Oleh Man Suparman
WARGA masyarakat berbondong-bondong ke kantor desa. Kedatangan mereka bukan untuk melakukan demonstrasi, karena kepala desanya dituduh melakukan penyelewengan dana desa (DD). Dan, memang, waktu itu, belum ada DD dan belum banyak kucuran bantuan dana untuk desa. Waktu itu pula warga masyarakat desa belum begitu akrab dengan yang namanya demonstrasi.
Kedatangan mereka ke halaman kantor desa, tiada lain untuk melaksanakan hak pilihnya sebagai warga desa untuk memilih calon kepala desa. Mereka datang untuk melaksanakan hak pilihnya atas keikhlasannya untuk memilih pemimpin di desanya, bukan karena iming-iming untuk kepentingan pribadi. Mereka memilih seseorang untuk menjadi pemimpin di desanya atas dasar, karena kejujurannya, karena ketokohannya, dan karena keteladanannya atau kepanutannya.
Seseorang yang dinilai memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat seperti itu dalam kesehariannya, maka akan dipilih untuk menjadi pemimpin. Tidak banyak pula orang yang tampil ingin dipilih jadi pemimpin, jika pada dirinya tidak melekat atau tidak memiliki ciri-ciri kejujuran, ketokohan, dan keteladanan. Andaikan dia punya keinginan mencalonkan diri menjadi pemimpin, mengkaji diri, ngukur kakujur dalam peribahasa Sunda.
Itu adalah dulu, jauh sebelum era reformasi. Bebeda dengan kondisi sekarang, tentunya. Tidak sedikit orang yang ingin jadi pemimpin tidak memiliki kejujuran, tidak memiliki ketokohan dan tidak memiliki keteladanan. Fakta banyak orang yang hanya memiliki keberanian tanpa mengukur diri mencalonkan diri ingin jadi pemimpin, ingin menjadi wakil rakyat. Tidak sedikit bromocorah, preman, pengangguran, merasa tokoh dan menokohkan diri hanya dengan modal keberanian dan memiliki uang nekad mencalonkan diri untuk jadi pemimpin atau wakil rakyat. Hasilnya setelah jadi pemimpin atau setelah jadi wakil rakyat hanya memperkaya diri, terjerat masalah hukum masuk bui.
Kondisi seperti itu dengan serta merta, suka tidak suka mengubah mentalitas masyarakat, yaitu terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam memilih seorang pemimpin. Artinya warga masyarakat untuk memilih seorang pemimpin, bukan karena atas dasar kejujurannya, ketokohannya dan keteladanannya, melainkan karena faktor uang atau materi atau berbagai bentuk yang disebut termasuk kepada yang namanya money politics alias politik uang.
Kondisi seperti itu, terkesan sudah membudaya ditengah-tengah masyarakat, baik ketika akan memilih pemimpin di tingkat bawah sekalas kepala desa, bupati, gubernur,bahkan presiden dan wakil rakyat di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat. Warga masyarakat ketika menjatuhkan pilihannya, karena atas dasar materi atau pemberian dari pihak calon pemimpin, calon waki lrakyat yang dikondisikan oleh para tim suksesnya. Bahkan tidak sedikit warga masyarakat yang terang-terangan tidak akan memilih seseorang jika tidak ada uangnya.
Paling tidak ada satu faktor penyebabnya, karena janji-janji calon pemimpin setelah jadi pemimpin suka lupa terhadap janji-janjinya itu.Maka warga masyarakat pun berpikir dan mengesekusi calon pemimpin dari pada nanti setelah jadi pemimpin tidak menepati janji-janjinya. Nah dari pada yang seperti sudah-sudah tidak menepati janjinya, uang politik diambil , sekalipun hanya uang recehan lima puluh ribuan atau kain sarung yang tipis berharga murah atau kerudung tipis untuk pangayakan tipung (saking tipisnya tuh kerudung harganya tujuh ribuan), yang diberikan kepada ibu-ibu majeklis taklkim, tapi tak apalah dari pada nanti tidak sama sekali.
Kenapa masyarakat bersikap seperti itu. Kenapa terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam memilih seorang pemimpin, tidak lagi atas pilihan kejujuran, ketokohan dan keteladanan. Boleh jadi kini mentalitas masyarakat bangsa ini sudah semakin rapuh, karena terjadinya pergeseran nilai-nilai kehidupan yang mengedepankan kepentingan duniawi sebagaimana yang dianut oleh kaun sekuler. Materi, uang adalah segala-galanya dalam segala hal, sehingga segala sesuatu diukur dengan uang dan uang.
Pemimpin atau wakil rakyat yang dihasilkannya tidak banyak memberi manfaat bagi masyarakat. Kemadhorotan dan kedzaliman terjadi di sana-sini. Banyak bencana, banyak musibah. Banyak kyai yang masih murni belum terkontaminasi kepentingan politik, bilang: dalam berbangsa, bernegara di negeri ini sudah tidak berkah. Audzubillahimindzalik ! Wallohu’alam.(Penulis Wartawan Harian Umum Pelita 1980 – 2018/Koranpelita.com).
000