Sampit,Koranpelita.com
Irwan Fakhrudin, warga Kabupaten Kotawaringin Timur ( Kotim ) Provinsi Kalteng , yang juga seorang pemerhati berpendapat terkait pilkada tahun 2020 di daerahnya.
Menurutnya, setiap diselenggarakannya pilkada Kotim dari waktu ke waktu, saya selalu berharap akan lahir Bupati dan Wakil Bupati Kotim yang berintegritas dan mampu me-manage sumber kekayaan alam Kotim untuk sebesar-besarnya digunakan mensejahterakan seluruh rakyat Kotim.Setelah pilkada usai, calon yang terpilih dinyatakan sebagai pemenang dan berkuasa untuk menjalankan pemerintahan di Kotim.
Seiring berjalan waktu,apa yang menjadi harapan saya itu semoga bukan hanya sebuah fatamorgana saja.Hal ini dikarenakan yang menjadi dasar pilihan bukan rekam jejak (track record) calon, namun didua mereka yang punya kemampuan finansial lebih besar.Memang tidak mudah mengubah sesuatu yang sudah lama menjadi kebiasaan.
Apalagi kalau sudah mengakar dan menggurita.Membelokkan kapal besar seperti sinyalemen terdapat pada sebagian masyarakat yang terbiasa menerima uang sebelum pemilihan tidak akan bisa spontan seperti membelokkan sebuah perahu.
Tapi perubahan pola pikir tersebut harus dimulai dari diri sendiri dulu, agar ke depannya Kotim bisa mendapatkan pemimpin yang berkarakter jujur dan berakhlak mulia.Dalam hitungan beberapa bulan ke depan, Kotim akan menyelenggarakan pilkada secara langsung.
Apa makna yang dipahami dari ajang pilkada Kotim tersebut?Semua itu dampak dari ekses jabatan Bupati dan Wakil Bupati sebagai kekuasaan yang diperebutkan itu amat sangat menguntungkan.
Berkuasa sebagai Bupati dan Wakil Bupati dapat menguntungkan secara finansial, pengaruh, kewenangan, dan kebanggaan bagi keluarga,tim sukses, relawan, simpatisan.
Tapi bukan sebagai pengabdian kepada masyarakat Kotim.Keinginan menjadi kepala daerah disinyalir sebagai hasrat/syahwat kekuasaan dan prestise.
Ditenggarai jauh dari keinginan yang berpihak pada kepentingan, kemakmuran, kesejahteraan rakyatnya.Karena ajang pilkada diduga ladang bisnis yang besar dan menguntungkan.Perebutan kekuasaan di pilkada untuk menjadi sentral dari semua tindakan.Prestise, kebanggaan, penghormatan yang dicari untuk melangkah pada kekuasaan.
Ini bisa saya artikan,inti dari pemilihan kepala daerah, hakekatnya diduga tidak berhasrat memberi kesejahteraan pada rakyat, tapi lebih memuaskan kepentingan dirinya.
Membantu rakyatnya pun sebenarnya karena ada kepentingan, supaya memilih dirinya.Penguatan citra ini tentu selalu berkait dengan pengeluaran materi.Daya tarik sebagai konstruksi calon kepala daerah selalu membutuhkan biaya besar.
Pengeluaran energi juga besar untuk memenangkan konstelasi pilkada, sehingga ketika kalah.Maka kekalahan itu amat menyakitkan.Tidak ada terminologi “nothing to lose”.Karena semua berkaitan dengan pengeluaran finansial yang besar.
Dalam rana afeksi, tentu mengalami kegetiran dan keterpurukan.Efeknya tidak hanya dalam hitungan nominal, tapi rasa malu,stess, bahkan depresi yang tidak mudah diselesaikan.Oleh karena itu paradigma perebutan kekuasaan atas jabatan kepala daerah melalui konstelasi pilkada harus diubah.
.Tidak lagi meletakkan kekuasaan pada kepentingan diri dan relasi golongannya, tapi benar-benar mencurahkan pikirannya, gagasan,ide, kerja, dan dirinya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.Wallahu’alam bish-shawab.( Ruslan AG).