amerika. Sementara Brittany (saya menyebutnya selalu tidak pas), kala itu masih tinggal bersama mereka, bersekolah di SMA yang di tahun depan akan kuliah di OSU juga. Hobi Brittany adalah menunggang kuda dan ia memiliki kuda kesayangannya yang dititipkan di ranch yang setiap akhir pekan ia kunjungi.
Sementara dua anjing berjenis greyhound bernama Nelson dan Woody. Mereka sangat penurut, jenis anjing ini adalah ras anjing untuk balapan. Dan memang, Nelson dan Woody adalah mantan atlit balap yang telah pensiun. Rita dan Ted kemudian mengadopsinya.
Sementara saat giliran saya bercerita, dengan antusias saya mengisahkan berbagai hal tentang diri dan tentang Indonesia, walau kadang Rita tak selalu paham kata yang keluar dari mulut Jawa ini. Saya tak cerita jika asal saya dri dusun Nganjir, karena saya takut diminta menjelaskannya di mana letaknya di peta dunia.
Saya berkisah tentang keluarga dan beratnya meninggalkan bayi mungil putri pertama yang saya beri nama Vallisa. Tampak terheran saat saya ceritakan alasan mengapa diberi nama itu. Nama yang diambil dari kota tempat ayahnya akan bersekolah.
BACA NKS Menulis Empat Tahun Menjabat-1: Sepuluh Menit yang Menentukan
Saya bercerita tentang Islam sebagai agama yang saya anut dan apa yang bisa saya makan dan apa yang pantang. Tentu hal ini penting saya ceritakan mengingat saya akan tinggal bersama mereka tiga hari ke depan. Saya cerita tentang sholat lima waktu yang mesti saya jalankan dan hal-hal yang fardu.
Sesampai di rumahnya, saya diarahkan untuk menempati salah satu kamar yang tertata sangat baik. “You will stay for three days here. So, please make the place feel like home”, kata-kata Rita saat menyilahkan saya untuk menempati kamar. Kata lembut yang membuat saya teringat simbok di Nganjir persis saat saya pulang kampung.
Sejurus kemudian, Rita sudah sibuk membuat masakan. Pasti memasak yang terenak bagi anak lanang yang baru datang. Saya tak mau tinggal diam dan tak ingin dicap anak yang tak tahu diri, maka saya membantu sebisanya sambil belajar bagaimana bule memasak.
Rita bertanya saya bisa masak atau tidak yang langsung saya jawab tidak bisa. Sementara orang Amerika, laki atau perempuan pandai untuk memasak. Termasuk Ted yang pada gilirannya akan masak spesial untuk saya.
Setelah makan siang, saya ditunjukkan berbagai ruangan dan fasilitas yang ada di rumah termasuk cara pengoperasiannya. Belum semua ruangan ditunjukkan karena memang rumahnya besar. Bahkan ada back yard yang luas yang saat itu Woody dan Nelson sedang bermain lari-larian.
Tentu saya juga ingin lari juga melihat anjing greyhound, tapi ternyata mereka sangat nurut dengan majikannya. Dan, yang membuat saya kagum adalah Woody dan Nelson paham bahasa Inggris. Ini terbukti saat Rita berkata, “Woody dan Nelson sit”, mereka lantas tak lagi mengejar saya namun mereka duduk manis menuruti perintah tuannya.
Setelah orientasi lingkungan rumah saya lakukan walau belum tuntas, saya lantas berkemas untuk ijin merajut mimpi melalui tidur siang. Rita sangat paham bahwa selain saya lelah, beda waktu antara Jakarta dan Albany yang berkebalikan dimana siangnya Amerika adalah malamnya di Indonesia membuat rasa kantuk luar biasa.
Tiga jam kurang lebih saya tidur pulas bahkan tanpa diselingi mimpi. Ketika bangun, waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 waktu Albany. Saya mendengar keramaian di luar kamar dan saya menduga itu suara Ted, Rita dan Brittany. Saya putuskan untuk mandi membersihkan badan sebelum bergabung dengan mereka.
Ternyata Ted yang kebagian tugas masak sore itu. Lalu saya nimbrung dan saling mengenalkan diri ke Ted dan juga Brittany. Walau dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, saya mencoba meladeni pembicaraan walau kadang saya harus meminta dijelaskan artinya dengan kata yang lebih sederhana.
BACA NKS Menulis Empat Tahun Menjabat-2: Ini Weling Penting Simbok
Mereka heran dengan nama saya yang hanya satu kata. Orang Amerika pasti memiliki minimal first name dan last name. Saya sampai harus berkali-kali menjelaskan bahwa nama dengan hanya satu kata itu biasa di Indonesia. Bahkan presiden pertama dan presiden kedua Indonesia juga namanya hanya satu kata yaitu Soekarno dan Soeharto.
Saya tidak sadar bahwa pertanyaan Rita dan Ted tentang nama dengan hanya satu kata itu ternyata menyulitkan kehidupan saya selama tinggal di Amerika. Mengurus apa saja pasti ditanyai tentang first name dan last name, dan saya tak memilikinya. Entah lah apakah pemberian nama oleh paman saya dahulu itu masuk first name atau last name, saya kira malah bukan dua-duanya.
Perbincangan saling untuk mengenal ternyata lebih seru lagi ketika makan malam tiba. Termasuk mengenai rencana besok akan kemana, ternyata sudah dirancang dengan baik oleh Rita. Yang saya kagum tentunya hobi Brittany menunggang kuda dan ia memiliki kuda untuk hobinya ini.
Karena masih di musim panas, selesai makan malam matahari masih menampakkan diri. Lantas saya diajak Ted untuk membakar lemak sejenak dengan membawa Woody dan Nelson jalan-jalan. Woody dan Nelson sudah mulai mengenal saya dan seolah paham bahwa saya tak ingin terlalu dekat dan harus menjaga jarak aman (semacam social distancing) sehingga mereka tak mengendus-endus.
Woody dan Nelson sore itu berjalan sangat cepat yang kadang saya perlu sedikit berlari mengikuti geraknya. Seolah mereka mengatakan pada saya bahwa mereka dulunya atlit yang sering menang dalam lomba balap anjing antar negara bagian. (bersambung)
Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS