Dan, berita bahagia itu datang. Dari Kota Corvallis, Oregon State, kebahagiaan mengalir hingga Nganjir, kampung saya yang ndeso itu. Sebab, berita ini langsung saya siarkan ke orangtua serta keluarga, setelah kepada istri.
Saya mulai membayangkan kota kecil di wilayah paling barat negara bagian dari Amerika Serikat itu.
Kebahagiaan saya terasa genap, hari-hari itu. Terasa, ada dua anugerah yang menghampiri secara nyaris bersamaan. Selain mendapat universitas di Oregon State University, saya juga akan menjadi seorang ayah. Walau memang ada hal yang tak ringan mesti disandang karena tak lama dari kelahiran puteri pertama, saya mesti terbang jauh untuk meraih angan.
Sebelum berangkat ke Amerika Serikat, persiapan saya lakukan dalam suasana hati berdebaran. Maklum. Ini adalah pertama kalinya, saya naik pesawat terbang selain pertama kali pula ke luar negeri.
Saya tak tahu apa-apa tentang perjalanan ke luar negeri. Saya tak tahu bagaimana check in, melewati imigrasi, melewati bea cukai, mengambil bagasi, dan hal ribet lainnya. Yang saya hanya tahu, jika ingin masuk ke tempat yang baik, melangkahlah dengan kaki kanan terlebih dahulu. Dan, itu yang saya lakukan setelah meninggalkan rumah. Melangkah dengan kaki kanan.
Tapi ya begitu. Meski sudah melangkah dengan kaki kanan, masih ada deg-degan. Suasana bertambah runyam bagi saya yang tak memiliki teman berangkat bersama. Sementara rekan saya yang lain berombongan berangkatnya saat menuju Boulder.
BACA JUGA NKS Menulis Corvallis-1: Tirakat hingga Amerika Serikat
Saya mesti bertanya dari orang yang sudah punya pengalaman dan yang rela membaginya. Beruntung di Kementerian Keuangan saat itu ada Mbak Fitri Amanda yang dengan sabar menjawab setiap tanya sekalipun pertanyaan naif dari orang ndeso yqng ingin maju sepertinya.
Dari Mbak Fitri saya paham istilah bagage claim, custom declaration, take off, buckle up, cabin, atau istilah lain serta apa yang mesti dilakukan. Banyak saya berguru kepada Mbak Fitri tentang kehidupan kampus ataupun kehidupan orang-orang Amerika pada umumnya.
Komunikasi pada tahun 1995 lebih banyak dengan surat menyurat secara tradisional karena email baru mulai dikenal. Beberapa surat saya terima dari Oregon State University (OSU) berisi berbagai informasi tentang lokasi kampus, cuaca, ketersediaan dormitory atau asrama beserta harga sewanya, transportasi yang tersedia, hotel dan semacam apartemen di sekitar kampus, dan sebagainya.
Sebuah informasi menarik lain adalah mengenai adanya program tinggal bersama host family selama tiga hari. Dalam hal ini, OSU bekerja sama dengan para volunteer membantu mahasiswa baru dari luar negeri selama tiga hari orientasi lingkungan kampus dan mengenal kehidupan dan budaya orang Amerika.
Saya mendaftar program tinggal bersama host family ini. Saya yakin tidak sembarangan keluarga yang dapat menjadi host family. Pasti telah melalui seleksi.
Berat meninggalkan seorang bayi yang masih berusia dua minggu yang sepakat kami beri nama Vallisa yang berasal dari kata Corvallis, sebuah kota tempat OSU berada. Bahkan saat berangkat, belum sempat untuk membawa foto ibu dan bayi Vallisa karena memang belum ada fotonya.
Jangan dibayangkan jaman sudah seperti sekarang yang sudah ada smartphone. Sebagai gantinya, saya membawa foto dua keponakan bernama Vivi dan Ani yang lucu, putri Mbak Sumarti, kakak perempuan saya. Dua ponakan ini, termasuk yang dekat dengan saya ketika kuliah di Bandung.
Lagi-lagi saya diantar hingga bandara dan juga disangoni oleh Mas Kasam dan Mbak Sukemi yang sudah membantu saat kuliah S1. Mertua juga turut serta namun bayi mungil Vallisa tentu tidak bisa mengantar dan tetap tinggal di rumah mertua di Cirebon.
Penerbangan panjang saya mesti jalani sendiri tanpa satu teman pun. Perjalanan lebih dari 20 jam seolah menjawab doa wong ndeso saat kecil yang ingin dapat naik pesawat. Tuhan bahkan memberi berlebih dari sekedar doa agar dapat naik pesawat.
Boarding dari Bandara Internasional Sukarno Hatta, Jakarta, transit di Jepang lalu transit di San Fransico. Di San Fransisco saya harus melalui antrian panjang keimigrasian. Kemudian dengan berganti pesawat domestik, saya melanjutkan perjalanan menuju bandara di Eugene, Oregon.
Perjuangan belum berakhir. Saya masih harus menempuh perjalanan darat sekitar satu jam menuju Corvallis. Saat sebelum keluar dari bandara Eugene, saya melongok jam dinding. Pukul 02.00 dini hari waktu Oregon.
Tak ada pilihan lain. Transportasi yang tersedia hanya taxi pada jam segitu. Tahun 1995 belum ada transportasi on line seperti Uber atau Grab. Lagi pula saya juga belum memiliki handphone.
OSU sudah memberi informasi perkiraan ongkos taksi dari Eugene ke Corvallis sehingga saya agak tenang dan punya referensi berapa uang yang mesti saya siapkan. Di dalam taksi, saya mencoba untuk berkomunikasi mempraktekkan kemampuan bahasa Inggris yang terbatas. Dan, sampailah saya di hotel kecil yang sudah saya pesan dan membayar ongkos taksi yang tak jauh dari informasi dari OSU.
Setelah check in, saya tak bisa langsung rebah walau badan terasa lelah. Saya perlu mandi setelah perjalanan panjang lintas benua. Tak lama setelah berganti baju, saya terlelap pulas.
Dalam tidur di hari yang sudah hampir pagi itu saya sempat bermimpi. Mimpi yang mirip dengan sewaktu masih di dusun Nganjir tentang keinginan naik pesawat untuk pergi jauh.
Dan, saat terbangun saya mencium bau sarapan pagi yang berbeda dari biasanya. Ternyata saya sudah di hari pertama di kota Corvallis, Oregon. Tempat topo broto lan ngangsu kawruh dua tahun ke depan. (bersambung)
Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS