Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
SECARA yuridis konstitusi memberikan jaminan yang pasti, tentang kebebasan berpendapat Ketentuan Pasal 28 E ayat (3) UUD NKRI Th 1945 memberi kepastian tentang hal dimaksud. Isinya bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Hanya turunan sebagai aturan pelaksana kemudian diterjemahkan sesuai kepentingan siapa yang menafsirkan.
Sesuai dengan kepentingan inilah mencuat kasus menghebohkan dunia akademik yang menimpa seorang akademisi (dosen) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Saiful Mahdi Ph.D. Ia dinyatakan terbukti melakukan pencemaran nama baik dengan vonis 3 bulan penjara dan denda 10 juta rupiah subsider 1 bulan kurungan. Kasusnya sederhana, tetapi bisa menimpa siapa saja. Ia menyebarkan kalimat melalui WAG (Whats Ap Group), dosen di lingkungan Fakultas Teknik di Universitas dimaksud. Isinya tentang proses penerimaan dosen yang tidak sesuai menurut pandangannya.
Substansi UU ITE
Menurut ketentuan UU ITE, apa yang menjadi materi dalam WAG akan bermasalah jika ada anggota group yang merasa tersinggung kemudian ia lapor pihak berwajib. Hal ini mengingat bahwa WAG sifatnya tertutup, terbatas pada anggota itu saja. Oleh karena itu dipastikan ada yang melaporkan dirinya, dan kemudian dilakukan penyidikan sampai dengan proses pengadilan hingga dijatuhi vonis sebagaimana dimaksud. Pelapor dalam hal ini adalah Dekan FT Unsyiah.
Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Sebagai sebuah putusan, tentu saja akan mengundang pro dan kontra. Itulah refleksi dari penerapan hukum dalam proses yang sudah berlangsung. Bagi yang pro dengan putusan, khususnya yang melakukan pelaporan, tentu saja putusan itu sudah mencerminkan nilai keadilan.
Namun bagi banyak kalangan, putusan itu diniai sebagai putusan yag tidak adil. Alasannya, karena pasal 27 ayat 3 UU ITE yang biasa disebut dengan “pasal karet” ini mengandung interpretasi yang mulur mengkeret bagaikan karet. Apalagi jika diterapkan oleh pihak yang tak paham soal dunia maya. Selain itu, pasal dimaksud juga bisa digunakan dengan mudah untuk menjerat orang-orang untuk membungkam kritik. Nampaknya dosen ini juga terkena pasal demikian, yang kemudian menjadikannya sebagai pesakitan dan dijatuhi hukuman sebagaimana disebut.
Oeh karena itu berbagai kalangan menilai bahwa ketentuan pasal ini tidak sesuai dengan semangat memberikan kritik, dan tidak sejalan dengan roh atau jiwa yang harus dipertahankan yaitu kebebasan untuk berpendapat atau berekspresi.
Tetap Berlaku
Namun demikian secara praktis tentu saja ketentuan dalam pasal 27 ayat 3 di UU ITE tersebut tidak mungkin dihapuskan. Ia tetap berlaku, sebab secara substgantif jika pasal tersebut dihilangkan, efek jera terhadap para pelanggar hukum akan hilang. Menurut yang pro, bahwa pasal tersebut memiliki peran besar dalam melindungi transaksi elektronik khususnya di dunia maya. Namun, hanya saja dalam penerapannya kemungkinan bisa saja terjadi kesalahan. Dengan demikian yang tidak pas bukan pasal 27 ayat 3-nya, melainkan adalah penerapan dari pasal 27 ayat 3 tersebut
Dalam perkembanganya ketentuan itu memang banyak makan korban, dan dijadikan sebagai semacam senjata untuk membungkam siapa saja yang tidak sependapat dengan dibuatnya suatu kebijaksanaan atau pelaksanaan suatu kebijakan. Kemudian ada yang melakukan kritik, atau bahkan sekadar sebuah koreksi. Namun demikian jika koreksi atau kritik itu tidak berkenan di hati si pembuat, apa lagi ia punya kekuasaan besar dapat saja kemudian diperkarakan dengan ujung dijatuhinya sanksi.
Selaras degan kebebasan berekspresi, maka kiranya kasus yang menimpa dosen Unsyiah ini hendaknya yang terakhir. Sedemikian santer disuarakan untuk melakukan revisi terhadap ketentuan UU dimaksud. Hiruk pikuk penanganan virus korona rupanya menjadi ganjalan tersendiri bagi revisi ketentuan pasal itu. Apa lagi secara praktis revisi juga tidak menjadi skala prioritas atau daftar yang ada di Badan Legislasi (Baleg) DPR, sehingga secara praktis kritik yang dialamatkan kepada ketentuan pasal itu masih sebatas wacana atau kritik semata.
Pada perspektif lain, ketentuan yang merupakan pasal karet itu bisa saja menimpa pihak yang tak paham soal dunia maya. Hal ini menjadi catatan, sebab esensi dari suatu perbuatan intinya adalah tergantung dengan niat. Seringkali hal yang semula dimaksudkan sebagai keisengan kemudian berubah menjadi serius dan bahkan berujung musibah dan harus berurusan dengan hukum manakala kemudian alamat yang dikritik tidak bisa menerima hal itu sebagai kritik.
Kasus yang pernah mengghebohkan, adalah keetika ada dua putusan bebas pada dua kasus yakni Putusan 1269/Pid.B/2009/PN.TNG dan 822K/Pid.Sus/2010 (Kasus Prita Mulyasari, 2010) dan Putusan No 314/Pid.B/2015/PN.KRS (Kasus Joko Hariono, Pengadilan Kraksaan, 2016). Kedua kasus tersebut dikenakan pasal serupa (Pasal 27 ayat 3 UU ITE), di media email grup dan Facebook grup, dan dibebaskan oleh hakim. Keduanya dinilai tidak ada niat untuk mencemarkan nama baik atau bahkan memfitnah.
Sebagai semacam pengingat untuk kasus dosen Unsyiah ini, sebuah organisasi Amnesty Internasional dengan dukungan ratusan pakar yang lebih menekankan lepada aspek obyektivitas atas perkembangan kebebasan berpendapat mendesak untuk mengakhiri kriminalisasi terhadap Dosen Unsyiah dimaksud. Intinya bahwa pelaporan pidana pencemaran nama baik merupakan serangan baik langsung maupun tidak langsung yang berdampak pada iklim kebebasan akademik di kampus. Tentu saja ini juga akan berimbas kepada terusiknya kebebasan mimbar yang ensinya dijamin oleh Unang Undang, bahkan oleh Konstitusi. Akan muncul kemudian ketakutan untuk menyampaikan pendapat, dan ini membahayakan kelangsungan kebebasan dunia akademik sebagai bagian tak terpisahkan sebagai upaya membangun peradaban bangsa.***
www.koranpelita.com Jernih, Mencintai Indonesia