Oleh : Dede Farhan Aulawi
Seluruh mata, telinga, fikiran, tenaga dan biaya saat ini di seluruh dunia hampir bisa dipastikan terkait pandemi virus Corona. Setiap kepala negara tentu memiliki otoritas untuk menentukan sikap melalui proses pengambilan keputusan yang disebut kebijakan Pemerintah. Setiap kebijakan yang diambil juga pasti sudah mempertimbangkan secara matang segala dampaknya. Dengan harapan keputusan yang diambil adalah keputusan yang terbaik buat seluruh warga negaranya.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menjatuhkan pilihan pada kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dimana salah satunya anjuran untuk “stay at home”. Salah satu kegiatan yang bisa dilakukan di rumah adalah membaca. Sampai suatu titik saya membaca salah satu ayat dalam kitab suci Al-Qur’an yang artinya :
*”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar-Ruum : 41)*
Lama saya mencoba mentafakuri untuk menghayati dan memaknai ayat di atas, lalu dikaitkan dengan apa yang terjadi di muka bumi yang berselimutkan wabah yang mengkhawatirkan. *Tafakur* merupakan titik awal transformasi menuju hijrah.
Mungkinkah ini semua merupakan sebuah peringatan, sekaligus sebuah proses pembelajaran komprehensif agar manusia mawas diri. Kita “dipaksa” untuk berpikir sistematik dalam menemukan solusi yang bersifat sistemik. Ketidak berimbangan pada proses eksploitasi yang berlebihan, telah menempatkan manusia dalam posisi gagal untuk mensyukuri dan menahan diri dalam mengambil pemanfaatan sumber daya alam. Padahal segenap potensi alam yang telah diciptakan Allah SWT, tak lain dan tak bukan, dimaksudkan untuk diolah hingga memiliki nilai tambah serta dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari berkah untuk seluruh umat manusia tanpa melihat kasta dan strata.
Kajian tafsir, baik tafsir _bil ma’sur_ maupun tafsir _birra’yi_ dari berbagai ayat Allah tentang potensi sumber daya alam, menunjukkan bahwa memang semestinya manusia dapat mengolah dan mengambil manfaat dari semua yang telah diciptakan Allah hingga dapat menghadirkan banyak hal yang bersifat maslahat. Tetapi naluri impulsi keserakahan kadangkala melupakan kaidah dan aturan Tuhan Yang Maha Bijaksana.
Akhirnya lahirlah karakter 5G, yaitu _golek menange dewe (mencari menangnya sendiri), golek butuhe dewe (mencari kebutuhan sendiri), golek benere dewe (mencari benarnya sendiri), _golek senenge dewe (mencari kesenangan sendiri), dan golek slamete dewe (mencari keselamatan sendiri_. Egosentrisme yang lahir dari kinerja _survival tools_ di otak manusia.
Ketika spektrum naluri limbikiyah telah memancarkan sinar yang berintensitas tinggi, maka spektrum waskita perlahan berpendar menuju pudar karena terinferensi gelombang yang didominasi kecemasan. Kemudian mereduksi dan mengeliminasi kecerdasan. Kecerdasan kognitif terkanalisasi dalam saluran berprioritas tinggi untuk memodulasi, bahkan memanipulasi berbagai potensi untuk mempertahankan eksistensi.
Kebijakan didominasi upaya terkonstruksi upaya mempertahankan eksistensi, bahkan melalui cara – cara yang bersifat agresi, ekspansi, okupasi, dan terkadang semua itu disertai sifat destruksi. Angkara yang bersimaharaja, berkelindan dengan banjir neurotransmiter pengeksitasi melahirkan ketrampilan berseni tinggi dalam proses mengeksploitasi berbagai hal yang semestinya dimaknai sebagai potensi untuk berbagi.
Domain _qualia_ atau _roso_ yang sebenarnya merupakan representasi akumulasi kecerdasan dalam modul intelijensia qolbiyah, kini menyusut kisut, terpojok ke sudut, tergantikan oleh pusaran vorteks kusut yang berasal dari olah pikir yang kalut.
Ketidakseimbangan_stream_ konektomik antar wilayah pengambilan keputusan strategik, mengakibatkan lahirnya turbulensi sistemik. PFC dan Insula sulit berkolaborasi dengan area Basal Ganglia. Hipokampal area teralienasi dalam kepungan arus deras kecemasan yang membanjir deras dari hulu Batang Otak yang telah tererosi dan daya dukung rasionalnya terdegradasi. Konflik keluarga sesama trah prosensefalon yang rukun sejak embrional kini meruncing. Telensefalon tak lagi bertegur sapa dengan diensefalon. Neokorteks dan PFC tak lagi hangat bercerita dengan thalamus dan hipokampus. Apalagi jika bicara di tingkat wangsa keturunan tuba neuralis : prosensefalon, mesensefalon, dan rhombencephalon yang telah berdiferensiasi dan mengalami spesifikasi fungsi meski sudah semestinya terus menyambung silaturahmi dan membina komunikasi karena menjalankan banyak fungsi.
Kadangkala disharmoni karena mispersepsi atau miskomunikasi menciptakan suasana panas. Bagian – bagian fungsional otak yang semestinya saling berinteraksi untuk membangun sinergi, malah _jonggring salaka_ bernama Qualia terdampak panasnya olakan kawah _Chandradimuka_ yang meletupkan nafsu membara dari dasar dapur magma naluri manusia. Akhirnya langit mendadak sepi dan riuh rendah jalanan tak lagi bersahutan. Ada bisikan halus yang perlahan terdengar semakin keras. Bahkan semakin lama semakin tegas. Mungkin agar selain mulai berpikir cerdas, juga harus bertindak gegas, sekaligus belajar bersikap ikhlas sebagai bagian dari *ikhtiar*.
Kearifan dan welas asih kembali mendapat pentas yang pantas untuk tak sekedar menyintas, tapi juga menjadi bagian dari solusi tuntas. Mari kita lihat bagaimana kini manusia lebih peduli pada saudara dibanding pada dirinya sendiri. Empati lahir dalam bentuk partisipasi untuk saling mensubstitusi dan melengkapi apa yang kini banyak tak lagi dimiliki. Kolaborasi hadir nyaris tanpa koordinasi karena yang berbicara adalah frekuensi hati. OFC,PFC, ACC, dan Insula tak lagi menjadi sekedar kuda penghela, melainkan ber _tiwikrama_ menjadi _maruta_ (angin) yang memutar kincir peniup akasa (langit) yang menjadi media lahirnya dahana (api). Daya guna bertenaga untuk mengubah petaka menjadi penyubur banthala (bumi) dengan berpandu kerlip kartika (bintang) ilmu yang menjadi navigasi dalam proses mencari jati diri.
Ini adalah medan _kurusetra_ dimana angkara akan berguguran disapu sifat _Asta Brata_ yang merepresentasi jiwa ksatria dalam setiap dimensi spiritual manusia. Lihatlah ksatria – ksatria muda dari berbagai tlatah bangsa, kini menyatu bersama, mengikhlaskan diri dalam jalan dharma bagi kepentingan ummat manusia.
Inilah mungkin makna qualia semesta yang datang bersama bala yang seolah merenggut rasa aman maya, dan menghempaskan kita ke dasar nalar tak berkadar. Dan di saat terkapar, terlihatlah kerlip berpendar di tubir sadar…selalu ada jalan keluar, jika ada kekuatan untuk bersandar. _*La haula wala quwwata illa billahil aliyil adzim*_, lafadz _hauqalah_ yang menisbatkan bahwa kita semua tak bisa terlepas dari kuasa dan ketentuan Allah. Inilah *hijrah* yang harus kita lakukan, untuk menanggalkan ego dan keserakahan, lalu pindah ke daerah empati dan kebersamaan sosial. (Penulis adalah komisioner Kompolnas)