Mengunjukrasai Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja

Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH

DEMONSTRASI atau unjuk rasa adalah hak siapa saja. Dalam bahasa politis, unjuk rasa itu dijamin konstitusi asaal tidak bersifat destruksi. Tidak merusak tatanan, tidak merusak property yang merupakan fasilitas umum dan melalui mekanisme administrasi yang benar yaitu memberitahukan kehendak untuk ujuk rasa. Termasuk harus dilakukan dengan santun dan beradab sebagai bagian dari budaya timur.

Satu hal yang merupakan substansi, pengunjuk rasa atau pendemo harus tahu apa yang disuarakan. Harus paham apa yang menjadi tujuan dari unjuk rasa yang digagas itu, sebagai bagian dari kehidupan demokrasi yang sehat. Para pendemo (harusnya) tahu apa yang diperjuangkan, dan tidak sekadar melakukan unjuk rasa, apa lagi dengan bayaran tanpa tahu substansi yang akan dan sedang diperjuangkan.

Omnibus Law
Omnisbus law adalah kebijakan untuk mempersiapkan aturan bertujuan untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah dan menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran. Idealismenya, bahwa dari omnibus law ini bukan cuma perampingan dari segi jumlah, tapi juga dari segi konsistensi dan kerapihan pengaturan. Jadi prosedur bisa lebih sederhana dan tepat sasaran. Dengan kebijakan ini aturan yang digagas tidak tumpeng tindih satu sama lain, dan terekoordinasi secara baik.

Kebijakan dalam bidang hukum ini memang belum pernah diterapkan di tanah air, maka akan sangat menantang jika dilakukan di Indonesia. Jadi inti dari omnibus law ini juga bertujuan untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah dan menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran.

Dengan demikian omnibus law bukan cuma perampingan dari segi jumlah, tapi juga dari segi konsistensi dan kerapihan pengaturan. Jadi prosedur bisa lebih sederhana dan tepat sasaran. Secara substansi omnibus law dapat dianggap sebagai UU sapu jagat yang dapat digunakan untuk mengganti beberapa norma hukum dalam beberapa UU. Mekanisme ini dianggap lebih efektif dan efisien dalam proses pembuatan dan revisi UU.
Tentang perampingan peraturan terus digaungkan Kemenkum HAM sejak 2015 lalu dan terus disosialisasikan pada pihak yang relevan dengan penanganan berbagai masalah khususnya ekonomi dan hubungan Pusat-Daerah. Selain itu, para akademisi secara umum menyatakan sikap menyetujui apa yang menjadi tujuan dari omnibus law dimaksud. Misalnya tecermin pada Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-4 di Jember pada 10-13 November 2017 yang lalu, para pendekar hukum menghasilkan Rekomendasi Jember, yang meminta segera dirampingkan regulasi di Indonesia karena sudah sangat banyak.

Substansi Penolakan
Akan halnya penolakan dengan berunjuik rasa ini, dilakukan sekelompok pekerja atau para buruh yang tergabung dalam aliansi gerakan buruh. Mereka menggelar aksi demo menolak omnibus law atau yang dikenal juga dengan undang-undang (UU) sapu jagat dimaksud. Secara praktis yang mereka protes itu berkenaan dengan akan lahirnya UU omnibus law dalam bidang ketenagakerjaan. Dalam hubungan ini ada 79 undang-undang dengan 1.244 pasal yang direvisi sekaligus. UU tersebut direvisi karena dinilai menghambat investasi. Dengan omnibus law, harapannya investasi semakin mudah masuk ke Indonesia. Lalu mengpa idealism sebagaimana disebut ini mereka protes?

Di sinilah masalahnya. Ada dua Rancangan Undang-Undang (RUU) omnibus law yang diajukan ke DPR yaitu omnibus law cipta lapangan kerja dan omnibus law perpajakan. Rinciannya, omnibus law cipta lapangan kerja mencakup 11 klaster dari 31 kementerian dan lembaga terkait. Adapun 11 klaster tersebut adalah 1) Penyederhanaan Perizinan, 2) Persyaratan Investasi, 3) Ketenagakerjaan, 4) Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM, 5) Kemudahan Berusaha, 6) Dukungan Riset dan Inovasi, 7) Administrasi Pemerintahan, 8) Pengenaan Sanksi, 9) Pengadaan Lahan, 10) Investasi dan Proyek Pemerintah, dan 11) Kawasan Ekonomi. Sedangkan, omnibus law perpajakan mencakup 6 pilar, yaitu 1) Pendanaan Investasi, 2) Sistem Teritori, 3) Subjek Pajak Orang Pribadi, 4) Kepatuhan Wajib Pajak, 5) Keadilan Iklim Berusaha, dan 6) Fasilitas.
Protes mereka itu terkait omnibus law penciptaan lapangan kerja. Adapun yang diatur dalam omnibus law penciptaan lapangan kerja yang mereka nilai mengancam keberadaan para pekerja. Ada beberapa pasal yang mengusik mereka.

Hal mendasar yang menurut mereka mengebiri hak buruh adalah soal cuti hamil. Konkretnya, dalam RUU omnibus law yang diprotes para pekerja itu sebagaimana disebut dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pasal 82 dari UU yang akan dirampingkan ini diatur tentang cuti hamil. Disebutkan bahwa buruh perempuan berhak mendapatkan istirahat 1,5 bulan sebelum lahir dan 1,5 bulan sesudah melahirkan.

Sementara dalam RUU omnibus law cipta lapangan kerja ini tidak ada yang mengatur cuti hamil untuk buruh perempuan. Namun, bukan berarti omnibus law akan menghapuskan aturan yang tercantum dalam UU sebelumnya. Karena, omnibus Law ialah UU yang dibuat untuk menyasar satu isu tertentu dalam UU sebelumnya.

Hal lain yang diprotes adalah tentang penghilangan aspek sanksi pidana bagi pengusaha. Sanksi itu sebelumnya juga diatur dalam UU 13 Tahun 2003.

Sebagaimanadisebut misalnya dalam hal kewajiban pengusaha untuk membayar upah di bawah minimum bisa dipenjara selama 1 hingga 4 tahun. Semenrara dalam UU omnibus law yang baru tidak mengatur hal dimaksud. Tapi sekali lagi bukan berarti tidak tertuang dalam draft Omnibus Law maka aturan itu hilang. Tetap masih ada penjabaran sanksi yang bisa diterima pengusaha.
Aspek lain yang dinilai bermasalah juga tentang membebaskan penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Para pendemo mengkhawatirkan jika ketersediaan lapangan kerja semakin berkurang dengan kedatangan para TKA. Pada hal juga ada beberapa ketentuan yang mengatur mengenai hal ini yang substansinya juga tidak menghilangkan keberadaan para tenaga atau pekerja dalam negeri.

Intinya bahwa protes yang direfleksikan dengan unjuk rasa itu sejatinya masih terlalu sumir. Bukan bermaksud untuk membela omnibus law, namun catatan yang harusnya diperhtikan bahwa ketika dilakukan unjuk rasa hendaklah diperhatikan dengan sungguh sungguh materi yang kemudian didjadikan sebagai protes atau di-unjuk rasa-i. jangan hendaknya latah dan kemudian justru itu nanti akan merugikan para pekerja sendiri.

Kecerdasan untuk mencermati berbagai ketentuan dibutuhkan terlebih dahulu, dan kalaupun tidak setuju misalnya dapat dilakukan dengan cara cara yang lebih santun. Mengirimkan para wakilnya, di dalam pembahasan dimaksud, misalnya akan lebih tepat sasaran. Tidak sekadar merefleksikan perbedaan pendapat dengan melakukan unjuk rasa. Banyak elemen masyarakat yang diruguikan dengan ujuk rasa sebagaimana dilakukan dan seolah menjadi trend saat ini, ketika merefleksikan perbedaan pendapat.***

About redaksi

Check Also

Inovasi Ketahanan Pangan Kota Semarang Kembali Raih Penghargaan Tingkat Nasional

Semarang,KORANPELITA com – Inovasi Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang di bidang ketahanan pangan kembali mendapatkan apresiasi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca