Oleh: Prof Dr Haryono Suyono, MA, PhD
Seperti diingatkan para sesepuh Bangsa, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan HM Soeharto, masing-masing mantan Gubernur DI Yogyakarta, juga Mantan Wakil Presiden RI dan mantan Presiden RI, yang di awal tahun 1948 bermukim di Yogyakarta.
Desember, akhir tahun 1948, Ibu Kota RI di Yogyakarta itu digempur besar-besaran Agresi Belanda yang ingin merebut kembali kemerdekaan Indonesia yang di tahun 1945 diproklamasikan menjadi Negara Kesatuan yang merdeka. Rupanya, karena pengalaman nikmat selama 350 tahun menjajah Indonesaia, pernyataan kemerdekaan itu tidak disukai Pemerintah Belanda. Karena itu akhir Desember tahun 1948, Ibu Kota RI yang waktu itu hijrah ke DI Yogyakarta, digempur habis-habisan melalui daraat dan udara Tentara Koloniah Belanda.
Pemerintah RI yang sah terpaksa mengungsi ke desa-desa di sekitar Yogyakarta. Ibu Kota pindah ke Sumatra Barat. Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Raja Yogyakarta secara diam-diam membantu aparat pemerintah dan TNI yang ikut mengungsi ke desa-desa dengan dana dan semua perlengkapan logistik secara habis-habisan.
Januari 1949 keadaan di desa relatif gelisah karena logistik bagi aparat pemerintah dan prajurit TNI sebagian besar sangat tergantung pada supply dari Kraton Yogyakarta yang dipimpin Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Saat itu, isteri Letkol Soeharto, Ibu Tien Soeharto sedang mengandung sembilan bulan. Minggu terakhir Januari, Ibu Tien yang sembunyi di kota Yogyakarta melahirkan putri yang pertama. Kelahiran putri tercinta yang lancar dan sehat ini membesarkan hati dan memperkuat tekad pak Harto bahwa Ibu Kota RI harus direbut kembali karena tanpa kemerdekaan, masa depan keluarga Indonesia akan bernasib sama seperti jaman penjajahan dulu, tidak akan pernah maju dan selalu dianak-tirikan oleh penjajah.
Tekad ini memaksa prajurit TNI, pemuda dan bersama rakyat banyak, dengan logistik yang dibantu Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan seluruh Kesultanan Yogyakarta dan masyarakat desa, diajak mengadakan konsolidasi di desa membangun jaringan, mengajak anak muda berlatih dan membantu penduduk desa makin getol bertani dan berdagang agar bisa menjadi pendukung logistik prajurit TNI dan pengungsi dari kota yang makin banyak jumlahnya.
Mahasiswa yang sukarela tidak kuliah diajak bersama prajurit TNI membaur dan “mengikuti kuliah lapangan” membangun bersama keluarga dan petani desa. Setapak demi setapak sejak akhir Januari itu perasaan gelisah, campur aduk rasa takut dan tidak kerasan mengungsi di desa diusahakan diubah menjadi kerasan dan makin bersatu secara gotong royong bersama masyarakat desa. Keakraban saling percaya diperkuat untuk menghadapi Belanda yang siang malam mengadakan patroli di sekeliling desa.
Sejak saat itu keluarga desa bersama TNI dan para pemuda, sebagian pelajar dan mahasiswa, berjuang dan bekerja di desa secara gotong royong. Kalau malam mengadakan kegiatan gerilya mengacau pertahanan Belanda dan kalau siang bekerja di sawah atau di ladang seakan mereka semua adalah petani, berkebun dan berdagang, berpakaian petani dan rakyat biasa, suatu tontonan kamuflase kegiatan yang mengelbui pasukan Belanda yang selalu mengadkan pemeriksaan ke desa, sesuatu kehidupan gotong royong yang sangat akrab dan dinamis yang diharapkan tetap lestari pada jaman 4.0 yang sangat modern dewasa ini.
Rupanya, biarpun tidak diingatkan, kegiatan para sesepuh bangsa di Yogyakarta, yang diikuti para sesepuh bangsa lainnya dari seluruh Indonesia, ternyata secara tidak langsung memberi inspirasi kepada dua orang Menterinya pak Jokowi,, Mas Nadien Anwar Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Gus Abdul Halim Iskandar, Menteri Desa PDTT bersatu mengambil langkah bersama secara gotong royong mengembangkan Belajar Merdeka di kawasan Desa sebagai Kampus.
Hampir pasti kegiatan kedua tokoh yang satu muda dan yang satu santri itu akan direstui oleh Presiden Jokowi dan diikuti Menteri dan jajaran lainnya karena akan diikuti para dosen dan puluhan ribu mahasiswa yang akan membawa calon-calon Sarjana kita bekerja bersama rakyat banyak di desa menyegarkan “budaya gotong royong” yang merupakan “roh” kebanggaan bangsa ini membangun desa dan masyarakat desa dengan gegap gempita.
Keberadaan dosen dan mahasiswa di desa, seperti “Kuliah Kerja Nyata” yang berlangsung di desa, akan mendorong diterimanya “budaya sekolah setinggi-tingginya” oleh anak desa. Tingkat pendidikan yang meningkat itu akan mendongkrak kualitas sumber daya manusia. Secara internasional akan meningkatkan nilai Human Development Index (HDI) yang urutannya masih sangat tertinggal di belakang negara maju lainnya.
Dalam Pertemuan Pertides, Perguruan Tinggi Mitra Kementerian Desa PDTT, yang dihadiri oleh tidak kurang 500-an Rektor, Wakil Rektor dan Pimpinan LPPM berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia, dan dibuka dengan Pengantar yang bersemangat oleh Sekjen Kementrian Desa PDTT, Anwar Sanusi, PhD, langsung diawali paparan pengalaman membangun desa selama lima tahun yang pertama.
Menteri Desa PDTT Gus Abdul Halim Iskandar memberi gambaran bahwa anggaran yang disediakan dalam lima tahun pertama dapat diserap dengan baik. Hasil-hasil pembangunan infrastruktur berjalan mulus sehingga sarana desa bertambah baik.
Namun tingkat kemiskinan hanya menurun relatif kecil karena pengembangan kesempatan kerja dan usaha masyarakat luas belum memadai. Karena itu lima tahun ini mutu sumber daya manusia akan dipacu dengan keras agar kesiapannya membangun keluarga bertambah baik dan dapat bekerja dengan nilai tambah yang tinggi.
Kesempatan mahasiswa dan dosen mengambil Kuliah Merdeka atau Kampus Merdeka di desa akan menjadi penggerak dari tumbuhnya inovasi usaha, wisata desa dan kegiatan lainnya yang memberi nilai tambah terhadap pengembangan dan pengolahan sumber daya yang melimpah di desa dengan tetap menjaga kelestariannya.
Kuliah awal dari Menteri Desa PDTT itu disambung langsung oleh Menteri Pendidikan Kebudayaab Mas Nadien Anwar Makarim yang memulai “kuliahnya” dengan cerita adanya beberapa kali pertemuan pada Sidang Kabinet dan kesempatan lain dengan Menteri Desa yang kemudian memberi inspirasi bahwa mahasiswa secara suka rela bisa mengikuti kuliah satu sampai tiga semester di desa sebagai Kampusnya. Menteri menggambarkan bahwa biaya kuliahnya bisa di sediakan secara gotong royong oleh Kementeriannya, Kementerian Desa PDTT atau sponsor lain yang ingin melihat Indonesia maju dan menjadi negara besar yang maju, adil dan Makmur di kota dan di desanya.
Lebih lanjut Menteri menggaris bawahi bahwa para Dosen dan Mahasiswa bisa bersama-sama ikut meningkatkan mutu anak-anak muda dan keluarga di desa sekaligus langsung mengajak mereka melakukan praktek pembangunan yang bermutu tinggi agar secara tingkat ada tiga hal bisa dikembangkan bersama, pembangunan SDM unggul, transformasi ekonomi pedesaan serta program dan proyek dalam rangka Pengembangan Kampus Merdeka Membangun Desa.
Menyadari bahwa upaya ini akan memakan anggaran yang tidak kecil, Menteri menyatakan bahwa pembiayaan kegiatan ini bisa dibiayai secara gotong royong dimana dua Kementerian bisa memberikan bantuan, para mahasiswa dan kemungkinan lembaga donor bisa ikut membantu karena sifat kegiatan ini akan berakibat kemajuan yang sangat langsung dari puluhan ribu desa dan masyarakatnya yang tersebar luas di hampir 75.000 desa di seluruh Indonesia.
Selesai paparan Menteri, kemudian ditutup dengan foto bersama. Dalam kesempatan ramah tamah timbul kesan bahwa para Rektor yang sebagian besar biasa menyelenggarakan kegiatan KKN, mengirim mahasiswa ke desa, tidak terkejut dengan gagasan dua orang Menteri tersebut. Lebih-lebih ada juga Rektor yang di masa mudanya sudah bertugas mengatur pengiriman mahasiswa untuk tinggal di desa dan berhasil membangun desa dengan penghargaan yang tinggi untuk Perguruan Tingginya. Para petinggi itu juga merasakan manfaat yang besar, termasuk hasil positif dari penelitian dan pengembangan ilmu maupun berbagai inovasi yang mendapatkan penghargaan internasional. Semoga Kampus Merdeka mengangkat martabat keluarga desa dan mengangkat kebesaran negara dan bangsa tercinta. Amin.