Banjarmasin, Koranpelita.com
Ketua Dewan Pers, Muhammad Nuh, berpesan, wartawan jangan hanya mengandalkan kebenaran.Tapi juga dikombinasikan dengan kebaikan.
Pesan itu diungkapkanya dalam Silaturahmi sekaligus puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2020 di Mahligai Pancasila, Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel) Minggu (9/2/2020).
“Yang masih punya buku nikah, dicover seperti ini ada tulisan arabnya cuma satu, yang lain tidak ada. Kalau perlu ditelepon ke rumah sekarang, di balik sampulnya tertulis ‘Wa Asyiruhunna Bil Ma’ruf’, yang artinya pergaulilah istrimu dengan baik, bukan dengan benar,” kata Nuh,sembari memperlihatkan contoh sebuah buku.
“Artinya pada kondisi itu, etika itu bisa mengalahkan logika,” kata dia.
Begitu pula dalam etika politik, pentingnya menjaga kesantunan di arena publik.
Nuh lantas mencontohkan di bidang keagamaan.
“Abu Bakar Ash-Shiddiq, diminta Rasulullah menjadi imam salat, ini perkara baik mestinya perintah Rasulullah harus dijalankan. Karena Abu Bakar tahu ada etika,” tidak Rasulullah, sepanjang ada engkau, engkaulah menjadi imam,” sebut Nuh mencontohkan.
contoh diatas jelas tergambar, etika menjadi penting tanpa harus mengorbankan kebenaran. Namun dalam kenyataanya seringkali wartawan terjebak mengandalkan kebenaran padahal kebenaran ada masanya.Tetapi etika jauh lebih penting.
Muhammad Nuh juga mengulas hasil resume dari Konvensi Nasional Media Massa yang digelar kemarin di Hotel Ratan Inn, Banjarmasin.
“Kita sepakat NKRI adalah final, demokrasi salah satu pilar yang dipakai di dalam NKRI. media pers salah satu pilar demokrasi,” tegasnya.
Menurur dia, membangun dunia pers sama dengan membangun demokrasi, membangun demokrasi sama dengan membangun negeri yang dicintai. Kaidahnya jelas, sesuatu yang wajib hanya bisa sempurna karena sesuatu.
Oleh karena itu, memperjuangkan hak-hak, termasuk membangun ekosistem yang kondusif agar dunia media massa bisa tumbuh berkembang pada tekadnya bagian dari tugas negara.
“Tapi disayangkan terkadang tugas negara ini dialihkan kepada dunia pers secara mandiri. Kita tidak meminta kepada siapapun karena maqom tertinggi adalah memberi, turun lagi meminta,” tuturnya.
Nuh menegaskan, dunia pers tidak boleh meminta-minta, tapi ketika ada komponen bangsa yang tidak memberi itu jauh lebih jelek.
“Kita menjaga marwah kita, kita nggak ingin dunia pers begini-begini. Kalau ada orang lain punya tugas tidak memberi itu tidak mulia dari dunia pers itu sendiri,” bebernya.
Juga ditegaskan, dunia pers memiliki ideologi yaitu good journalism. Setidaknya ada tiga hal agar bisa good jurnalisme.
Pertama, kompetensi dari wartawan.
“Hayo cepat dilakukan upgrading kompetensi secara berkelanjutan, tapi tidak punya uang, tidak perlu meminta. Orang lain kalau ingin menjadi mulia tanpa diminta akan memberi agar dia bisa mengulas berita-berita yang deskripsi, tapi mampu memberikan pikiran-pikiran cerdasnya,” ucap Nuh disambut tepuk tangan para insan pers yang memenuhi ruang Mahligai Pancasila.
Kedua, meskipun para wartawan sudah sangat top kompetensinya, tapi dalam melaksanakan tugas tidak merasa nyaman dan aman, diwarnai intimidasi kekerasan. “Saya bilang itu tidak bisa menghasilkan good journalism. Dari situlah perlindungan wartawan didalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik mutlak harus dipenuhi,” tegasnya.
Berikutnya setelah keamanan, maka yang ketiga menyangkut kesejahteraan. Wartawan sudah top dalam meliput dan diberi keleluasan. Tapi jika kesejahteraan tidak dipenuhi akan mempersulit tugas-tugas jurnalistiknya.
“Tiga hal itulah yang harus terus menerus dibangun, itu bisa terjadi jika ekosistem, termasuk perusahaan tumbuh dengan baik,” pungkas Muhammad Nuh.
Ketua Umum PWI Pusat, Atal S Depari dalam sambutanya menegaskan, jangan pernah meragukan bahwa pers tidak pernah berpikir untuk bangsanya.
“Pers selalu berpikir buat bangsanya, tidak berhenti berjuang untuk bangsanya. Setelah diskrupsi ini kita selalu penuh perjuangan, memang harus berjuang dan itu adalah pilihan kita,” kata Atal.(Iv/ipik)