Jakarta, Koranpelita.com.
Dr Ir KH Salahuddin Wahid wafat di RS Harapan Kita, Jakarta Ahad 2 Februari 2020 di usia 78 tahun. Jenazahnya dimakamkan di kompleks Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.
Gus Solah panggilan di antara para aktivis pergerakan dan dakwah menjalani operasi jantung. Saat kritis pascaoperasi belum usai, Allah Taala memanggilnya menghadap keharibaanNya. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
Salahuddin Wahid pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang yang secara turun-temurun menggantikan para pendahulunya. Sebelumnya KH Jusuf Hasyim dari generasi kedua bungsu dari KH Wahid Hasyim putra Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Demikian seterusnya sepeninggal Gus Solah, tongkat estafet kepemimpinan Tebu Ireng diwariskan kepada dzuriyyah, KH Hasyim Asy’ari.
Gus Solah sebagaimana Gus Dur memilki pergaulan luas, sebagai politisi pernah mencalonkan diri sebagai Wakil presiden bersama Jenderal Wiranto. Sebagai profesional memimpin perusahaan konstruksi, menjadi aktivis dan banyak pencapaiannya.
Sebagai penulis tetap Gus Solah memiliki kolom tetap Pelita Hati terbit setiap Selasa Harian Umum Pelita.
Tulisannya bernas, tajam dan detail. Meski tidak terkesan marah menghadapi berbagai permasalahan. Gaya menulis seperti bertutur, tetapi khas dan sampai sasaran.
Cara arek Jombang, polos dalam bertutur, egaliter namun tetap dalam kerangka dan bahasa yang santun. Bijak karena pengalaman dan akhlakul Karimah. Tidak tersirat marah dalam tulisannya, namun tajam menghujam.
KH Wahid Hasyim dikenal piawai dalam menulis dan membaca. Kebiasaan ini ternyata juga menurun ke Gus Solah. Kebiasaan Gus Sholah menulis muncul ketika dirinya mulai menutup kantor jasa kontraktornya karena krisis moneter 1998 silam.
Gus Sholah sempat menganggur. Masa itulah ia menjadi lebih sering menghabiskan waktu membaca dan belajar menulis. “Benar-benar belajar menulis dari nol, saya tidak terbiasa dan tidak berbakat, berbeda dengan Gus Dur yang punya bakat sejak kecil,” demikian semasa hidupnya.
Untuk menembus surat kabar, sampai 20 kali lebih mengirim tulisan. “Setelah itu baru saya mulai bisa terbiasa dan sampai sekarang menjadi kebutuhan,” lanjutnya.
Nyai Farida, istri Gus Solah menyebut di awal penulisan, Gus Sholah bukan orang yang pandai merangkai kata. Dirinya menganggap hal ini sebagai hal yang wajar, mengingat background Gus Sholah dari kalangan eksakta dan tak terbiasa dengan tulisan yang berkembang.
“Awalnya memang kaku sekali, bahkan untuk menulis surat saja tidak akan bisa lebih dari tiga baris. Malah saya sendiri juga tidak tahu kenapa dulu beliau itu mulai suka menulis, padahal sebelumnya tidak pernah, karena lebih banyak menggambar sebagai seorang arsitektur,” jelasnya. (djo)