Oleh: Dr . H. Jhoni,SH.MH
WARTA, kabar, atau informasi yang selama ini diperoleh warga masyarakat tentang dan sekitar virus korona lebih banyak warta negatif dibandingkan dengan warta positifnya. Jika dihitung secara kuantitas baik di media mainstream maupun di media sosial (Medsos) didominasi oleh warta atau sajian. Kabar atau informasi yang bersifat minor. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri dalam arti permasalahan yang cenderung negatif dalam rangka upaya untuk menyingkirkan wabah virus korona.
Harusnya sajian atau infomasi yang disampaikan itu sifatnya positif. Tidak cenderung menatkutkan atau justru menciptakan keresahan baru.
Hal demikian sangat berpengaruh khususnya kepada penderita yang terpapar virus korona. Untuk itu masyarakat harus membantu untuk dapat disampaikannya informai yang sifatnya positif dimaksud sehingga dalam keseharian warna berbagai kesulitan ini setidaknya tidak kusam, tegang dan tidak mencekam.
Platform Media
Substansi media, dalam perkembangannya selama berabad abad senantiasa berangkat dari pameo atau pepatah, bahwa anjing menggigit manusia itu bukan berita. Tetapi kalau manusia menggigt anjing itu baru berita. Hal ini menjadi semacam kaidah umum yang dipakai di media massa dalam menentukan nilai sebuah peristiwa.
Ungkapan ini merupakan penggambaran bahwa sesuatu yang aneh ataupun luar biasa memiliki nilai berita yang layak dijual ke pembaca. Menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kecakapan penyampai informasi menemukan keanehan atau keluarbiasaan, atau sesuatu yang tidak umum ini, dan kemudian menjadi angle informasinya.
Di dalam kancah dunia media massa, dan sekarang berkembang ke arah pesatnya media sosial maka sebelum penyampai informasi memutuskan akan memberitakan sebuah peristiwa atau kejadian, maka disinilah ketajaman penyampai informasi. Dibutuhkan kecerdasan untuk memilih angle dimaksud, sehingga sajian yang disampaikan itu dibaca atau dinikmati oleh masyarakat. Penyampai inormasi harus berpikir positif (positive thinking) diniati dengan ketulusan hati untuk tidak menciptakan keresahan di masyarakat.
Di sinilah letak sulitnya, karena penyampai informasi mempunyai berbagai motivasi dan tidak seluruh motivasi itu bersifat positif. Justru warga masyarakat dikehendaki untuk bisa menyaring informasi yang masuk kepada dirinya. Saringan yang tentu saja juga membutuhkan kecerdasan tersendiri untuk menyaring sehingga sajian yang diterimanya bermanfaat positif bagi keseharian hidupnya.
Informasi Tentang Korona
Sebagai contoh saja, potongaan berita berikut: “Ketika itu, Presiden Jokowi yang pertama kali mengumumkan dua orang positif terinfeksi virus korona . Dua kasus itu kemudian disebut sebagai kasus 01 dan kasus 02. Sejak saat itu secara perlahan terjadi penambahan pasien positif korona. Dalam satu pekan pertama yang rutin dari pasien positif korona bertambah sebanyak 17 orang. Pada perkembangannya selama pekan kedua atau 9-16 Maret, pasien positif corona bertambah sebanyak 115 orang. Sementara sepanjang pekan ketiga atau 16-23 Maret, terjadi penambahan pasien positif sebesar 445 orang. Selanjutnya dalam rentan empat hari dari 23 Maret sampai hari ini, pasien positif bertambah sebanyak 467 orang. Terjadi lonjakan penambahan pasien hanya dalam waktu hitungan hari.”
Potongan sajian berita itu memang benar, faktanya demikian, tidak bisa ditutup tutupi. Dari sisi kaidah jurnalikstik juga memenuhi kualifikasi menarik untuk disampaikan. Namun sajian ini dalam perspektif psikologis masyarakat menjadi “tidak benar”. Ada satu sisi mulia yang harus dikembangkan oleh seorang pembuat informasi, bahwa apakah satu informasi layak disampaikan kepada masyarakat itu nanti membawa atau berakibat positif atau negative. Tentu saja jika dalam pemikiran pembuat informasi akan membawa dampak positif harusnya itu tidak disajikan. Itu berupakan berita yang “benar” (dalam tanda kutip) dengan pemaknaan salah menurut asas manfaat bagi masyarakat.
Bahwa sebagamana dinyatakan oleh para ahlinya terjangkit atau tidaknya seseorang dari serangnga virus korona itu karena dua faktor mendasar.
Pertama stamina tubuh kedua kesehatan atau kesiapan psikologis. Untuk tubuh, yang dibutuhkan adalah stamina yang prima. Dengan stamina ini penyakit atau virus apapun tidak akan bisa masuk karena imunitas yang kuat. Imunitas yang tidak lemah ini dibutuhkan sebagai bekal utama secara fisik untuk menghadapi virus korona.
Sebagaimana dituturkan oleh para ahli bahwa anak anak pada umumnya mempunyai stamina yang prima, karena memang tidak banyak berpikir dan yang dipikirkan, sehingga stamina berada dalam kondisi prima. Akibatnya berbagai jenis virus dan peyakit tidak akan bisa masuk.
Dari sisi psikologis bahwa hal hal yang kemudian bisa menimbulkan kegelisahan, ketegangan apalagi ketakutan itu merupakan faktor stimulus untuk menurunnya stamina atau kekebalan tubuh. Rangsangan untuk takut, gelisah dan tegang itu pada umumnya berasal dari luar diri.
Dominasi faktor ini dipicu oleh adanya informasi yang benar, tetapi tidak benar. Benar dalam arti faktual akan tetapi menjadi tidak benar karena asas praktis bagi psikologi yang bisa berdampak negative justru diterapkan.
Untuk itu, tentu saja bijak diimbau kepada para penyampai kabar atau berita baik di media mainstream (jurnalis) maupun penggiat di media sosial hendaknya menyampaikan warta atau informasi yang bersifat positif. Tak ada keraguan bahwa dengan menyampaikan infomrasi positif ini membawa dampak besar bagi kesembuhan seorang pasien.
Secara praktis tentunya hal yang demikian menjadi pilihan yang harus dikedepankan. Masalahnya warga masyarakat sudah dihadapkan dengan berbagai kesulitanhidup. Adanya lock down ata sosial distancing sudah membawa kesulitasn tersendiri. Jangan hendaknya disertai atau diperberat lagi beban hidup dengan informasi yang bersifat negatif. Sebab dari sisi praktis yang akan diperoleh adalahketegangan dan beban hidupyang terasa semakin berat. Hal ini merupakan faktor yang mempermudah masuknya virus korona.***